Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 4

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Saat ini Celine sedang menonton televisi diruang keluarga sendirian. Sama siapa lagi, hidupnya, kan, sepi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang ada di meja.

Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari nomer yang tak terdaftar di list kontaknya. Penasaran, iapun membaca pesan itu.

"Besok aku jemput kamu pulang sekolah."

"Ih ... siapa, nih, yang ngirim pesan ke gue? Salah kirim kali, ya," gumamnya menebak sambil membalas pesan itu.

"Woii ... salah kirim!"

Beberapa saat kemudian, ternyata pesan yang ia kirim tak mendapat balasan lagi kecuali hanya di read doang.

"Bener, kan, salah kirim. Buktinya cuman dibaca doang," dumel Celine melempar ponselnya begitu saja di meja.

Tapi, baru saja itu benda pipih nemplok di meja, langsung bunyi lagi. Tentu saja itu membuat emosinya jadi naik seketika. Dia ngarepinnya Denis yang chat, ini malah orang kurang kerjaan yang sibuk menghubunginya.

"Sekarang malah nelepon gue," umpat Celine saat si pemilik nomer malah menghubunginya lewat telepon. "Oo ... gue tahu, nih. Ini pasti cowok-cowok yang modus buat deketin gue. Pake acara salah kirim pesan segala. Gue enggak sebodoh itu, Bambang."

Langsung, Celine menggeser tombol hijau yang ada di layar ponselnya kearah kanan.

"Heh, siapa, sih? Gangguin orang lagi istirahat tahu, nggak! Dasar! Kurang kerjaan," omel Celine langsung.

"Bisakah kamu bicara lebih lembut,

Joeceline?"

Celine sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. "Kok, dia tahu nama gue?" gumam Celine.

Ia kembali mendekatkan layar ponsel ke telinganya. "Siapa, nih?"

"Besok aku jemput kamu di sekolah," ulangnya lagi.

"Tapi ..."

Belum selesai Celine bicara, si pemilik nomer malah menutup percakapan begitu saja.

"Ngeselin banget, ni orang. Siapa, sih? Apa jangan-jangan dia mau berniat menculik gue?" piko Celine sambil bergidik ngeri.

"Kamu kenapa, Cel?" tanya Jovan yang baru pulang.

Celine tersentak. "Eh, Papa," ujarnya sambil mencium punggung laki-laki paruh baya itu dan kembali dusuk. Begitupun dengan Jovan yang duduk di sebelahnya ''Itu, Pa, ada orang kurang kerjaan yang gangguin aku."

"Gangguin gimana?" tanya Jovan bingung.

"Gini, Pa. Barusan ada yang ngirim pesan singkat, besok aku jemput di sekolah, katanya. Trus aku bales kalau dia salah kirim pesan. Dianya telepon balik dan bilang lagi, besok aku jemput di sekolah, Joeceline.

Nah, itu berarti dia kenal sama aku dong, Pa."

Jovan sedikit berpikir perihal orang yang di maksud putrinya. "Coba Papa lihat nomernya," ujar Jovan mengulurkan tangan meminta ponsel milik Celine.

"Ini, Pa."

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Jovan malah senyum-senyum gaje menatap layar ponsel milik Celine. Apa ada foto wanita cantik di layar ponselnya? Tentunya tidak.

"Papa kenapa?" tanya Celine heran.

"Tenang aja, ini nomernya Ervan."

"Hah, Kak Ervan?"

"Iya, siapa lagi," ujar Jovan hendak mengembalikan ponsel milik Celine.

Tapi, belum sampai ia menerima benda itu, Jovan kembali menariknya.

"Kenapa, Pa?"

Jovan tak menjawab pertanyaan Celine. Pandangannya terus fokus sambil sesekali menggeser layar ponsel seolah sedang membaca sesuatu. Raut wajahnya pun juga berubah sedikit menakutkan. Tentu saja reaksi pepenya itu juga membuat dirinya sebagai pemilik ponsel menjadi was-was.

"Dennis siapa!?"

'Glekk.' Saking kagetnya, Celine merasa napasnya seolah nyangkut di tenggorokan. Detak jantungnya tiba-tiba berhenti. Tenang, itu hanya perasaannya saja, ia belum mau mati.

"Maksud Papa, apa?" tanya Celine tiba-tiba jadi gagap.

"Siapa, Dennis?" Untuk kedua kalinya Jovan memberikan pertanyaan yang sama pada putrinya. "Kamu pacaran sama dia?"

"Eng-nggak, kok, Pa."

"Enggak kamu bilang? Sudah jelas-jelas di chat-an kamu sama dia kayak orang yang lagi pacaran."

Mampus gue, pikir Celine merutuki kebodohannya. Harusnya ia menghapus chat'an dia sama Dennis terlebih dahulu.

"Celine, Papa kan sudah bilang sama kamu untuk enggak pacaran-pacaran. Dan kamu ngebantah omongan Papa. Kamu sudah bohongin Papa selama ini."

Asal tahu saja, seumur-umur, baru kali ini ia melihat papanya marah dan dirinya kena marah separah ini. Biasanya hanya terlihat seperti candaan dan dia pun hanya menanggapinya biasa saja. Kalau sekarang, ia merasa separuh keberaniannya sudah lenyap terbawa arus.

"Maaf, Pa," ucapnya lirih.

Jovan beranjak dari duduknya. "Dengerin, Celine. Ini sudah kesalahan kamu yang kesekian kalinya. Jangan kamu pikir selama ini Papa nggak tahu mengenai kamu yang sering keluyuran hingga larut malam. Hanya saja Papa diam berharap kami bisa berubah. Tapi ternyata, tidak sama sekali. Omongan Papa sepertinya hanya kamu anggap angin lewat. Kamu akan nikah minggu depan, setelah itu Papa akan segera urus kepindahan kamu ke sekolah asrama."

Celine langsung kaget mendengar keputusan papanya. Dipindahkan ke sekolah asrama adalah hal yang paling menakutkan baginya.

"Dan mulai hari ini mobil sama ponsel kamu akan Papa sita," tambah Jovan langsung berlalu pergi menuju kamar.

Celine langsung menepuk jidatnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tak ingin dikirim ke asrama. Apalagi sekarang ponselnya ikut di sita.

---000---

Pagi hari saat ia turun untuk sarapan, ternyata papanya sudah berangkat ke kantor. Tinggallah dirinya sendirian.

"Bik!!!" teriaknya memanggil wanita paruh baya yang membantu mengurus keperluannya dan rumah itu.

"Ya, Non," jawab Bibik yang datang dari arah dapur.

''Pinjem ponsel bentar dong, Bik."

"Ponselnya Non Celine kan ada," komentar Bibik sambil menyodorkan benda kotak itu pada majikannya.

"Ponsel sama mobil aku di sita sama Papa."

"Kok bisa?"

Pertanyaannya tak dijawab oleh Celine. Ia sibuk mengetik pesan pada Sinta untuk menjemputnya bareng ke sekolah. Ya ... tak lama, mungkin hanya 10 menit setelah pesan itu terkirim, sobatnya itu sudah nongol saja.

"Pagi, Cel," sapa Sinta langsung duduk dan ikutan sarapan. Kebiasaan banget ni anak satu. "Tumben amat lo minta nebeng?''

"Mobil sama ponsel gue disita sama Papa. Tapi, gue juga bakal dikirim ke asrama," jelas Celine sambil mewek-mewek dan menghentikan adegan makannya. Mikirin dirinya yang akan hidup di asrama. Apalagi asrama khusus putri. Bisa belakang matanya karena nggak bisa ngeliat kaum Adam.

"Kok bisa?"

"Gue ketahuan pacaran sama Dennis gara-gara Papa nggak sengaja baca chat'an gue sama dia," jelas Celine.

"Hohoho ... itu masalah besar, Cek," ujar Sinta turut prihatin. Ia juga bisa membayangkan kehidupan di dalam asrama khusus putri. Bagaimana tidak, satu tahun ia pengalaman terkurung di sana. Untung saja waktu itu ia terkena tipes, hingga orang tuanya memutuskan untuk memilih sekolah umum.

''Iya, masalah gue saat ini banyak banget. Apalagi Papa juga maksa gue buat nik ..."

Ia mengerem mendadak perkataannya saat menyadari kalau omongannya itu akan membuatnya ditertawakan oleh Sinta. Iyalah, jaman sekarang masih tetap saja ada acara jodoh-jodohan.

"Buat, Nik? Nik apaan, sih?" Shinta langsung menunjukkan Ekspressi penasarannya akan kelanjutan perkataan Celine.

"Ah, itu ... maksudnya, gue juga dipaksa Papa buat ninggalin Dennis. Begitu," ralatnya. Semoga saja otak sobatya ini nggak nyampe ke masalah Nikah.

"Yang sabar, ya," ujar Sinta kembali melanjutkan menyantap makanannya.

Syukurlah, pikir Celine. Bahkan keringat sudah mengucur di pelipisnya

Setelah selesai sarapan, keduanya segera menuju sekolah. Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat para siswa dan siswi menimba ilmu itu.

Baru saja kakinya menapak di halaman parkir, Megan sudah menyambutnya dengan tawa recehnya yang menyebalkan.

"Sekarang giliran elo yang nebeng. Kenapa, mobil lo diservice juga?" ledek Megan sambil bersidekap dada di depan Celine.

"Jangan ledekin Celine, dia lagi punya masalah besar," jawab Sinta yang baru keluar dari mobil.

"Masalah besar apa? Lo dipaksa nikah?" tebak Megan.

Tuinggg ... sebuah palu seolah sedang membentur otaknya. Kerwn sekali, tebakan Megan benar banget.

"Iya," jawab Celine langsung

"Serius?" Bukan hanya Megan yang bertanya, tapi Sinta dan Feby juga ikut-ikutan bertanya dengan nada sedikit kaget. Nikah, bagaimana mereka nggak shock.

Ia hanya membuat kasusnya itu jadi candaan, tapi kedua sobatnya malah menanggapinya serius banget.

"Duh, kalian bertiga. Ya enggak lah, masa iya gue nikah," ungkapnya sambil nyengir. Padahal hatinya mah udah dag-dig-dug.

"Hohh ... kirain beneran. Kan gue baper," balas Megan.

Ketiganya berjalan menyusuri koridor kelas dengan langkah lambat. Toh, ini masih sangat pagi untuk mencapai kata terlambat.

"Celine lagi kena omel bokapnya gara-gara hubungannya sama Dennis ketahuan. Jadah, ponsel sama mobilnya disita sama pak bos. Dan ... kerennya lagi dia bakal dikirim ke asrama," jelas Sinta membantu menjelaskan masalah yang dihadapi oleh Celine.

"Dan lo terima dikirim ke asrama?" tanya Feby.

"Trus, gue harus apalagi?

"Yaudah, sih, lo putusin aja si Dennis," ujar Megan memberi ide. Mungkin, Sinta dan Feby pun akan sependapat. Toh, ketiganya juga tak menyukai kalau Celine pacaran sama Dennis.

"Sejujurnya gue nggak mau putus sama dia. Tahu sendiri, gue itu cinta banget sama dia guys," balasnya.

"Ya udah, terserah lo. Mau putusin Dennis atau mau dikirim ke asrama?"

"Kalau milih Dennis, lo mamam tu cinta di asrama. Sedangkan Dennis, enak-enakan nyari cinta yang lain," tambah Megan dengan ocehannya.

"Kalian berdua kenapa, sih?" tanya Feby.

"Tau, kayaknya sensi banget kalau udah ngurusin Dennis," komentar Celine.

"Tapi bener juga, sih, Cel. Dennis itu tak sebaik yang lo pikir."

"Eh, Lo belain gue atau ngikut ngejelek-jelekin Dennis, sih?"

"Pada kenyataannya Denis itu memang enggak baik, Cel."

Kesal dengan perkataan ketiga sobatnya, Celine memilih berlalu pergi dan mendahului ketiganya menuju kelas. Kelamaan dengan perdebatan masalah dirinya dan Dennis nantinya malah membuat hubungannya dan ketiga sahabatnya yang malah jadi korban.

"Dih, ngambek," ledek Megan.

Ketiganya langsung mengikuti langkah Celine. Udah biasa, sih, dia bersikap seperti itu saat mereka bertiga berkata tak baik tentang Dennis. Andai dia melihat seperti apa keburukan cowok yang dipuja-puja ya itu, auto langsung di putusin itu mah. Memang benar, cinta itu kadang membuat buta, mata dan juga hati.

---000---

"Gue anterin pulang, ya?" ujar Sinta pada Celine saat keluar dari kelas setelah pelajaran usai.

"Oke."

Ia ingat kok, kalau Ervan semalam mengatakan akan menjemputnya saat pulang sekolah. Hanya saja ia tak ingin pulang bersama cowok itu.

Tapi, saat ia menuju ke parkiran bareng Megan, Sinta dan Feby, tiba² matanya tertuju pada seseorang yang sedang berdiri sambil senderan di depan sebuah mobil dekat gerbang sekolah.

"Waduh, mampus," gumamnya sambil bersembunyi dibalik sebuah tong sampah.

Tentu saja tingkahnya itu membuat ketiga sahabatnya bingung.

"Cel, Lo kenapa, sih?" tanya Feby heran.

"Sstt ..." Ia memberi kode agar tetap diam.

Ketiganya semakin dibuat bingung. Apa Celine sedang bermain petak umpet dengan seseorang? Tapi, dengan siapa?

"Mabok ni anak," ujar Sinta.

"Ada orang yang nyariin gue dan gue mesti ngumpet. Oke," ujarnya sedikit memelankan volume suaranya dengan posisinya yang masih berada dibalik tong sampah. Ia bahkan tak terpengaruh dengan aroma sedap yang berasal dari objek yang ada di depan hidungnya.

"Siapa, sih?" Tanya Megan sambil celingak-celinguk mencari keberadaan sosok yang di maksud oleh Celine.

"Dari pada lo bertiga banyak nanya, mending bantuin gue ngumpet sampe parkiran," ujarnya sambil berpindah tempat dan berdiri dibelakang ketiga gadis itu.

Meskipun enggak paham, mereka bertiga masih tetap menuruti omongan Celine. Hingga akhirnya mereka semua sampai di parkiran dengan selamat.

"Ohh ... hari yang melelahkan," ujar Celine bernapas lega saat dirinya berhasil sampai di depan pintu mobil dengan aman.

"Emang ada apaan, sih, Cel? Ini dari tadi kita bertiga dibuat bingung loh, dan lo nggak ngasih penjelasan. Siapa yang nyariin lo?" tanya Megan penuh selidik.

"Nggak ada. Udah, nggak penting juga, kok. Ayok pada pulang," ajaknya seolah menghindari pertanyaan dan rasa keingintahuan ketiga sahabatnya.

Mereka pasrah dengan jawaban yang diberikan Celine. Tapi, dalam hati, tentulah mereka masih pada bertanya-tanya.

Feby dan Megan hendak menuju ke mobil mereka masing-masing. Dan Celine, hendak masuk ke dalam mobil milik Sinta yang mau mengantarkannya pulang. Tapi, saat dirinya hendak membuka pintu mobil ,tiba-tiba seseorang dengan cepat kembali menutupnya.

"Astaga!" Ia kaget. Bahkan, Sinta yang tadinya sudah hendak masuk mobil, kembali menghampirinya. Begitupun dengan Megan dan Feby.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel