PESAN JUNOT
JUNOT
(“Ngapain give away cincin, Kak?”)
IBU
(“Nona Nami, apa kabar? Tolong, tanyain ke Samudra. Beli cincin buat pacarmu, udah? Malah sedekah cincin.”)
Nami menerima pesan dari orang sekaligus. Hampir saja tadi Nami membaca pesan dari Junot. Untung belum sempat dibuka. Nami harus mengirimkan screenshot kepada Samudra setelah membalas ramah pesan ibunya Samudra. Samudra yang sedang jalan-jalan ke museum, tentu tidak memperhatikan ponsel lebih cepat.
Alih-alih mendapatkan balasan dari Samudra, justru grup chat Tupai Lapuk kembali riuh dengan obrolan yang didominasi Ari, Arson, dan Umang. Lama kelamaan, ketiganya menjadi mood booster Nami akibat obrolan mereka yang sangat menghibur.
ARRASSO
(“Ada yang banting setir jadi penjual perhiasan.”)
BIMA
(“Pasti pulang ke New City, Kak Samudra buka toko emas Xiuping.”)
Nami terbahak usai membaca pesan dari Bima alias Umang. Namun itu tidak berlangsung lama, karena Nami segera teringat dengan alasan cincin tersebut dijadikan hadiah give away.
ARI
(“Syaratnya give awaynya apa, nih?”)
Otomatis Nami ikut penasaran. Kira-kira Samudra akan memberikan syarat yang seperti apa nantinya. Nami sudah kepikiran ingin membuat akun baru atau nanti meminjam akun Leony, Arsya atau Arsyi untuk melancarkan usahanya memiliki cincin cantik dari Samudra itu.
Nami tidak peduli walau cincin itu awalnya ditujukan untuk Raline, kekasih yang entah sudah jadi mantan atau belum. Nami masih belum memperjelas dan tidak akan lancang bertanya dalam-dalam.
Yang terpenting labelnya adalah cincin dari give away Samudra, maka Nami sudah bahagia bukan kepalang.
ARRASSO
(“Kalau bingung syaratnya, mending suruh pesertanya streaming lagu kita aja.”)
JUNOT
(“Album solo kamu, penjualannya nggak sebagus album-album solo lainnya, Kak.”)
BIMA
(“Kak Junot, stab it!”)
ARRASSO
(“Stab! Stab! Apaan?!”)
Sepertinya sentimentil Nami yang hadir kemarin, kini harus kembali gara-gara satu kalimat yang lolos diketikkan Junot. Nami harap Junot sadar jika pesan tersebut harus dihapus sebelum Samudra nanti membacanya sendiri.
JUNOT
(“Lagu tentang bucin Raline nggak nembus hati penggemar. Udah ku bilangin, kan, kalau ciri khas kakak bakalan sulit untuk lagu romansa.”)
Andai Junot ada di hadapannya, pasti Nami sudah melabrak dan mengomelinya panjang lebar. Tidak bisa kah Junot menghargai kerja keras teman belasan tahunnya?
ARI
(“Chart-chartnya lumayan. Aku suka lagu-lagunya. Kak Samudra, semangat! Semoga lancar usahamu melamar kekasihmu.”)
JUNOT
(“Ck! Serius kakak ingin menghancurkan karir yang dibangun dengan keringat, darah, dan air mata?”)
ARRASSO
(“Jun, please! Kita udah sepakat akan menghargai keputusan siapapun yang ingin melepas masa lajangnya.”)
JUNOT
(“Tapi penggemar? Karir yang dikorbankan? Setara kira-kira yang akan didapat?”)
BIMA
(“Kak Junot, percaya aja sama Kak Sam. Kita sebagai saudara, harus saling support.”)
JUNOT
(“Maksudku, kenapa nggak nunggu nanti aja lagi? Maybe until five or seven years ago. Yeah, tapi terserah, lah. Calon istrinya Samudra juga kaya raya. Setidaknya dia punya penopang kalau fall down.”)
ARRASSO
(“Jun, delete this!”)
ARI
(“Nggak gini caranya, Jun.”)
Nami tak tahan lagi. Salah besar kemarin dirinya sempat menyesal akibat kesal pada Junot. Ternyata Junot kembali berulah. Nami tak menyangka jika seorang Junot yang dikenal paling dekat dengan Samudra saat di depan kamera, rupanya adalah seseorang yang tidak bisa memahami keputusan sahabat sendiri.
Nami mengirimkan tangkapan layar obrolan grup chat Tupai Lapuk kepada Samudra. Nami sangat berharap bila Samudra segera selesai kesibukannya dan bisa melihat ponsel. Nami sedikit mengharapkan agar Samudra menegur Junot yang sudah mengetikkan hal menyinggung seperti itu.
(“Aku batal nikah. Makanya cincinnya ku jadikan give away. Stop, bahas Raline!”)
(“Nona, kirimkan itu. Setelah itu, tidak perlu dibalas lagi. Simak saja jika mereka mengobrol tidak penting.”)
(“Untuk ibu, nanti saya akan menjelaskan langsung.”)
Nami mengirimkan balasan Samudra ke grup chat Tupak Lapuk. Reaksi keempat sahabat Samudra tentu terkejut akan kabar sedih tentang kandasnya hubungan asmara Samudra dan sang kekasih.
ARI
(“Diundur, nih, kita jadi pagar bagusnya?”)
JUNOT
(“WHAT?! Kenapa?!”)
BIMA
(“Kak, serius?”)
ARRASSO
(“Gimana? Gimana? Lamaran kakak ditolak?”)
ARI
(“Hedeh, Jun! Jangan sampai Samudra batalin pernikahannya gara-gara kamu!”)
BIMA
(“Hubungan persahabatan Kak Samudra dan Kak Junot patut dipertanyakan.”)
ARRASSO
(“Syarat give awaynya suruh bikin puisi penyemangat aja buat kakak.”)
Nami tidak lagi menyimak obrolan di room chat tersebut. Sebuah suara mengejutkannya dan hampir saja menjatuhkan ponsel Samudra ke lantai.
“Hai, Manis.”
Nami merinding sekujur tubuh mendengar suara dan melihat kehadiran atasannya di kubikel miliknya. Tatapan rekan-rekan kerja Nami yang lain telah menyudutkannya akan dugaan buruk yang terlanjur senter beredar.
“Aku baru saja menemukan kontrak kerja lamamu. Kinerjamu paling cemerlang di sini. Tentu sebagai karyawan yang berprestasi, saya ingin mempertahankanmu di tempat ini.”
Semua rekan Nami di kanan, kiri, depan, dan belakang menguping dengan sigap. Dengan eskpresi berpura-pura sedang bekerja tentunya. Namun isi kepala mereka seakan terhubung satu sama lain dan pastinya akan berlanjut di sebuah obrolan tertutup yang tidak melibatkan Nami.
“Kontrakmu sebentar lagi habis. Ingin memperpanjang, bukan?” Pak Kaze tersenyum yang menimbulkan kesan creepy bagi Nami.
“I-iya, Pak.”
“Tentu kamu sudah membaca pesan dari saya.”
Nami kaget saat Pak Kaze tiba-tiba saja mencondongkan tubuhnya hingga nyaris bersentuhan wajahnya dengan wajah lelaki paruh baya tersebut. Nami memekik tertahan saat Pak Kaze memutar tubuh dan meninggalkannya begitu saja.
Nami ditatap penuh prasangka oleh semua senior yang iri dengan kerja kerasnya, iri dengan keberhasilan yang ia buat untuk kemajuan perusahaan, iri dengan betapa perhatiannya Pak Kaze. Sayangnya sifat iri itu tidak ada menorehkan motivasi pada mereka. Alih-alih sama belajar dan mengajak kerja sama membangun kemajuan pada tempat mereka mengais rezeki. Justru mereka sibuk menuding Nami dengan keji.
Nami terlalu sabar menahan prasangka dan tatapan beribu makna dari karyawan lain. Nami tetap berusaha tutup kuping dan telinga. Yang ia ingat hanyalah kewajiban mengirimkan uang kepada wanita yang telah melahirkannya. Meski tidak jarang Nami harus bersembunyi di jam tiga sore untuk sekadar bersandar dan menangis di toilet kantor.
Nami abaikan tatapan rekan-rekan seniornya dan penasaran dengan pesan yang dikirimkan Pak Kaze. Artinya bisa jadi Samudra telah membaca pesan itu. Apa kira-kira?
Nami memeriksa ponsel Samudra yang tidak ada pesan dari pria itu sama sekali. Nami pikir Samudra masih sibuk di museum atau mampir ke tempat lain untuk membawa hati.
“Jangan kaget kalau nanti ada junior yang naik jabatan, Guys!”
Nami tercekat, tapi yang bisa ia lakukan hanya mengepalkan jemari. Ia harus menahan diri agar tidak kelepasan dan bertindak sama dengan para rekan kerjanya.
“Cantik juga enggak. Kok Pak Kaze naksir?”
“Kan yang penting gatel.”
Nami tetap diam. Bahkan tak menoleh sama sekali pada mereka semua. Nami cukup mengaminkan sindiran salah satunya yang mengatakan perihal naik jabatan.
