Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 8

Celine masih duduk diam di bawah pohon mahoni yang ada di dekat gerbang sekolah. Ia sudah celingak celinguk berharap Ervan akan datang, tapi tidak sama sekali. Apa cowok itu lupa kalau akan menjemputnya? Awas saja kalau benar begitu, tak akan ia maafkan. Calon suami macam apa yang lupa waktu menjemputnya.

Kalau tahu akan seperti ini, ia terlunta-lunta di pinggiran jalan, mungkin saat Megan menawarkan untuk mengantarkannya pulang akan langsung ia terima. Tapi, karena sudah janjian dengan Ervan, makanya ia tolak dengan alasan papanya yang akan menjemput. Tapi kini, ia sudah seperti setrikaan yang korslet, bolak balik mondar mandir tak tentu arah.

"Ya ampun ... ini orang kemana, sih? Mau hubungin juga lewat apaan? Kebangetan pake banget ini mah namanya. Malah perut gue laper. Bisa-bisa gue mati di pinggiran jalan," gerutunya sambil duduk di pinggir jalan dengan menekuk perutnya yang mulai berontak minta diisi. Sebenarnya itu ia rasakan sudah dari tadi pagi, tapi mengigat kalau saat ini sedang dalam masa mogok makan, makanya ia usahakan bertahan. Meskipun rasa sakit di perut dan juga rasa mual gara-gara asam lambungnya yang kumat.

Sebuah mobil berhenti tepat di dekatnya. Pandangan ia arahkan pada kendaraan yang beberapa hari ini sudah mulai biasa ia jumpai. Begitupun pemiliknya.

"Maaf ... aku telat jemput kamu," ujar si pemilik mobil langsung menghampiri Celine yang masih duduk di pinggir jalan.

"Kak ... kalau emang nggak niat jemput, jangan janjiin. Aku udah nungguin lama loh ini. Kalau tahu, aku bakalan nebeng temen, atau naik taksi aja," ocehnya.

"Sekali lagi, maaf," balasnya menunjukkan rasa bersalahnya. "Lagian, aku bilang janjian di cafe, kan, bukan di pinggir jalan kayak gini," komentar Ervan. Itulah salah satu penyebabnya telat datang. Janji ketemuan di cafe, yang ditunggu malah menunggu di pinggir jalan. Ya buang-buang waktu aja jadinya. Untung saja tadi ia berpikir untuk mengecek ke area sekolah, karena tak menjumpai Celine di cafe.

"Udah terlanjur juga," komentar Celine.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

"Aku nungguin kayak orang ling lung di pinggiran jalan, apa menurut Kakak aku baik-baik aja?" Perutnya sakit, kepalanya pusing dan mual. Membuat emosinya seakan naik langsung mencapai ubun-ubun.

"Maksudku ... apa kondisimu sekarang baik-baik saja? Kamu lagi sakit? Wajahmu pucat." Pekerjaannya membuatnya bisa tahu dengan pasti bagaimana kondisi Celine saat ini. Walaupun hanya melihat dari mimik wajah.

"Enggak," jawab Celine bangkit dari posisi duduknya. "Ayok, Kak ... anterin aku pulang," pintanya sambil terus memegangi perutnya. Rasanya ia ingin cepat sampai di rumah dan tidur sambil memeluk erat bantal guling. Ini begitu menyakitkan. Keringat dingin seolah sedang mengalir deras di punggungnya.

Ervan mengantarkan Celine pulang ke rumah. Di perjalanan, tak ada percakapan sama sekali. Celine dengan menahan sakit di perutnya, sedangkan Ervan fokus mengemudikan mobil. Tapi ia menyadari kalau gadis yang ada di sampingnya itu tak baik-baik saja. Ia terus memegangi perutnya sambil sesekali meringis.

"Jangan bohong, kamu lagi sakit, kan?"

"Aku lagi nggak mood bicara," balas Celine tanpa mengarahkan pandangannya pada Ervan dan hanya berfokus pada rasa tak mengenakkan di perutnya.

Setengah perjalanan, di saat keduanya terjebak dalam kemacetan lalu lintas ibu kota, tiba-tiba Celine memegang tangan Ervan yang memegang setir. Sontak membuat laki-laki berparas tampan itu tersentak dan mengarahkan pandangannya pada Celine.

"Aku benar-benar nggak kuat, perutku sakit banget," ringisnya semakin mengeratkan pegangannya di tangan Ervan seolah sedang menahan sakit.

Tentu saja, kondisi Celine itu membuat Ervan panik. Dugaannya ternyata benar ... gadis itu tak baik-baik saja, tapi berusaha menahan.

"Kamu kenapa?"

"Perutku sakit banget, Kak." Kali ini ia malah menangis gara-gara nggak kuat lagi. Terserahlah, mau bilang ia gadis cengeng sekalipun. Setidaknya di depan Ervan doang.

Ervan mencari celah untuk keluar dari kemacetan. Tapi sepertinya begitu sulit dan memilih untuk menghentikan laju mobilnya di depan sebuah ruko yang kebetulan sedang tutup.

"Tunggu di sini, ya ... aku beli minum dulu," ujarnya keluar dari mobil mencari toko minuman terdekat.

Bahkan Celine merasa menunggu Ervan yang hanya membeli minumanpun terasa begitu sangat lama. Seakan dia sedang mencari sumber mata air di pegunungan Himalaya saja.

"Kak ... lama banget, sih," rengeknya saat Ervan kembali dengan sebotol air mineral di tangannya.

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Ervan, bahkan seolah tak ingin menjawab. Ia hanya berfokus pada ekspressi Celine yang masih menahan sakit.

"Sakitnya dibagian mana?"

"Aku kan udah bilang, perutku yang sakit, Kak ... perut," ocehnya. Haruskah dia bertanya dan terus bertanya di saat seperti ini? Bahkan di cuaca yang panas terik begini, ia merasa kedinginan gara-gara menahan sakit.

Mendapat jawaban itu, Ervan malah langsung saja menerobos dan meletakkan telapak tangannya di perut Celine. Tak hanya itu, ia seperti sedikit menekan tangannya di sana. Membuat si pemilik langsung mengerang.

"Jangan ditekan begitu, sakit!!!" Ia segera menyingkirkan tangan Ervan yang dengan seenak jidatnya menerobos memasuki seragam sekolahnya. Kalau saat ini ia sedang dalam keadaan baik-baik saja, ia pastikan akan memberikan tonjokan. Berani-beraninya menyentuhnya.

"Asam lambung? Kamu belum makan, ya?"

"Hmm ... begitulah," angguknya.

"Makanya aku ngajak kamu janjian di cafe, biar sekalian makan siang. Ini malah nunggu di pinggir jalan," omel Ervan. Ia hendak kembali keluar dari mobil, tapi ditahan oleh Celine.

"Mau kemana lagi?"

"Beli makanan buat kamu."

"Jangan."

"Kalau kamu nggak makan, itu sakit nggak akan berkurang."

"Aku nggak mau makan. Maksudnya, aku nggak bisa makan setidaknya untuk hari ini," ungkap Celine masih dengan posisi tangannya yang menahan pergelangan tangan Ervan agar cowok itu tak melanjutkan niatnya untuk membeli makanan.

Tentu saja pernyataan itu membuat Ervan bingung.

"Maksudnya?"

"Papa nyita ponsel sama mobilku. Aku ngancem dengan mogok makan. Tapi Papa malah nantangin balik. Kalau aku kuat nggak makan dalam sehari ini, kedua benda itu akan kembali padaku," jelasnya.

Senyuman tercetak di sudut bibir Ervan. Seperti sebuah ejekan akan tingkah gila yang dilakukan Celine. "Kamu nahan laper seharian dan nahan sakit begini, cuman buat bisa dapetin mobil sama ponsel lagi? Astaga! Cel ... kamu sama aja nyiksa diri sendiri." Kini giliran Ervan yang memberikan omelannya.

Celine hanya bisa terdiam saat mendapatkan omelan itu. Terlebih sakit yang ia rasakan membuatnya tak kuat untuk membalas.

"Sakit banget, Kak," rintihnya.

Ervan melepaskan tangan Celine yang memegangi pergelangan tangannya dan keluar dari mobil. Bahkan, panggilan Celine untuk tak pergipun ia abaikan begitu saja. Entah kenapa ia merasa gregetan sekali dengan tingkah konyol gadis itu. Ingin rasannya marah, tapi malah tak tega melakukannya.

"Keterlaluan banget tu cowok. Gue lagi sekarat nahan sakit, malah ditinggal pergi. Pake dikunciin segala," umpatnya kesal. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel