BAB : 10
Celine melepaskan pegangan dan dekapan Ervan di tubuhnya dengan kasar.
"Apa yang Kakak katakan? Papaku baik-baik aja!"
Meskipun ia ingin membantah dan tak mempercayai apa yang dikatakan Ervan barusan, tapi tetap saja air matanya langsung tumpah membasahi kedua pipinya.
"Cel ... Om Jovan sekarang lagi di rumah sakit, beliau kritis. Lift yang digunakan saat turun menuju lantai dasar kantor, tiba-tiba saja mengalami masalah saat beliau berada di dalamnya. Dan beliau terkena serangan jantung, hingga ..."
"Aku nggak percaya, Kak .... aku nggak percaya!"
Tubuhnya merosot begitu saja di lantai seakan tak bertenaga dan tersandar di sudut meja. Rasanya ia ingin menangis sejadi-jadinya hingga air matanya terkuras habis, dan berteriak ketika mendengar semua itu dari Ervan. Hidupnya terasa benar-benar hancur layaknya sebuah piring yang terlepas dari genggaman dan berakhir di lantai.
"Kamu harus kuat, Cel ... harus kuat," bisik Ervan kembali memeluk tubuh Celine yang kali ini seolah pasrah.
Dalam pelukan Ervan, ia terus menangis sesegukan. Seakan tak perduli lagi kalau saat ini ia sedang kesal pada cowok ini. Yang penting baginya, ketika ia butuh, ada seseorang yang merelakan pundaknya untuk jadi sandaran.
"Sekarang, kamu ikut aku ke rumah sakit, ya. Tadi Om Jovan sempat sadar dan meminta kamu untuk menemuinya," ujar Ervan saat melihat Celine yang mulai sedikit tenang.
Celine mengangguk, dan melepaskan diri dari pelukan Ervan. "Ayok, Kak," ajaknya. Kemudian, dengan kasar ia hapus air mata yang membasahi pipinya.
Jadilah, keduanya berangkat menuju rumah sakit. Bahkan, diperjalananpun Celine terus menangis. Air matanya seakan keluar begitu saja membayangkan apa yang menimpa papanya. Ia tak ingin sesuatu yang lebih buruk lagi menimpa orang tuanya satu-satunya. Cukup, berita seperti ini seakan membuat hatinya seakan diobrak-abrik.
Melihat kondisi Celine yang begitu sedih, tentu saja membuat Ervan merasa ikutan tak tenang. Dia terus menangis bahkan sesekali sampai terisak.
"Tenanglah," ucap Ervan sambil menggenggam tangan Celine.
Sampai di rumah sakit, keduanya langsung menuju ruangan dimana Jovan di rawat. Ternyata, di sana sudah ada Andreas dan Arlinka, orang tuanya Ervan. Tak jauh berbeda dengan Ervan, wajah mereka terlihat sangat sedih.
Celine menghampiri laki-laki paruh baya yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Beberapa selang dan infus memenuhi tubuhnya. Pertanda, saat ini kondisinya memang tak baik-baik saja. Ia menangis dan memeluk tubuh itu.
"Cel ..."
Panggilan itu membuatnya tersentak seketika dan menatap wajah yang terlihat begitu lemah. Seakan-akan napasnya saat ini sedang diatur oleh alat-alat pernapasan yang melekat di beberapa tubuhnya.
"Pa ... Papa nggak apa-apa, kan? Mana yang sakit, Pa?"
Tergurat senyuman di bibir Jovan melihat reaksi putrinya. Tapi, dibalik senyuman itu, siapapun juga bisa melihat kalau ada rasa sakit tertahan yang sedang di rasakanya. Seolah-olah tak ingin memperlihatkan rasa itu pada Celine.
"Papa nggak kenapa-kenapa, kok. Papa cuman sakit, kalau melihat putri kesayangan Papa menangis," ungkap Jovan. Bahkan, untuk bicara saja ia begitu susah. Seakan-akan napasnya tak kuat untuk bicara.
Celine menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Apapun akan ku lakukan asalkan Papa senang."
"Itu yang Papa inginkan. Karena orang tua, pasti akan menginginkan yang terbaik untuk anaknya," ujar Jovan dengan napas yang tersengal-sengal. Ia terlihat begitu sulit walau hanya untuk bicara beberapa kalimat.
Ervan menghampiri Jovan. "Om ... jangan banyak bicara dulu, ya," pintanya.
Jovan menggeleng. "Om harus bicara sekarang, karena mungkin waktunya nggak akan ada lagi."
"Papa jangan bicara kayak gitu. Apa Papa berniat mau ninggalin aku kayak Mama? Papa udah nggak sayang lagi sama aku?"
"Justru karena Papa sayang sama kamu, makanya Papa mau kamu mendapatkan yang terbaik tanpa ada ataupun tiadanya Papa di samping kamu."
Ia memandang Ervan yang berada di samping kirinya. Kemudian menarik tangan cowok itu dan meletakkan diatas punggung tangan Celine. Tanpa menjelaskan maksud papanyapun, Celine bisa paham apa maksudnya.
"Papa mau aku sama Kak Ervan nikah, kan? Oke, aku mau. Kapan? Sekarang? Asalkan Papa nggak ninggalin aku," terangnya dengan tangis yang terus mengiringi setiap kata yang ia ucapkan.
Tentu saja mendengar perkataan Celine, membuat Ervan mengarahkan pandangan pada gadis itu. Ia tahu kalau dirinya dan Celine dijodohkan bukan karena cinta. Tapi, bukan di waktu yang tak tepat seperti ini juga.
"Cel ..." Genggaman tangan Ervan sedikit mengerat di tangan Celine, hingga gadis itu bisa merasakan reaksinya.
"Kak ... aku tahu ini mendadak. Tapi aku nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi sama Papa," ungkapnya.
"Celine ... k-kamu ha-harus menikah dengan Ervan. Titip salam Papa buat Nathan," ujar Jovan sambil tersenyum dengan sebelah tangannya memegangi bagian dadanya yang terlihat begitu menyakitkan. "I-itu ... keingi—nan Papa, Sayang ..."
Ucapan Jovan seketika terhenti, diiringi suara alat bantu pernapasan yang mengeluarkan suara yang membuat siapapun yang ada di ruangan itu kaget. Terlebih, Celine.
"Papa ... denger aku, kan?" Pertanyaan dan panggilan Celine sekarang tak mendapatkan respon apa-apa lagi dari Jovan.
Arlinka dan Andreas mendekat. Seorang dokter menghampiri dan memeriksa kondisi Jovan. Ervan membawa Celine agar mendekat padanya. Setidaknya ia sudah memahami dan mengetahui kondisi Jovan. Ia seolah sudah bersiap mendengar berita buruk yang akan diberitahukan dokter. Tapi, yang ia khawatirkan justru Celine.
"Papa saya nggak kenapa-kenapa, kan, dokter?" tanya Celine.
Dokter tak langsung menjawab. Ia memandang ke arah Ervan seolah sedang bertanya. Dengan respon sebuah anggukan dari Ervan, barulah dokter menarik napasnya dalam sambil berkata, "maaf ... Bapak Jovan, beliau sudah tiada."
Seperti mendapatkan sebuah serangan bom, Celine merasa dirinya hancur sehancurnya. Dunianya seakan lenyap ketika mendengar penuturan dokter.
"Nggak mungkin!! Papa nggak mungin pergi ninggalin aku! Papa janji mau nemenin aku terus."
Ia berterik-teriak seperti orang kesetanan menghampiri sang Ayah yang sudah tenang dan diam di depan matanya. Mencoba agar laki-laki paruh baya itu meresponnya, tapi tidak sama sekali. Terlalu sedih hingga membuat air matanya tak ingin keluar lagi. Kini hanya rasa sedih dan sakit yang kini lebih ia rasakan.
"Kamu harus sabar, Sayang," ujar Andreas begitupun Arlinka yang ikut larut dalam suasana duka. Mereka sudah menganggap Celine seperti anak sendiri. Jadi, di saat dia bersedih, otomatis itu ikut membawa perasaan yang sama pada mereka.
"Cel ... kamu harus sabar," ucap Ervan yang terus berada di sampingnya.
"Papa ninggalin aku, Kak," isaknya menatap dengan wajah penuh haru kearah Ervan. Bahkan, kedua matanya sudah bengkak karena terus menangis.
Ervan menggeleng. "Beliau akan tetap ada di sini," ujar Ervan megusap kepala Celine. "Dan di sini tentunya," tambahnya beralih meletakkan telapak tangannya di dada Celine. [Hati]
Tangis Celine kembali pecah memenuhi ruangan itu. Jujur saja, Ervan merasa yang ia rasakan saat ini bukanlah perasaan ikut terharu. Tapi justru ia malah tak kuat melihat kondisi Celine yang benar-benar terpuruk dalam kesedihan. Belum seharusnya seorang gadis seumurannya, harus kehilangan kasih sayang kedua orang tua.
"Jangan menangis lagi," bisik Ervan membawa Celine ke pelukannya. Rasanya ia ingin memberikan hal ternyaman untuk gadis itu agar rasa sedihnya tak terlalu berlarut-larut. "Aku tahu apa yang sedang kamu rasakan. Tapi, akan lebih baik jika kamu ikhlas. Beliau pasti ingin kamu bahagia, bukan mengeluarkan air mata seperti ini."
Ia hanya beranggapan kalau semua orang tak tahu rasanya jadi dirinya saat ini. Tapi, justru ia merasa mendapat tempat bersandar ketika bersama Ervan. Seakan-akan, cowok ini sedang menariknya untuk memberikan tempat ternyaman.
"Dulu, Mama ninggalin aku. Sekarang, Papa juga ikut pergi. Apa mereka membenciku, hingga tak berniat untuk terus bersamaku? Aku tahu kalau aku memang bukanlah anak yang baik, tapi kenapa harus dengan cara seperti ini untuk memberiku peringatan. Aku hancur ... aku sedih, Kak," ujarnya yang masih berada dipelukan Ervan.
Ervan tak membalas lagi. Fokusnya sekarang adalah, bagaimana membuat Celine tak bersedih, meskipun keadaan saat ini memang sepantasnyalah dia bersedih.
Setelah semua urusan dia rumah sakit selesai, semuanya pulang ke rumah membawa jenazah Jovan.
Saat ini Ervan dan Celine berada di dalam satu mobil. Ervan menanggalkan sweater miliknya dan mengenakannya pada tubuh Celine. Karena tergesa-gesa tadi, membuat gadis itu tak sempat berpikir untuk berganti pakain. Ia masih mengenakan tanktop dan hot pants.
"Ku mohon jangan bersedih lagi. Dan satu lagi, jangan pernah beranggapan kamu nggak punya siapa-siapa disini. Ada aku dan orang tuaku yang akan ada di setiap langkahmu. Kamu juga masih punya Nathan. Meskipun dia adalah adikmu, tapi setidaknya dia adalah seorang cowok yang tentunya akan melindungimu."
Lagi, air matanya keluar membasahi pipinya. Ia sudah tak berniat menangis, tapi memikirkan bagaiman akelanjutan hidupnya dan juga Nathan, membuatnya terus kepikiran.
"Aku sudah bilang, jangan menangis, kan," komentar Ervan menghapus air mata di pipi Celine.
"Aku nggak mau nangis, aku udah menahannya, tapi tetap nggak bisa. Dia terus berniat keluar."
Ervan tak bisa berkata lagi. Memang justru harusnya begitu, kan, dikala sedih, susah payah menahanpun, air bening itu seolah terus berontak ingin keluar.
---000---
Kini, semua keluarga sudah berkumpul. Baik itu saudara dari papanya, maupun keluarga dari mamanya. Mereka semua memberikan ucapan turut berduka atas apa yang sedang menimpa Celine.
Di sela-sela kerumunan, beberapa orang remaja juga turut hadir. Mereka adalah Megan, Feby dan Sinta ... sahabatnya. Ia yang tadinya seakan-akan merasa tenang dalam pelukan Ervan, tersentak saat ketiganya muncul dihadapannya.
"Kalian," gumamnya melepaskan diri dari Ervan.
"Cel ... kita turut bersedih dengan kepergian Papa lo," ucap ketiganya bergantian memeluk.
"Jangan bersedih, ya ... karena kita semua selalu ada buat lo," tambah Feby.
"Hmm ... makasih, ya ... kalian udah datang," balasnya.
Meskipun ini suasananya penuh duka, tapi tak membuat kecurigaan ketiganya luntur begitu saja. Apalagi kalau bukan keberadaan sosok Ervan yang ada di sana. Apalagi saat datang, mereka mendapati Celine berada di pelukan Ervan. Semakin parahlah rasa penasaran mereka. Tapi, tentu saja ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas, apalagi bertanya perihal itu.
"Aku ke depan dulu, ya," bisik Ervan pada Celine yang diangguki gadis itu.
Yakinlah ... sikap Ervan itu membuat Megan, Feby dan Sinta benar-benar dibuat ingin bertanya tentang posisi cowok itu dikehidupan Celine. Tapi tertahan karena situasi dan keadaan saat ini.
Saat jam menujukkan pukul 11 malam. Celine masih duduk diam di dekat ruang tamu menyenderkan punggungnya ke dinding, bersama dengan Ervan yang masih setia berada di dekatnya. Saat ini, ia merasa sebuah beban berat sedang bertengger di kepalanya, membuatnya merasakan pusing dan sakit di saat bersamaan. Sesekali, kepalanya sengaja ia hentakkan ke dinding berharap rasa itu segera pergi.
Ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, tanpa bekal kehidupan. Biasa hidup bebas dan tanpa beban. Kemana ia akan mencari perlindungan lagi? Nathan? Bahkan usianya adiknya itu masih terlalu muda untuk memikirkan tentang kehidupan.
Ia picingkan kedua matanya, berharap sejenak bisa melupakan itu semua. Tapi, sekan-akan tak mau hilang dari pemikirannya. Kesekian kalinya ia coba menghentakkan kepalanya ke dinding, tapi kali ini terhenti ketika Ervan malah menahannya.
"Jangan melakukannya lagi, itu akan membuatmu terluka," ujar Ervan sambil menyentuh kepala Celine. "Aku sudah bilang, kan ... kalau aku akan selalu ada, jadi tempatmu bersandar. Kalau kamu butuh, kamu bisa bersandar di sini," tambahnya sambil menepuk bahunya.
"Apa menurutmu aku bisa melanjutkan hidupku tanpa Papa?"
Ervan menangkup wajah Celine agar hanya berfokus menatap kearahnya. "Aku yang akan menggantikan posisi papamu untuk menjagamu."
Jika ada seorang cowok berkata seperti itu, tentu saja, siapapun gadisnya pasti akan merasa seolah-olah menjadi gadis yang paling beruntung. Tapi, kini Celine tahu dan menyadari, sikap Ervan padanya hanyalah rasa kasihan. Ya ... kasihan pada seorang gadis yang berstatus yatim piatu.
"Terimakasih sudah kasihan padaku," balas Celine sambil tersenyum. Meskipun itu begitu berat ia lakukan.
Dunia seolah sedang mempermainkannya. Ervan hanyalah seorang cowok yang dijodohkan untuknya, tapi sikapnya justru melebihi Denis yang pada kenyataannya adalah pacarnya.
"Ini bukan rasa kasihan, tapi aku bisa merasakan apa yang sedang kamu rasakan. Melihatmu menangis, seakan membuat ikut bersedih."
Ia sedikit tersentak mendengar pengakuan Ervan. Tapi mencoba berusaha untuk tetap menstabilkan keadaan hatinya. Pas, disaat yang bersamaan, seorang cowok tiba-tiba datang menghampiri keduanya.
