BAB ; 5
''Loh, dia kan yang kemarin mobilnya lo tabrak, Cel? Bukannya urusan mobil udah selesai, ya?" tanya Megan dengan kerutan di dahinya. Tapi, Celine seolah tak berniat memberikan jawaban.
"Mau kemana kamu?" tanya Ervan dengan Ekspressi dinginnya.
"Mau itu, hmm ... pulang, Kak," jawab Celine sambil nyengir gaje.
Takut yang ia rasakan menjadi double. Pertama, takut dimarahi oleh Ervan. Kedua, takut dengan pandangan mencurigakan yang diberikan ketiga sohibnya pada dirinya.
"Bukankah aku udah bilang, kalau akan jemput kamu di sekolah," jelasnya Ervan.
Celine merasa seolah sedang ditatap oleh serigala jantan yang siap menerkam dirinya kapanpun. Apa cowok ini tak bisa bersikap sedikit lebih hangat lagi. Jujur, ia kedinginan.
Ia menepuk jidatnya. "Aduh, aku lupa. Ya maaf," ucapnya pura-pura lupa. Padahal aslinya mah ia sengaja menghindari Ervan.
Pandangan ketiga gadis itu semakin menohok Celine. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan sobatnya itu. Untuk menjelaskan semuanya, sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat.
"Cel," ujar Sinta. Ia berharap Celine bisa memberikan penjelasan tentang semua itu.
Belum ia menjawab ataupun berkomentar, Ervan langsung saja
menggenggam tangannya dan membawanya pergi menuju mobil yang terparkir dekat gerbang sekolah.
"Kak, aku belum selesai ngomong sama teman-temanku loh," oceh Celine saat Ervan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil dengan paksa.
"Sudah, Celine. Bukankah aku sudah bilang mau menjemputmu. Lalu, kenapa kamu malah seolah menghindar?"
Celine diam tak berani berkomentar. Bibirnya seolah terkunci dan kuncinya entah sudah ia buang kemana.
Satu lagi yang menjadi pemikiran Celine. Ketika tangannya berada dalam gegenggam Ervan, rasanya dingin banget. Kayak tangan mayat. Ayolah, jangan menebak kalau Ervan adalah mayat yang tiba-tiba hidup. Dimana-mana kalau namanya mayat itu nggak ada yang hidup.
Keduanya masuk ke dalam mobil diiringi teriakan Megan yang kesal karena Ervan memaksa Celine pergi dengannya.
Sementara ketiga sohibnya hanya bisa melihat Celine yang dibawa paksa oleh Ervan dari kejauhan. Setumpuk pemikiran buruk sudah bertengger di kepala mereka masing-masing.
"Jangan-jangan Celine diculik sama tu orang," tebak Sinta.
"Nggak mungkin. Masa iya cuma gara-gara mobil kegores dikit doang sampe harus nyulik Celine," komentar Megan tak setuju dengan tebakan Sinta. Sedikit banyak, ia meyakini ada sesuatu yang terjadi antara Celine dan Ervan. Karena ia merasa kalau sobatnya itu seolah sedang menutupi sesuatu.
"Lo kenal?" tanya Sinta pada Megan.
"Itu cowok yang mobilnya ditabrak Celine kemaren."
"Keren, ya," puji Feby dengan tatapan terus kearah Ervan. Ya ... gadis mana yang nggak naksir sama cowok sejenis Ervan. Dari fisik saja ia bisa dibilang sosok sempurna.
"Ho'oh," setuju Sinta.
"Kenapa bukan gue aja, sih, yang diculik," tambah Feby tak kalah lebaynya. Omongannya malah mendapat jitakan dari Megan.
"Dasar!"
"Eh, tapi kok Celine manggilnya pake embel-embel, Kak, gitu ya?"
"Tau ahh gue," respon Megan segera masuk ke dalam mobil. Begitupun dengan Sinta dan Feby.
---000---
Tak ada satupun di antara Ervan dan Celine yang bicara. Keduanya berada dalam pikiran masing-masing. Selang beberapa saat perjalanan, Ervan menghentikan laju mobilnya di Depa sebuah restoran.
"Ngapain kesini, bukannya mau pulang?"
Pertanyaannya tak mendapatkan sebuah jawaban. Ya, ia kembali menyadari kalau Ervan tak akan menjawab pertanyaannya.
Ervan turun terlebih dahulu dari mobil dan membukakan pintu untuk Celine.
Keduanya memasuki area restoran dan memilih meja yang berada paling pojok. Bukan mau melakukan apa-apa, ya. Ini juga karena Ervan mengatakan kalau ia butuh ketenangan. Dan paling pojok adalah posisi yang pas.
"Maaf, Mas, Dek ... mau pesen apa?" tanya seorang pelayan restoran yang datang menghampiri meja keduanya.
Celine ingin mengumpat kesal saat dirinya dipanggil, Dek. Tak bisakah ni orang melihat warna seragam yang saat ini ia kenakan?
"Tanya dia," jawab Ervan sambil mengarahkan pandangannya pada Celine.
Karena Ervan meminta pendapatnya, tentu saja ia memilih makanan yang dirinya suka.
Setelah pesanan sampai, apa yang terjadi? Lihatlah, saat ini dirinya sedang ditatap dengan tatapan menyebalkan dari Ervan.
"Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ayok, makananya dimakan," suruh Celine yang sudah mulai melahap makanannya. Maklum saja, perutnya saat ini dalam kondisi lapar.
"Kamu mau mengerjaiku?"
"Apa, sih, Kak. Nggak jelas banget," balas Celine tetap tak perduli dan hanya fokus pada menu dihadapannya.
"Aku alergi seafood," ujarnya.
Barulah, Celine menghentikan aktifitas makannya setelah mendengar penjelasan Ervan.
"Serius?"
"Apa menurutmu aku sedang berbohong?"
Celine menggeleng. Ya ... meskipun ia baru mengenal sosok Ervan. Tapi ia bisa melihat kalau cowok yang dijodohkan papanya untuknya ini adalah tipe cowok baik-baik. Eh, tapi bukan berarti ia sudah mulai terpesona loh. Tetap, sampai saat ini masih ada Dennis di hatinya.
"Maaf, Kak, aku enggak tahu. Lagian, Kakak juga nggak ngasih tahu," ujar Celine.
Ervan tak menanggapi pernyataan Celine. Ia kembali memanggil pelayan restoran dan memesan menu makanan untuknya. Salad buah menjadi pilihannya kali ini.
Celine hanya menatap makanan milik Ervan. Ia berpikir, mungkin tadi ia salah besar memesankan seafood untuk Ervan. Mungkin, penyakit yang diderita cowok yang ada dihadapannya ini memang memaksa dirinya untuk tak melahap makanan lezat itu.
"Kamu kenapa?" tanya Ervan merasa diperhatikan.
"Enggak," jawabnya cepat dan kembali melanjutkan melahap makanan miliknya.
Setelah makan, Ervan sudah sibuk sendiri dengan ponsel di tangannya. Sedangkan Celine merasa kesal sendiri. Keberadaannya seolah tak dianggap sama sekali.
"Kak, aku mau ngomong sesuatu," ujarnya buka suara.
"Silahkan," balas Ervan sambil meletakkan benda pipih miliknya di meja, serta pandangan matanya yang beralih menjadi fokus pada Celine.
"Kenapa nggak bilang sama orang tua Kakak kalau Kakak nggak setuju dengan perjodohan ini?
Kemaren aja bilangnya oke. Tapi apa? Semuanya tetap lanjut. Malah kita langsung di suruh nikah. Kakak, sih, nggak apa-apa, mungkin emang saatnya nikah. Tapi aku ... aku masih 17 tahun loh, Kak. Bisa ngebayangin, kan, hidup aku kek gimana? Aku masih suka hura-hura, main-main, kekanak-kanakan," jelas Celine mengeluarkan unek-unek yang ada di otaknya.
"Maaf, aku nggak bisa nolak. Mungkin seiring berjalannya waktu itu, semua itu bisa berubah," jawabnya santai.
"Tinggal ngomong kalau nggak setuju aja apa susahnya, sih, Kak?
Posisi kita beda. Aku nggak bisa ngomong karena Papa selalu ngancem aku buat ..."
Perkataannya berhenti permanent. Ia mengingat sesuatu sambil berpikir. Meskipun nantinya menikah, toh papanya bakal tetap mengirimnya ke sekolah asrama.
"Apa gue mesti nikah sama Kak Ervan aja kali, ya. Trus, minta dia buat ngebujukin Papa biar batalin masalah sekolah asrama itu. Lagian, kalau udah nikah, otomatis tanggung jawab Papa akan pindah ke suami dong," pikirnya.
Sekarang, dikirim ke sekolah asrama khusus cewek, itu lebih menakutkan dari pada menikah.
Ia menarik napas dalam sebelum mengatakan apa yang ada di pemikirannya saat inj. "Okeh, kita nikah," ucapnya langsung.
Terlihat sekali ekspressi bingung di wajah Ervan saat mendengar keputusan Celine yang tiba-tiba. Bagaimana tidak, baru beberapa menit yang lalu dirinya menolak perjodohan itu, dan sekarang ia jugalah yang menyatakan setuju.
"Apa yang terjadi padamu?"
"Tapi plissss ... bantuin aku," pintanya tanpa mengindahkan pertanyaan Ervan baru
"Bantuin apa?"
