BAB : 9
Kira-kira sekitar sepuluh menit, Ervan kembali ke mobil dengan sebuah kantong ditangannya. Ia mengeluarkan isi kantong tersebut dan menyodorkan pada Celine. Sebuah box yang ternyata berisi makanan.
"Makan dulu," suruhnya pada Celine. Tapi gadis itu seolah tak berniat menerima makanan yang ia berikan. "Ini sudah setengah harian kamu nggak makan apa-apa. Kalau masih berniat untuk lanjut dengan ancaman mogok makan itu, aku yakin kamu nggak akan bertahan hingga nanti malam."
"Tapi aku mau mobil sama ponselku," balasnya. Kalau ia makan sekarang, itu berarti sia-sia pengorbanannya menahan lapar dari tadi pagi. Meskipun melihat makanan yang ada dihadapannya saat ini seolah usus dan lambungnya menjerit, serasa ingin keluar dari perut meminta makanan itu.
Ervan menarik napas berat saat mendengar Celine terus mempermasalahkan mobil dan juga ponsel miliknya. "Gini aja ... nanti biar aku yang ngomong sama Papa kamu," ujarnya.
"Serius?"
"Hmm ..."
"Janji?"
"Iya," jawabnya.
Senyuman terukir di bibir mungil Celine saat mendengar solusi yang diberikan Ervan. Ya, setidaknya ia yakini kalau papanya pasti akan mendengarkan apapun yang dia katakan. Meskipun sikap papanya itu sedikit menyebalkan karena lebih mendengarkan omongan cowok itu daripada dirinya, tapi paling enggak ia bisa minta bantuan lewat omongan Ervan.
"Awas kalau ingkar janji," peringatkan Celine.
"Jangan coba-coba mengancamku," balas Ervan. "Sekarang, makanlah." Ia kembali menyodorkan box berisi makanan pada Celine. Gadis itu bukannya menerima sodoranya, tapi malah menatapnya.
"Baiklah ... untuk kali ini aku turuti semua kemauanmu. Asalkan kamu mau makan," balas Ervan yang menyadari apa yang diinginkan Celine. Apalagi kalau bukan memintanya untuk menyuapi.
Celine tersenyum saat kode tanpa katanya ternyata dipahami oleh Ervan. Satu sendok, dua sendok hingga seterusnya ... bahkan satu kotak makanan habis dioper masuk ke dalam lambungnya. Berasa sebuah maghnet yang dengan cepat menarik onggokan paku. Ini adalah gabungan antara rasa lapar, doyan dan menikmati. Ya ... menikmati saat Ervan menyuapinya. Seakan-akan nasi putih saja berasa beras ketan. Ah ... sepertinya ia mulai tak sehat. Kenapa malah memikirkan hal aneh-aneh tentang Ervan yang jelas-jelas sangat tak ia sukai.
"Kalau tadi aku beli dua porsi, mungkin akan kamu habiskan juga," komentar Ervan tak percaya saat makanan yang ia berikan pada Celine, habis tak bersisa.
"Iklas nggak, sih?!"
"Kalau aku bilang nggak iklas, gimana? Apa kamu berniat mau muntahin lagi?"
"Dih, kok nyebelin, sih," umpat Celine sambil terus mengunyah makanan terakhir yang ada di mulutnya. Ia merasa seperti sudah tak makan berhari-hari. Padahal baru menahan dari pagi hingga jam makan siang. Baru ia sadari, ternyata hidupnya tak akan bisa jauh dari yang namanya makanan.
"Kamu doyan atau laper, sih? Atau karena aku yang nyuapi jadinya makanmu lahap begini?"
Celine malah tersedak minuman yang saat itu sedang mengguyur tenggorokannya. Kenapa ia malah merasa salting mendengar Ervan bicara begitu.
"Aku lagi minum, jangan bicara terus. Aku kan jadi tersedak," komentarnya.
"Aneh. Yang minum, kamu ... yang bicara, aku. Apa hubungannya coba," balas Ervan. Setiap perkataan dan ucapan Celine rasanya ingin terus dan terus ia balas. Padahal biasanya ia tak seperti ini, yang hanya akan memberikan jawaban untuk satu pertanyaan. Bukan malah berbalas seperti ini.
Ia mengambil sesuatu dari tas nya yang ada di kursi belakang. Tanpa bertanyapun, Celine tahu sekali kalau itu adalah seonggok obat-obatan. Salah satu nama yang paling tak ia sukai.
"Singkirkan itu semua dari hadapanku," pinta Celine sambil menutupi hidungnya.
"Kenapa?"
"Aku nggak suka."
"Sayangnya, meskipun kamu nggak suka, tapi kamu harus mengkonsumsinya saat ini. Salah kamu sendiri, bodoh karena seolah sedang mengundang penyakit datang padamu," jelas Ervan yang sudah siap dengan beberapa butir obat berjenis kapsul dan tablet di telapak tangannya. "Minum obat ini."
Melihat penampakan obat-obatan itu saja seakan membuat makanan yang ia telan tadi bergejolak ingin keluar. Bau nya itu loh, mengusik indera penciumannya.
"Aku nggak mau, Kak," tolaknya sediikit merengek.
"Wajib mau. Atau kamu lebih memilih untuk menginap di rumah sakit. Bisa tahu, kan, berapa banyak obat yang akan kamu nikmati di sana nanti."
"Kenapa memaksaku seperti seorang dokter, sih."
"Begitulah," balas Ervan. "Atau aku nggak akan minta papamu balikin mobil sama ponsel," tambah Ervan dengan ancamannya.
Celine merasa dirinya sedang dibodohi oleh seorang Ervan. Tapi ini sudah terlanjur membuat dirinya jadi seolah benar-benar bodoh. Atau memnag Ervan lah yang pintar membodohinya? Entahlah ... intinya dirinya benar-benar bodoh.
"Satu aja, ya?" tawar Celine.
"Semuanya ada 5 butir dan kamu harus konsumsi semua," terang Ervan.
Celine memasang tampang kesal. Kalau dipikir-pikir, sikap Ervan padanya saat ini lebih terlihat seperti seorang dokter yang memaksa pasiennya untuk minum obat. Kejam sekali. Ini lebih kejam dari sebuah pembunuhan.
Dengan keterpaksaan yang begitu mendalam, akhirnya ia menelan satu persatu benda kecil, tapi mampu membuat nyalinya seakan ciut seketika. Ia sungguh tak menyukai bau dan aroma yang dikeluarkan oleh obat-obatan itu. Termasuk bau khas rumah sakit dan juga ... dokter. Pengalaman masa lalu seakan menjadikan profesi itu jadi boomerang dalam kehidupannya. Makanya, ia tak mau berurusan dengan ketiganya.
Hanya lima butir obat berukuran kecil, tapi ia seakan-akan sedang dipaksa minum racun. Apalagi di saat itu benda pake acara masuk ke dalam tenggorokannya dengan tersendat-sendat hingga ia harus mendorong dengan tegukan air yang banyak, membuat perutnya terasa kembung.
Disaat semua penderitaan itu berakhir, ingin rasanya ia adakan selametan 7 hari 7 malam atas keberhasilannya menelan obat sebanyak 5 butir dalam satu waktu.
"Lain kali, kalau kamu nggak mau minum obat, jangan pernah mengundang penyakit. Tindakanmu begitu konyol," ledek Ervan sambil mengacak rambut Celine layaknya seorang bocah ingusan.
Diperlakukan seperti itu, bukannya marah, justru Celine merasa sesuatu tengah terjadi di jantungnya. Hingga mengakibatkan detakan parah dan tak karuan. Sungguh aneh, tapi memang itulah yang saat ini ia rasakan. Aliran listris bertegangan tinggi seolah sedang merasuki setiap aliran darahnya. Tapi tak membuatnya kesetrum.
Setelah selesai makan dan minum obat, Celine segera meminta Ervan untuk mengantarnya pulang. Rasanya badannya sangat tak enak. Ingin istirahat dan melupakan aroma tak enak yang masih menguasai mulutnya.
"Makasih, ya ... udah beliin makanan buat aku, udah nyuapin juga, dan jangan lupa yang tadi. Minta Papa buat balikin ponsel sama mobilku," jelas Celine saat sampai di halaman rumahnya, sebelum turun dari mobil.
Ervan tak menjawab ataupun merespon perkataan Celine, tapi malah turun dari mobil. Membuat gadis itu memberengut karena seolah dikacangi.
"Astaga! Untungnya ganteng, kalau enggak udah gue ... ahh!!!' Geram sekali rasanya.
Ervan memutari, kemudian membukakan pintu mobil untuk Celine. Gadis itu segera turun dengan tangannya yang masih menempel di perutnya. Jujur saja, rasa sakit itu sekarang masih berasa. Ya ... meskipun tak semenyakitkan tadi yang seakan membuatnya ingin menangis sejadi-jadinya.
"Masih sakit?"
Celine tak menjawab pertanyaan itu. Ia ingin balas dendam saat pertanyaan dan pernyataannya tadi tak direspon sama sekali oleh Ervan.
"Aku lagi nanya, Cel," komentarnya.
"Makasih udah jemput aku, dan makasih juga untuk makanannya. Lain kali, nggak usah jemput, ya," ujarnya segera berlalu dari hadapan Ervan dan langsung masuk ke dalam rumah.
"Bisa gila beneran kalau menghadapi bocah tiap hari seperti ini," gumam Ervan menatap Celine yang sudah berlalu masuk. Kemudian kembali masuk ke dalam mobil saat gadis itu benar-benar sudah hilang dari pandangannya.
---000---
Sampai di dalam rumah, saat berniat untuk segera masuk kamar, ia berpapasan dengan Bik Runi yang datang dari arah dapur. Wanita paruh baya itu berfokus pada ekspressi wajah Celine.
"Non Celine kenapa?"
"Sakit perut, Bik," jawabnya tanpa berniat untuk menghentikan langkahnya menuju kamar.
Mendengar jawaban sang majikan, tentu saja membuat Bik Runi khawatir. Karna ia tahu, kalau Celine sakit perut, pasti asam lambungnya sedang kambuh. Terakhir kali itu terjadi dua tahun lalu, hingga mengakibatkan gadis itu harus menginap di rumah sakit selama satu minggu.
Yang ia cemaskan bukan itu, tapi kalau sampai terjadi lagi, bisa dipastikan akan heboh. Karena majikannya itu tak menyukai yang namanya rumah sakit. Ia akan mengoceh, menangis, dan berteriak-teriak heboh di rumah sakit untuk segera bisa pulang.
"Non, udah minum obat belum?" tanya Bibik yang mengekori langkah Celine hingga ke dalam kamar.
Celine tak menjawab pertanyaan Bik Runi, tapi ia malah langsung merebahkan badannya di kasur dan memeluk erat sebuah guling sembari memejamkan kedua matanya. Kali ini yang ia rasakan adalah mengantuk seperti habis mengkonsumsi obat tidur.
Tak mendapatkan jawaban dan malah tidur, Bik Runi tak bertanya lagi. Sepertinya majikannya ini memang tak baik-baik saja. Ia menanggalkan sepatu yang masih menempel di telapak kaki gadis itu. Kemudian menyelimuti tubuhnya yang masih mengenakan seragam sekolah.
Saat sampai di rumah waktu menunjukkan pukul tiga, dan sekarang saat ia membuka mata, ternyata jarum jam sudah nangkring di angka enem sore. Benar, sepertinya Ervan memberinya obat tidur. Karena tak biasanya ia tidur siang kalau malamnya tak begadang.
"Ck ... lama banget gue tidur," gumamnya menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dari pinggang hingga mata kaki.
Ia bangun dari posisi tidurya dan mencoba merasakan sesuatu di bagian perutnya. Tapi tak terasa apa-apa. Kemudian tersenyum lega saat rasa sakit yang tadi siang menyerangnya, sudah hilang.
"Udah nggak sakit lagi," ungkapnya tersenyum lebar. Apa karena obat yang dikasih Kak Ervan, ya?"
Ia beranjak dari tempat tidur, dan menuju kamar mandi sambil meneteng pakaian ganti yang sebelumnya ia ambil dari dalam lemari. Badannya terasa begitu lengket karena keringat. Otomatis aromanya begitu sangat menyengat indera penciumannya.
Setelah mandi dan merapikan rambutnya, barulah ia keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian harian. Tanktop berwarna pink dengan bawahan hot pants.
"Bik!!!!" Ia berteriak di pertengahan anak tangga memanggil Bik Runi.
"Iya, Non," sahut wanita itu dari arah dapur dan segera menuju pusat sumber panggilan. Setidaknya ia yakini kalau saat ini keadaan Celine pastilah sudah pulih. Buktinya, sudah bisa berteriak. Tak seperti tadi siang, lemas.
"Iya, Non ... ada apa?" tanya Bik Runi saat sampai dihadapan Celine tepat saat gadis itu sampai di anak tangga paling bawah.
"Papa udah pulang?"
"Belum, Non," jawabnya.
"Kok tumben. Biasanya jam segini Papa pasti udah pulang. Apa mungkin hari ini lembur, Ya?" ia mencoba menebak-nebak, meskipun saat ini jujur, perasaannya tak enak sekali. Seperti sesuatu tengah terjadi.
"Sepertinya begitu, Non," setuju Bibik akan tebakan Celine.
Celine berlalu dari hadapan Bik Runi, berniat untuk menuju ke arah teras belakang. Mungkin baru dua langkah kakinya berjalan, tiba-tiba telepon yang berada tak jauh darinya berdering. Tanpa berpikir, ia menghampiri dan menjawab panggilan itu.
"Hallo ..."
"Kamu lagi ngapain?" tanya dia yang ada dibalik telepon.
"Ini siapa?" tanya Celine sambil memasang wajah bingung. Ya, tentunya. Karena tiba-tiba malah menanyakan seperti itu.
"Udah sembuh? Perutnya nggak sakit lagi, kan?"
"Kak Ervan?" tebaknya saat baru menyadari kalau ternyata yang bicara dengannya saat ini adalah Ervan. Ia benar-benar lupa. Padahal ia sudah berusaha agar selalu mengingat suara itu. Jangan salah sangka dulu ya, guys ... hanya sekadar mengingat.
"Sebentar lagi aku sampai di sana, jangan kemana-mana," ujar Ervan langsung menutup percakapan.
Tentu saja itu membuat Celine kesal. Ia belum selesai bicara dan bertanya, Ervan malah main tutup telepon begitu saja. Sambil mengumpat ia letakkan kembali gagang telepon di posisi semula. Niatnya yang ingin menuju teras samping, kembali ia teruskan. Aneh sekali, rasanya akan terjadi sesuatu, tapi entah apa.
Sambil membaca sebuah majalah, ia duduk di pinggiran kolam renang dengan kedua kakinya yang ia celupkan ke dalam air. Harusnya saat ini waktunya chat'an bareng Denis. Tapi masalahnya ponselnya masih berada di dalam penyitaan pak presiden di rumah ini. Tak sabar rasanya saat Ervan berhasil membuat sang penguasa rumah mengembalikan benda itu.
"Cel ..."
Panggilan itu membuat si pemilik nama mengarahkan pandangannya ke asal sumber suara. Terlihat, sosok Ervan sudah berdiri di belakangnya. Seperti biasa, tetap dengan memasang wajah dingin bak es yang ada di lemari es. Tapi entah kenapa saat ini Celine merasa sedikit terpesona akan sosok itu. Apa karena saat ini dia hanya mengenakan pakaian harian, bukan formal seperti biasanya.
Segera, ia beranjak dari posisinya dan berjalan menghampiri Ervan.
"Ada apa, Kak?" tanya Celine dengan rambut panjangnya yang tergerai hingga pinggang.
Ervan tak serta merta langsung menjawab pertanyaan yang diutarakan Celine. Bukan karena ia merasa tiba-tiba lupa akan apa tujuannya datang menemui gadis ini, tapi ia bingung bagaimana cara menyampaikannya.
"Kak ..."
Ia tersentak ketika panggilan Celine kembali ia dengar.
"Ya?"
"Ada apa? Tumben kesini di jam segini. Atau, mau ketemu sama Papa. Ya? Tapi Papa belum pulang. Mungkin masih di kantor, lembur," terangnya.
jelas itu tebakannya. Ya apalagi tujuan Ervan kalau bukan untuk menemui papanya. Sangat tidak mungkin kalau tujuan cowok ini adalah untuk bertemu dengannya. memangnya siapa dirinya? Seorang gadis yang dijodohkan secara dadakan dengannya.
"Bukan ... aku ke sini bukan untuk menemui Om Jovan," sangkal Ervan cepat. "Tapi justru aku kesini mau memberitahuakan keadaan beliau saat ini padamu."
Tentu saja pernyataan Ervan itu membuat Celine heran. Ervan datang untuk memberitahukan keadaan papanya? Jujur saja, tiba-tiba hatinya merasa sangat tak tenang. Karena dari tadipun ia juga sudah merasakannya.
"Maksudnya apa, Kak?"
Ervan yang posisinya berjarak sekitar satu meter dengan Celine, kini semakin mendekat. Tanpa perkataan dan ucapan apapun, ia langsung saja membawa Celine ke pelukannya. Tentu saja sikapnya itu membuat gadis yang hanya sepantaran bahunya itu merasa kaget.
"Kakak kenapa, sih?"
"Kamu harus kuat, ya, saat mendengar berita yang ku sampaikan," bisik Ervan yang masih dalam keadaan memeluk Celine. "Setidaknya, ada aku di sampingmu."
Hatinya yang dari tadi tak tenang, kini semakin menjadi-jadi ketika mendengar ucapan Ervan. Ia seolah-olah di wanti-wanti untuk siap mendengar sebuah berita yang tak baik. Tapi apa? Apa? Semoga bukan tentang papanya ... semoga.
"Jelaskan padaku, Kak. Jangan membuatku penasaran," komentarnya.
Celine ingin melepaskan diri dari pelukan aneh itu, tapi langsung terhenti ketika sebuah berita buruk dikatakan oleh Ervan. Hanya beberapa potong kalimat saja, mampu membuat dunianya seakan hancur. Badannya terasa begitu sangat lemas. Jantungnya berdetak cepat seakan-akan berniat untuk berhenti berdetak. Bahkan, kakinya terasa sangat lemas hingga untuk menopang tubuhnya saja ia seakan tak mampu dan malah ingin roboh.
