BAB : 7
“Iya, Papa,” jawabnya dengan wajah yang dibuat semeyakinkan mungkin.
Jovan merogoh sakunya. Tentu saja ia tak akan mau dibohongi begitu saja oleh Celine. Kemudian ia mencari kontak Ervan dan menghububgi cowok itu. Sementara Celine, ia merasa sebuah masalah sedang mendekat kearahnya. Kebohongannya sepertinya membawa dampak buruk.
“Hallo ... Ervan. Kamu dimana, kok nggak mampir? Celine nggak ngajakin kamu mampir, ya, barusan? Oo ... iya, Om ngerti. Yasudah, selamat bekerja, ya,” ujar Jovan menutup percakapan di telepon.
Celine yang tadinya merasa dag dig dug kini kembali tenang. Sepertinya Ervan membantunya dengan berbohong. Padahal kenyataannya ia tadi tak mengajaknya untuk mampir.
“Gimana? Papa masih belum percaya pada putri Papa ini?” tanya Celine menunjukkan wajah penuh kemenangan.
“Hmm ... walaupun Papa yakini kalau Ervan berbohong demi kamu,” balas Jovan sambil berlalu pergi dari hadapan Celine.
“Ih ... perasaan ini yang anaknya gue deh. Kenapa Papa malah percayanya sama Kak Ervan,” berengutnya tak terima sambil melangkah menuju kamarnya. Ia ingin mandi dan berendam.
Badannya terasa sangat lengket dan lepek. Hari ini begitu terasa sangat melelahkan ... ditambah lagi perginya sama makhluk sejenis Ervan. keluarga sambil membaca sebuah buku yang ada dihadapannya. Nessa tak langsung bicara, melainkan hanya melirik kearah laki-laki paruh baya itu sesekali.
Jovan yang menyadari tingkah putrinya itu, segera menutup buku bacaannya dan menaruhnya di meja.
"Mau ngomong sesuatu?'
"Hmm ... Papa nggak berniat untuk ..."
"Nggak," jawab Jovan langsung, seolah tahu pasti pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh putrinya itu.
"Aku kan belum nanya."
"Karena Papa sudah tahu apa yang akan kamu tanyakan. Apalagi kalau bukan masalah perjodohan antara kamu dan Ervan."
Celine memanyunkan bibirnya karena pikirannya sudah diketahui oleh papanya.
"Papa udah bilang, kan ... perjodohan kamu dan Ervan nggak akan pernah batal, Celine. Papa tahu kalau kamu nggak suka apalagi punya rasa cinta pada dia. Tapi, entah kenapa Papa bisa yakin sekali kalau dia adalah yang terbaik buat kamu. Orang tua nggak akan memberikan hal yang buruk pada putrinya."
"Aku nggak suka sikapnya, Pa. Terlalu dingin," komentar Celine. Itu salah satunya.
"Bukannya itu bagus. Dari situ kamu bisa menilai kalau dia akan tetap seperti itu pada wanita lain. Otomatis nggak akan ada banyak wanita yang berada di sekelilingnya."
"Papa mau aku ikut-ikutan membeku gara-gara keseringan berada didekatnya?"
Jovan malah tertawa mendengar komentar aneh putrinya. "kamu pikir dengan dekat dengan Ervan, kamu seperti masuk ke dalam lemari es dua pintu?"
"Bisa dikatakan begitulah perumpamaannya. Kan dingin, Papa," ocehnya.
"Sudahlah, jangan menggunakan otak fantasy mu terlalu tinggi. Jadi, bagaimana hari ini jalan sama Ervan? Dia baik, kan?"
Kalau boleh jawab jujur, ia tak akan menyangkal kalau Ervan itu terlalu baik untuk tipe cowok abad 21. Tapi ya gimana lagi, rasa cintanya bukan untuk Ervan. Hanya Denis yaang ada di hatinya.
"Dia ngajakin aku foto prewed," jawab Celine tak bersemangat.
"Dan ..."
"Dan Papa tahu ... masa aku disuruh adegan mesra sama Kak Ervan. Pelukan, rangkul-rangkulan, pangku-pangkuan, bahkan kita nyaris ciuman tahu, nggak," oceh Celine menggebu-gebu.
Maklum saja, otaknya masih memikirkan dan membayangkan sesi foto tadi. Berhadapan dengan jarak yang begitu dekat dengan Ervan seakan membuat otaknya sedikit bergeser dari porosnya. Bahkan, disaat bersama dengan cowok itu membuat dirinya seperti melupakan Denis yang tadinya seakan tak pernah pudar dari hatinya.
"Bukannya foto prewed memang seperti itu," komentar Jovan.
"Tapi aku ... ck, sudahlah. Papa nggak paham akan situasiku saat ini," keluhnya. Toh dijelaskanpun, papanya tetap pada prinsipnya. Nggak akan membatalkan perjodohan tak masuk akal ini.
"Papa paham," balas Jovan. "Makanya, mulai detik ini kamu nggak boleh lagi punya hubungan dengan cowok itu. Kalau kamu kekeuh, meskipun sudah menikah dengan Ervan, kamu tetap akan Papa kirim ke asrama. Jika kamu mau menebar cinta, berikan pada Ervan. Kalau kamu bisa mencairkan hatinya, kamu akan jadi yang nomer satu di kehidupannya."
"Aku nggak mau," tolak Celine. "Papa pikir cintaku benih sayur bayem, yang gampang ditebar dimana-mana."
"Perumpamaannya, Celine. Kamu tebar benihnya, nanti kamu juga akan mendapatkan hasil panennya. Sekarang Papa tanya sama kamu ... jawab yang jujur, ya. Gantengan mana Ervan daripada cinta monyetmu itu?"
Sebenarnya ia sedikit kesal dengan perkataan papanya. Kenapa juga harus ada kalimat 'monyet'. Tapi, pertanyaan itu seolah tak bisa ia jawab.
"Nggak akan bisa jawab karena Ervan lebih dari cowok itu. Dia dewasa, sikapnya tenang, dan papa yakini kalau dia adalah tipe cowok setia."
"Sudah, ah ... ngobrol sama Papa topiknya nggak akan pernah jauh dengan nama Ervan Ervan dan Ervan," berengut Celine beranjak dari duduknya dan melangkah pergi kembali ke kamar. Lebih baik tidur daripada harus mendengarkan papanya hanya membahas satu nama itu.
---000---
Pagi ini Celine hanya duduk diam di meja makan, tanpa berniat untuk melahap makanan yang sudah disediakan yang ada dihadapannya. Otaknya sedang berkelana untuk memikirkan cara, bagaimana agar papanya kembali menyerahkan ponsel dan juga mobil miliknya.
"Kok nggak dimakan?" tanya Jovan yang baru datang dan langsung duduk di kursi yang ada disamping putrinya.
"Aku nggak mau makan. Kalau Papa nggak balikin posel sama mobilku ... aku akan mogok makan," ancamnya. Meskipun ancaman itu sedikit menakutkan, tapi ia yakini kalau papanya akan merasa takut.
Jovan malah tersenyum sambilterus menikmati makanannya saat mendengar ancaman receh putrinya. Seakan tak berniat untuk mengeluarkan ekspressi takut.
"Kamu yakin akan mogok makan?"
"Iya, tentu saja," balasnya jutek.
"Yaudah, kalau gitu lanjutkan. Papa mau lihat, sekuat apa kamu bisa menahan hasrat untuk enggak makan. Paling kalau kondisi kamu drop, paling enggak ngineplah di rumah sakit agak satu minggu," jelas Jovan seolah tak terlalu mempermasalahkan ancaman yang diberikan Celine. Setidaknya ia tahu kalau putrinya itu sangat tak menyukai yang namanya rumah sakit. Lebih ke bau obat-obatannya, sih.
Berniat mengancam, malah dirinya yang seolah ditantang oleh papanya. Ya ampun ... senjata makan tuan mah ini namanya. Yakali dirinya kuat menahan lapar dalam waktu yang lama. Telat makan saja sudah membuat ususnya melilit lambungnya. Apalagi kalau sampai seharian tak makan. Auto beneran mampir di rumah sakit lah dirinya.
"Deal ... aku mogok makan. Kalau aku berhasil dalam dua hari ..."
"Cukup satu hari," timpal Jovan. "kalau kamu berhasil, Papa akan balikin dua benda kesayanganmu itu."
Nah, kan ... Jovan berkata dan berani menantang hanya dalam waktu satu hari, karena ia yakin putrinya nggak akan sanggup.
Jovan menjauhkan letak piring makanan yang posisinya ada di hadapan Celine. "Kamu nggak mau sarapan, kan? Yaudah, jangan dekat-dekat makanan ini. Ntar, ancamannya malah gatot," ledek Jovan sambil tertawa.
Ancaman mautnya yang ia pikir menakutkan, malah dianggap seperti lelucon saja oleh papanya. Saking gregetnya, berasa pingin ia gigit seonggok sandwich yang sudah nangkring di piring. Tapi ia teringat kalau saat ini lagi mogok makan.
Pagi ini ia nebeng berangkat sekolah bareng papanya. Sebenarnya mau bareng Megan, tapi laki-laki paruh baya itu malah melarangnya dengan alasan, "pasti nanti kamu yang akan mengemudi mobilnya Megan." Hippirilii ... entah kenapa pemikiran papanya terlalu encer untuk bisa membaca semua pergerakannya.
Sampai di gerbang sekolah, tepatnya sebelum ia melangkah untuk turun dari mobi, Jovan menghentikannya.
"Jangan lupa, nanti siang Ervan yang akan jemput kamu. Papa harap kamu nggak kabur-kaburan dan sok lupa ingatan lagi kayak kemarin," jelas Jovan memperingatkan putrinya. "Kalau kamu baik, dia juga akan baik padamu. Karena dia adalah cowok baik-baik."
Celine tersenyum. Lebih tepatnya senyjman memaksa. "Iya, Papaku tersayang. Apa, sih, yang enggak buat Papa. Meskipun aku nggak suka sama dia sekalipun," balasnya langsung turun dari mobil dan berlalu memasuki area sekolah.
Sampai di kelas, langsung ia hentakkan bokongnya di kursi. Rasa kesalnya sekarang jadi berlipat ganda. Bahkan, ia tak menyadari kalau ketiga sahabatnya sedang memeperhatikan tingkah anehnya itu.
"Lo kenapa?"
Mendengar pertanyaan itu, barulah Celine menyadari dimana keberadaannya kini. Pandangan aneh tengah mengarah padanya dari Sinta, Feby dan Megan.
"Ah, enggak," elaknya. "Cuman gue lagi kesal sama Papa. Mobil sama posel gue belum dibalikin. Gue ngancem mogok makan, malah ditantangin balik. Kan kesel!"
Megan adalah salah satu yang menanggapi curhatan Celine dengan tawa recehnya.
"Jangan ngeledekin gue, lo," komentar Celine.
"Dan sekarang lo masih lanjutin yang namanya mogok makan?"
"Iyalah ..."
"Nggak laper?"
"Banget malah."
"Cel, mending biarin dah itu ponsel sama mobil disita. Kalau pulang pergi sekolah, bisa bareng kita. Lah posel, bisa main medsos di Lp, kan," jelas Megan berkomentar.
"Masalahnya gue kan nggak bisa telponan ataupun chat bareng Denis. Udah dari kemarin gue nggak denger kabar dari dia. Di sekolah kita juga jarang ketemu. Berasa LDR beda alam tahu, nggak," kesalnya.
Feby menatap Celine dengan wajah seriusnya. "Lo ada di alam nyata dan Denis di alam lelembut, begitukah?"
Megan kembali dengan tawanya begitupun dengan Sinta yang mau tak mau dibuat Disaat seperti ini, bisa-bisanya mereka bertiga masih mengejeknya. Andai, membunuh orang tak berdosa. Satu persatu akan ia mutilasi mereka bertiga.
---000---
Sosoknya yang dingin, kadang membuat orang-orang di sekitarnya merasa takut untuk mendekat kalau tak ada kepentingan. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu dan paham bagaimana membawakan hatinya itu. Salah satunya Zian, sahabatnya.
"Mau ikut, nggak ... gue mau makan siang, nih," ajak Zian pada Ervan yang masih duduk diam di kursinya.
Ia tak membalas ajakan Zian, tapi malah melirik waktu di jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Habis ini gue nggak ada tugas lagi. Gue mau pergi dulu, ada urusan penting," jelasnya sambil menyambar sweater miliknya yang ada di gantungan dan berlalu meninggalakan cowok itu. Bahkan, ia hampir lupa kalau akan menjemput Celine di sekolahnya.
Zian mendengus. "Teman luchnut! Gue samperin kesini buat ngajakin makan, malah guenya yang ditinggal pergi. Pertahankan sikap nyebelin lo itu, kawan dan lo nggak bakalan punya cewek," ocehnya bicara sendirian.
