BAB : 6
"Bantuin apa?"
"Aku ketahuan pacaran. Papa nyita ponsel sama mobil. Ditambah lagi, Papa bilang bakalan pindahin aku ke sekolah asrama khusus putri. Aku kan nggak mau. Jadi, tolong Kakak bujukin Papa buat batalin itu semua."
"Kamu punya pacar?" tanya Ervan.
"Punya," jawab Celine.
Ervan sedikit berpikir hingga akhirnya ia mengatakan, ''oke."
"Jangan cuma oke-oke doang loh, Kak. Ntar, kayak kemaren. Ngomongnya oke, tapi apa," kesal Celine sedikit mendengus.
Ervan tak berkomentar lagi. Dia lebih memilih sibuk dengan benda pipih di tangannya, sambil sesekali meneguk jus jeruk dan melempar pandang pada Celine. Gadis itu berpikir, kalau cowok yang sebentar lagi akan menjadi imamnya adalah tipe cowok yang sibuk. Semoga saja umurnya panjang, dan sakit yang di deritanya tak terlalu parah. Kasihan juga, sih, sebenarnya.
"Ehem ..." Celine berdehem, membuat Ervan mengarahkan pandangan padanya. Risih juga kalau satu meja nggak ada percakapan. "Sebenarnya, Papaku punya hutang seberapa banyak, sih, sama keluarga Kakak, sampai-sampai minta aku nikah sama Kakak?"
Dahi Ervan berkerut mendengar penjelasan Celine.
"Dan juga, Kakak lagi sakit apa? Tumor ganas, kanker otak, jantung, liver atau apa?"
Pertanyaannya panjang, kan, tapi tetap saja Ervan seolah bingung dengan semua itu. Padahal tinggal jawab doang apa susahnya, sih. Tapi, Celine kembali dengan pemikirannya lagi. Sepertinya, Ervan malu untuk membicarakan perihal penyakit yang di deritanya.
"Oke, nggak apa-apa kalau nggak mau jawab. Aku paham, kok."
Dari tadi ia sudah bicara panjang, tapi hanya dibalas ekspresi bingung dari Ervan. Tapi sekarang, ia malah tersenyum manis. Apa-apa'an sikapnya itu. Mau mencoba membuat seorang Joeceline terkena diabetes?
Setelah selesai makan, keduanya meninggalkan area restoran. Tapi, ini bukan jalan menuju kediamannya.
"Kita mau kemana?" Tentu saja ia bertanya dengan penuh kecurigaan. Dunia sekarang lagi musim panas. Tak menutup kemungkinan kalau itu mempengaruhi otak maksiat seorang Ervan.
"Berpikir saja kalau aku ini cowok baik-baik," balas Ervan.
Celine kembali diam setelah mendapat jawaban itu. Ia heran saja dengan sikap Ervan yang kadang baik, kadang jutek. Kadang hangat, itu saat dia tersenyum. Tapi terlihat menyebalkan, saat sikap dinginnya muncul.
Beberapa saat kemudian, Ervan menghentikan laju mobilnya di depan sebuah studio foto. Ya ... tak perlu ia tanyakan. Karena sudah jelas tertera di baliho berukuran besar yang terpampang nyata di hadapannya. Untuk apa membawanya ke sini? Entahlah, yang jelas ia hanya ngikut saja. Siap tahu Ervan ingin membuat foto kenangan sebelum dia meninggalkan dunia yang fana ini.
Keduanya memasuki ruangan itu. Di depan pintu, mereka langsung disambut oleh seorang karyawan.
"Ayo, Mas ... Mbak," ajaknya pada Ervan dan Celine.
"Bagusss ... setidaknya kali ini dirinya tak dipanggil Adek lagi," pikir Celine sambil tersenyum puas.
Keduanya diajak menuju sebuah ruangan yang terletak di lantai dua studio.
"Karena Mas Ervan bilang nggak punya banyak waktu, jadi nanti kita akan lakukan editing untuk latar fotonya. Sekarang kita hanya akan melakukan fotonya di ruangan ini," jelasnya saat sampai di sebuah ruangan foto.
"Hmm ... oke," balas Ervan.
Kadang Celine sempat berpikir, kalau kata favorite calon suaminya ini adalah oke.
"Kalau gitu, silahkan Mas sama Mbak ganti pakaiannya dulu," pintanya pada keduanya.
"Ayo Mbak, ikut saya," ajak seorang wanita padanya.
"Kemana?" tanya Celine masih bingung mengekor dibelakangnya.
"Kita make over dulu, Mbak," jawabnya.
Make over? Make up maksudnya? Ya ... sejenis itulah pokoknya. Ia ingat, terakhir kali wajahnya di make over itu pas perpisahan kelas 3 SMP. Ia kapok, wajahnya dibikin kayak ondel-ondel. Sialan baget lah itu tukang riasnya.
Setelah sampai di sebuah ruangan,
benar saja, di situ banyak banget berbagai peralatan make up. Dari yang namanya ia kenal, hingga tak ia kenali sama sekali. Maklum saja, ia tak terlalu suka yang namanya make up yang terlalu over. Natural itu lebih baik, menurutnya.
"Silahkan duduk, Mbak," suruh seorang cewek atau cowok. Entahlah, ia juga nggak bisa pastiin lah gender tu makhluk. Yang jelas, tampangnya cowok, tapi kelakuannya cewek. Melehoy gitu.
"Mau ngapain, sih, ini?"
"Duduk yang anteng, ya, Mbak ... supaya riasannya perfect. Kalau enggak sesuai, Mas Ervannya bisa ngamuk ke kita, Mbak," jelasnya mulai mempersiapkan berbagai jenis kuas, dari yang terkecil hingga yang paling besar. Tapi bukan kuas cat dinding loh.
Akhirnya ia pasrah wajahnya ditangani oleh cowok jadi-jadian. Meskipun ia takut, kalau hasilnya tak sesuai ekspektasi.
Selesai dengan bagian wajah, kini giliran rambutnya yang jadi target utama. Ya ampun ... ini membosankan. Ia hanya bisa duduk diam, tanpa bebas bergerak. Bokongnya terasa sangat pegal dan kesemutan.
"Rambutku jangan di macam-macam'in loh," ancamnya sebelum si cowok melehoy itu melakukan tindakan kriminal pada makhkotanya itu.
"Nggak, kok, Mbak. Nggak akan ada pengguntingan. Itu pesan Mas Ervan," ungkapnya. ''Dia menyukai wanita berambut panjang."
Celine sedikit terdiam mendengar penjelasan si penata rias. Apa ia harus senang? Ah, tidak. Untuk apa? Ervan bukanlah siapa-siapa nya. Kembali ia teguhkan hatinya kalau Dennis yang tetap mengisi ruang itu.
Dua puluh menit, akhirnya semuanya berakhir sudah. Entah seperti apa penampakan wajahnya saat ini setelah dirombak sama tu orang. Semoga tak membuatnya kaget saat bercermin.
Tapi, saat ia hendak bercermin, malah dilarang sama penata riasnya.
"Nanti saja, Mbak. Setelah pake gaun ini," larangnya sambil menyodorkan sebuah gaun selutut berwarna putih yang disodorkan padanya. Satu kata yang sangat cocok untuk menunjukkan rasa kagumnya akan gaun itu. Indah. Benar-benar membuat Celine terpesona akannya.
Ia mengganti pakaian di ruang ganti, dibantu oleh seorang wanita. Kali ini wanita tulen, loh, no abal-abal. Tak butuh waktu lama. Setelah gaun terpasang di tubuh mungilnya, kini giliran sebuah hels berwarna hitam sedang dikenakan di kedua kakinya. Ia bisa menebak dengan mudah berapa ketinggian benda yang menjadi alas kakinya itu. Dua belas centi, segitulah tinggi tumit itu. Bayangkan betapa ribetnya ketika ia berjalan. Tapi, tidak demikian. Ia sudah biasa mengenakan hels. Jangankan berjalan, berlari saja itu sering ia lakukan. Terlebih ketika dirinya nyaris ketahuan oleh papanya saat keluyuran malam.
"Ayo, Mbak ... kita ke ruangan fotonya."
Saat ia memasuki ruangan itu, ternyata Ervan sudah duduk manis dengan tampang yang super duper gantengnya, di sebuah sofa sambil membaca sebuah koran. Lengkap dengan tuxedo yang membalut tubuh atletisnya. Ya ampun ... jujur saja, kali ini Celine mengakui kalau ia terpesona akan Ervan.
"Ehem ..." Si penata rias tadi berdehem, membuat fokus Ervan yang tadinya hanya mengarah pada lembaran kertas di hadapannya, kini beralih. "Gimana, Mas, penampilannya Mbak Celine? Apa Mas Ervan suka?"
Pertanyaan itu tak dijawab sama sekali oleh yang bersangkutan. Dia hanya bengong tanpa suara menatap lurus kearah Celine yang masih berdiri tegak. Menunggu penilaian penilaian darinya.
Tak mendapat komentar, tentu saja itu membuat Celine merasa was-was. Ia sudah berpikiran kalau hasil tata rias dari cowok abal-abal tadi tak sesuai ekspetasinya. Mukanya pastilah sudah seperti sebuah tembok yang habis di cat.
Tapi, semua kegalauan Celine sirna seketika layaknya sebuah bunga ilalang yang tertiup angin kencang saat Ervan mengatakan, "aku suka."
Entah otaknya yang tiba-tiba sedikit mengalami benturan, atau apa ... hingga saat mendengar perkataan itu dilontarkan Ervan membuatnya seolah terbang ke langit ke tujuh. Sepertinya ia mulai tak waras.
"Ayo, kita mulai sesi fotonya," ujar seorang cowok yang sudah lengkap dengan kamera di tangannya.
"Eitss ... tunggu. Ini kita mau ngapain, ya?" tanya Celine dengan tampang bingung. Dari tadi ia menuruti perintah semua orang. Tapi sekarang, ia ingin tahu apa sebenarnya yang ingin dilakukan Ervan.
"Ya ... mau foto prewedding dong, Mbak. Masa iya mau foto copy," jawab si fotografer.
Padahal ia membutuhkan jawaban dari Ervan, tapi yang bersangkutan seolah sedang tak berniat untuk menjawabnya.
"Apa?"
"Jangan sok kaget. Ini biasa, kan, sebelum pernikahan?" Kini barulah Ervan mengeluarkan suara. "Ayo kita mulai. Saya nggak punya banyak waktu," tambahnya beranjak dari kursi.
Celine bingung, ia harus apa? Mulainya gimana? Foto prewedding? Bukannya itu adegannya penuh keromantisan? Lah, apa kabarnya ia dan Ervan? Yang pasti kabarnya saat ini sedang tak baik.
Keduanya terlihat bingung plus canggung. Apa-apaan situasi ini. Help me ... bisakah ia tiba-tiba menghilang dari sini? Begitu pikir Celine.
"Jangan pada tegang gitu dong mukanya ... santai aja." Fotografernya saja bisa tahu apa yang dirasakan keduanya. "Sekarang, Mas duduk di sofa, trus Mbak Celine duduk di pangkuan Mas," suruhnya.
"Apa?" kaget Celine. Daritadi keadaan membuatnya selalu kaget. Dan sekarang, gimana ceritanya ia duduk di pangkuannya Ervan.
Ervan sudah berada di posisinya duduk di sebuah sofa dengan tampang kalem. Sementara Celine, ia masih bertahan dengan posisi berdiri diam mematung dengan penuh keraguan dan kegalauan.
"Ayo, Mbak ..."
"Tapi, kan ..." Belum selesai ia bicara, Ervan langsung saja menariknya. Hingga dirinya berakhir dipangkuan calon suami dadakannya itu.
Kedua matanya membola seketika saat pandangannya dan Ervan berada sangat dekat. Posisi yang bikin jantung Celine berdisco ria. Untung pipinya sudah pake blush on. Jadi, saat pipinya merah merona karwna canggung, tak terlalu kelihatan.
"Ehem ..." Keadaan diam itu buyar seketika.
"Mas Ervan, lingkarkan kedua tangan Anda di pinggang Mbak Celine dan harus saling tatap satu sama lain dengan jarak 10 centian," jelas si fotografer.
Ervan paham dan langsung saja melakukan apa yang disuruh itu. Tapi Celine merasa sangat-sangat canggung. Sepertinya kenyataan seolah sedang mempermainkan hatinya. Posisi tangan Ervan yang sudah berada di pinggangnya saja sudah bikin risih, apalagi harus menatap bola mata itu dalam jarak yang sangat dekat. Tanggung, kenapa nggak sekalian aja ia dan Ervan disuruh adegan ciuman.
"Maaf, Mbak. Saya mohon nurut sama pose yang saya ucapkan barusan. Kalau enggak, foto-fotonya nggak akan mendapatkan hasil yang bagus," terangnya pada Celine.
"Ayo lakukan. Anggap saja kamu sedang berfoto mesra dengan pacarmu," bisik Ervan.
"Ck, aku juga nggak akan melakukan adegan seperti ini meskipun dengan pacarku," balasnya mendengus kesal.
"Wahh ... apa menurutmu aku salah satu orang yang beruntung mendapatkan sesi foto seperti ini denganmu?"
Kesal sekali ia rasanya mendengar perkataan itu. Tapi memang begitulah kenyataannya. Ia tak akan pernah mau disentuh seperti yang dilakukan cowok ini padanya. Tapi, entah kenapa ia malah membiarkan dan tak ingin membantah saat Ervan yang melakukannya.
Dengan beberapa kali ia dan Ervan harus gonta ganti model busana begitupun Adegan. Mulai dari pelukan, rangkul-rangkulan, hingga foto yang nyaris ciuman. Untung saja tak ada setan iseng yang menyenggolnya sehingga terjadi ciuman beneran.
Bagi pasangan menikah yang saling cinta, foto ini tuh bakal jadi perfect banget. Sayangnya ia dan Ervan melakukannya karena sebuah keterpaksaan.
Dari semenjak pulang sekolah, dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 19:00 malam. Benar-benar membuat bahannya remuk.
"Besok pulang sekolah aku jemput," ujar Ervan saat mengantarkannya pulang.
"Nggak perlu ... nggak perlu. Aku bisa pake taksi, atau nebeng temen," tolak Celine langsung.
Tadi siang saja teman-temannya sudah nunjukin wajah penuh kecurigaan, masa iya besok mau jemput lagi.
"Besok aku tunggu di cafe yang ada di samping sekolah kamu."
Celine hanya bisa menarik napas berat saat larangannya diabaikan begitu saja oleh Ervan. "Terserah Kakak sajalah. Yang penting jangan sampai teman-temanku tahu kalau kita dijodohin." Mau membantah seperti apapun, dia akan tetap pada omongannya.
Sampai di halaman rumah Celine, Ervan turun duluan. Ia mengitari mobil dan membukakan pintu untuk gadis itu. Hayolahhh ... sebagai seorang wanita, tentu saja membuat dirinya merasa dihormati.
"Aku masuk dulu," ujar Celine berlalu dari hadapan Ervan.
"Oke," jawabnya sambil kembali masuk mobil.
Ia masuk rumah, tapi, baru saja beberapa langkah ia memasuki area ruang tamu, Jovan tiba-tiba saja datang.
"Ervannya mana?" tanya laki-laki paruh baya itu pada putrinya.
"Kak Ervan? Ah, itu, Pa ... udah pergi," jawabnya.
"Kamu ini bagaimana, sih, Celine. Harusnya kamu ajak mampir dulu. Nggak ada sopan-sopannya sama sekali," omel papanya.
"Udah kok, Pa. Tapi dianya nggak mau, soalnya mau pergi entah kemana, aku juga nggak tahu." Ya maaf kalau dirinya harus berbohong. Daripada kenal omel lebih panjang lagi.
"Beneran?"
