
Ringkasan
Hidup tanpa kasih sayang dan pantauan seorang Ibu, membuat Celine seolah merasa bebas. Hingga akhirnya, papanya malah menyiapkan seseorang untuk menjaganya. Bukan bodyguard berbadan kekar, tapi justru seorang yang akan menjadi suaminya lah yang dipersiapkan.
BAB : 1
Suara alarm membangunkan si pemilik kamar untuk segera membuka mata dari tidur panjangnya. Itu perumpamaan saja, karena nyatanya ia baru beberapa saat yang lalu menutup mata. Tapi sekarang, sudah bangun lagi.
Ya ... namanya Joeceline Derra Arghandi. Anak sulung dari pasangan Jovan Arghandi dan Nilam Ferdinand (Almh). Ia mempunyai adik laki-laki bernama Joenathan Rei Arghandi.
"Ya ampun, udah pagi aja. Perasaan gue baru aja tidur," gerutunya sambil memaksakan matanya untuk segera melek. Beratnya itu seolah ada setan yang terkutuk sedang duduk santai di kelopak matanya.
"Non ... udah bangun belum?" tanya seseorang berteriak-teriak di depan pintu kamarnya. Ya ... siapa lagi pelakunya kalau bukan Bik Asih. Bisa dikatakan itu terjadi di setiap pagi.
"Iya, Bik ... aku udah bangun," jawab Celine tak kalah hebohnya sambil berjalan dengan malas dan gontai menuju kamar mandi. Jangan ditanya lagi ia mau apa? Ya mandilah.
Setelah selesai melakukan ritual mandi dan sudah rapi dengan seragam sekolah, iapun turun menuju meja makan untuk sarapan.
Saat sampai, di situ sudah ada Jovan--papanya yang sedang membaca koran.
"Pagi, Pa," sapanya.
"Pagi, Sayang."
Jovan yang tadinya berfokus pada koran yang ada dihadapannya, mengalihkan pandangan ke arah putrinya.
"Ya ampun, Celine ... Ini rok sekolah kamu tiap hari Papa lihat makin hari kenapa makin pendek saja," ujar papanya.
Menanggapi komentar papanya ia malah nyengir.
"Tentu saja, Pa, anakmu ini tiap hari kan makin tambah tinggi. Aku tumbuh ke atas, bukan ke samping." Alasan yang masuk akal.
"Kamu kira Papa bisa kamu bohongin?" Papanya mulai mengoceh.
"Iya, tahu ... ini yang terakhir kalinya, suer," ucapnya sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk V.
"Awas saja kalau Papa sampai dapat surat panggilan dari sekolah karna kamu memakai rok yang kurang bahan," jelas Jovan.
"Nggak bakal."
"Gimana tidurnya, nyenyak?" tanya papanya sambil mulai sarapan.
"Kurang, Pa," jawabnya sambil menikmati sandwich yang sudah disiapkan Bibik.
"Kurang apa?"
"Kurang panjang waktu buat tidur, Pa. Perasaan baru tidur, eh, tiba-tiba udah pagi aja. Padahal masih ngantuk," jelasnya.
Tentu saja ia merasa tidurnya kurang panjang, baru memejamkan mata saja sudah jam 1 malam. Bisa digorok ia kalau sampai papanya tahu.
"Jangan bilang kalau semalaman kamu mikirin cowok?"
"Enggaklah, Pa."
"Cel ... inget perjanjian kita, kan, nggak ada yang namanya pacaran.
Kalau sampe kamu langgar, semua fasilitas akan Papa cabut," jelas Jovan mengancam putrinya.
Sebenarnya ia tak mau bersikap seperti itu, tapi ia hanya tak ingin putrinya malah terjerumus dengan pergaulan bebas. Lebih baik langsung saja, daripada terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Iya, Pa," balasnya.
Keterlaluan banget kan papanya. ini Usianya sudah 17 tahun dan masih saja tak diperbolehkan untuk pacaran. Tapi, bukan Joeceline namanya kalau enggak melanggar peraturan yang dibuat papanya.
"Dan juga, Papa mau bicarain sesuatu yang penting sama kamu." Tiba-tiba papanya memasang wajah serius.
"Apa?" tanya Celine.
"Celine, Papa mengirim Nathan ke Jepang itu bukan tanpa sebab. Berhubung dia cowok, Papa ingin dia bisa mandiri dan nggak hanya bergantung sama Papa. Berbeda dengan kamu, hingga saat ini pun kamu masih menjadi anak gadis Papa yang manja dan cengeng.
Papa juga nggak mungkin kan bisa jagain kamu setiap waktu."
Parah amat papanya, putrinya sudah tumbuh dewasa seperti ini, tapi masih dianggap gadis manja dan cengeng.
"Papa udah nggak mau jagain aku?"
"Bukan gitu, Sayang. Maksudnya,
Papa nggak bisa jagain kamu setiap kamu butuhin. Di saat kamu sedih atau punya masalah, belum tentu juga Papa ada di samping kamu. Kamu tahu kan, Papa selalu sibuk."
Ya kalau masalah kesibukan papanya, sih, ia juga sudah paham. Bahkan dari kecilpun ia sudah biasa hidup tanpa kasih sayang orang tua. Ya ... ia tak memiliki seorang Ibu di kehidupannya. Beliau meninggal saat ia masih kecil ... tepatnya saat melahirkan Nathan ke dunia.
"Pa, aku udah terbiasa, kok. Jadi, nggak usah dipermasalahkan lagi," balasnya.
"Tapi Papa nggak tenang kalau harus ninggalin kamu untuk waktu yang lama," tambah Jovan.
"Papa mau pergi?" tanya Celine.
Laki-laki paruh baya itu meneguk segelas air sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
"Cel, Papa harus ke Jepang ngurusin perusahaan dan itu butuh waktu lama. Papa nggak tenang kalau harus ninggalin kamu di rumah."
"Kan ada Bibik," jawabnya.
"Ya ... biar bisa kamu kibulin setiap hari," timpalnya.
Yah ... tahu aja papanya apa yang akan ia lakukan saat hanya ada Bibik di rumah.
"Untuk itu, Papa sudah ambil keputusan kalau Papa akan jodohin kamu sama seseorang,'' jelas papanya yang langsung bikin Celine kaget. Saking kagetnya, sandwich yang sudah berada dihadapan bibirnya gagal memasuki mulutnya.
"Hah, dijodohin? Papa lagi nggak bercanda, kan?"
"Ini serius."
"Papa yang bener aja dong. Ini udah jaman now, Pa, bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Masa iya pake acara jodoh-jodohan segala. Pokoknya aku enggak mau!!"
Ia langsung menyerocos menolak keinginan papanya yang sangat tak masuk akal itu.
"Papa bukan lagi bertanya kamu setuju atau enggak tentang perjodohan ini, tapi ini perintah seorang Ayah pada putrinya. Dan ucapan Papa barusan tidak bisa diganggu apalagi digugat. Kalau tidak, kamu akan Papa kirim ke sekolah asrama. Pilih mana?"
Oowhh ... asrama? Ia nggak bisa ngebayangin kalau harus masuk ke kawasan itu. Tapi ia juga nggak mau dijodohin. Help me!!!
"Pa, aku ini anak Papa bukan, sih? Kenapa harus dijodoh-jodohin segala," kesalnya.
"Ya ... karena kamu memang anak Papa, makanya harus menuruti perintah Papa. Kamu harus punya seseorang yang bisa jagain kamu, kapanpun kamu butuh."
"Sewa bodyguard aja kalau gitu," usulnya. Tapi usulannya diabaikan begitu saja oleh papanya.
"Kamu tahu Om Andreas?"
Jangan bilang kalau papanya mau menjodohkan dirinya dengan Om Andreas. Gila aja!.
"Ya ...," jawabnya cuek.
Bagaimana ia nggak kenal, Andreas yang di maksud papanya di sini adalah pemilik dari sekolah tempatnya menimba ilmu dan pemilik dari Abraham Group, cuma itu yang ia tahu. Tapi, beliau masih punya istri. Nggak mungkin juga, kan, dirinya bakal jadi istri kedua. Secara, kalau dilihat-lihat, Tante Arlin--istri dari Om Andreas tak ada kekurangan apapun, bahkan bisa dibilang sempurna untuk kriteria seorang wanita.
"Papa mau ngejodohin kamu sama anaknya Om Andreas. Kamu mau, kan?"
Tenyata, dugaannya salah. Bukan Andreas lah yang akan dijodohkan dengannya, melainkan putranya. Tapi tetap saja, ia tak tahu bahkan mengenal putra beliuu. Karena tak pernah tahu, dan tak pernah bertemu. Setiap ada pertemuan keluarga pun, sosok itu tak peenah ada.
"Itu pertanyaan atau pernyataan, Pa?" tanya Celine bersemangat.
Yakali aja itu sebuah pertanyaan, tentu saja ia akan menjawab 'tidak'.
"Sudahlah ... bukankah tadi Papa sudah bilang, keputusan yang Papa buat tidak bisa diganggu apalagi digugat," ujar Jovan. "Papa ke kantor dulu," tambahnya meninggalkan Celine yang masih memasang tampang kecut.
Papanya benar-benar keterlaluan. Kenapa harus ada perjodohan? Ini sudah zaman keju, bukan zaman ubi kayu lagi. Mau mencuci, sudah ada mesin cuci ... nggak perlu nyikat-nyikat lagi. Haruskah ia meminta kantong Doraemon untuk meminta mesin waktu, agar memutar waktu ke zaman Siti Nurbaya kembali? Zaman dimana perjodohan merajalela.
Oo ... apa papanya malah mau balas dendam, sebab dulu beliau juga menikah dengan mamanya karena perjodohan? Keterlaluan sekali.
Saat otaknya lagi erorr untuk memikirkan perjodohan yang nggak masuk akal itu, ponselnya berdering. Ia segera menjawab panggilan itu saat nama Megan lah yang tertera di layar ponselnya.
"Apaan?"
"Udah berangkat belum?"
"Lagi sarapan," jawab Celine.
"Gue mau nebeng, mobil lagi diservice," jelasnya.
"Hmm ... ntar gue jemput."
"Okay."
Jadilah, pagi ini ia harus menjemput sobatnya itu terlebih dahulu, untuk berangkat bareng ke sekolah.
~0~0~0~
Namanya Ervan Will Abraham. Putra dari Andreas Abraham dan Arlinka, sekaligus pewaris tunggal dari ABRAHAM GROUP.
Sifatnya sulit ditebak, kadang ia bersikap dingin, kadang berubah hangat hingga seseorang yang berada di sampingnya bisa merasa nyaman. Tapi, kehangatannya bisa dikatakan jarang terlihat. Lebih cenderung dingin, terlebih untuk urusan pekerjaan dan ... wanita.
Bukan perihal yang sulit baginya mendapatkan seorang wanita, dengan pesonanya saja semua wanita dijamin bertekuk lutut tanpa diperintah. Ditambah lagi dengan statusnya yang seorang pewaris tunggal. Hanya saja, ia tak suka bermain-main untuk masalah hati. Menurutnya, lebih baik satu ... tapi memang dari hati. Bukan sepuluh ... tapi hanya sebuah pajangan dan status semata.
Kadang pengalaman, bisa mengubah seseorang agar tak terjerumus di lobang yang sama.
"Ma ... Pa ... aku berangkat dulu," pamitnya pada kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa.
Andreas menutup lembaran korannya. "Tunggu dulu, Papa mau bicara," ujar Andreas menghentikan langkah Ervan. "Duduklah," pintanya pada sang putra.
Ervan duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tuanya.
Andreas beranjak dari duduknya, dan mengambil sebuah map berwarna biru di meja.
"Tolong kamu berikan surat ini pada Kepala Sekolah. Bilang pada beliau, hari ini Papa nggak bisa datang ke sekolah," jelasnya sambil menyodorkan map itu pada Ervan.
Ervan tak menjawab ataupun berkomentar. Tapi ia hanya menerima map dari tangan papanya.
"Dan Papa juga mau bilang kalau kami udah mutusin akan menjodohkan kamu dengan anak dari sahabat kami."
Andreas langsung bicara to the points. Ya ... setidaknya ia paham bagaimana sifat putranya yang memegang prinsip 'tak suka berbelit-belit.'
Sedikit tersentak dan terkejut saat mendengar perkataan papanya. Tapi ia bukanlah seorang laki-laki pemberontak dan emosian. Sikap kalemnya menahan itu semua.
"Namanya Joeceline ... Putri dari Om Jovan, kamu pasti kenal beliau. Saat ini dia masih berstatus sebagai siswi kelas 3 SMA di salah satu sekolah milik kita," jelas Andreas.
"Terserah Papa saja," balasnya langsung beranjak dari duduknya dan berlalu pergi begitu saja.
"Ervan ... papa kamu belum selesai bicara, Nak," panggil Arlington, tak tak dihiraukan oleh yang bersangkutan.
"Sudahlah, Ma ... biarkan dia pergi. Yang paling penting dia tak menolak apa yang kita inginkan," ujar Andreas pada istrinya.
Benar sekali, menurutnya ... diam berarti 'ya'. Tapi ia yakin, kalau Ervan tak akan pernah menolak apa yang ia inginkan. Sebagai seorang putra, sikapnya bisa dikatakan sudah berubah, dan jadi penurut.
