Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 7: Kilatan dibalik cahaya

Pagi itu, Aruna terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Malam sebelumnya, setelah kembali dari studio Adrian, ia tidak bisa tidur. Kepalanya dipenuhi oleh suara-suara yang bertanya, mendesak, menuntut jawaban yang belum ia miliki. Ia merasa seperti seorang pemain di atas panggung yang lupa naskahnya, sementara semua mata tertuju padanya.

Aditya sudah pergi bekerja ketika ia bangun. Hanya secangkir kopi yang ditinggalkan di meja makan, masih mengepul. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu dilakukan Aditya untuk menunjukkan bahwa ia peduli. Tapi pagi ini, kebiasaan itu justru membuat Aruna merasa lebih bersalah. Aditya adalah pria yang baik, tidak ada keraguan tentang itu. Namun, mengapa hatinya terus mencari sesuatu yang lain?

Ia menatap cangkir kopi itu lama, sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak meminumnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menunda. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi kekacauan ini.

Siang itu, Aruna mengambil cuti dari pekerjaannya dan pergi ke kafe kecil yang biasa ia kunjungi. Kafe itu terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, tempat ia sering datang untuk mencari ketenangan. Namun, ketenangan itu tidak datang hari ini. Saat ia sedang menikmati secangkir teh, pintu kafe terbuka, dan sosok yang tidak asing masuk.

Adrian.

Aruna terkejut, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang senang melihat pria itu. Adrian juga melihatnya dan langsung berjalan ke arahnya, seolah-olah pertemuan ini sudah direncanakan.

“Apa ini kebetulan, atau kamu sengaja mengikutiku?” tanya Aruna dengan nada bercanda, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Adrian tersenyum, senyuman yang membuatnya terlihat begitu percaya diri. “Mungkin sedikit dari keduanya. Tapi aku lebih suka menyebutnya takdir.”

Aruna tertawa kecil, meskipun ia tahu bahwa kata-kata Adrian mengandung kebenaran yang lebih dalam. “Apa yang membawamu ke sini?”

“Aku sedang mencari inspirasi,” jawab Adrian sambil menarik kursi dan duduk di depannya. “Dan aku rasa aku menemukannya.”

Aruna menggelengkan kepalanya, merasa seperti sedang bermain dalam sebuah permainan yang tidak ia pahami. Namun, ia juga tidak bisa menahan senyum. Adrian memiliki cara untuk membuatnya merasa istimewa, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu bisa menjadi pedang bermata dua.

Mereka berbicara selama lebih dari satu jam, tentang segala hal mulai dari pekerjaan hingga mimpi-mimpi mereka. Adrian menceritakan tentang proyek seni yang sedang ia kerjakan, sementara Aruna berbagi cerita tentang buku-buku yang ia baca. Percakapan itu terasa ringan, tetapi ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka—sebuah tarikan magnet yang semakin sulit diabaikan.

“Aku tahu kamu sedang berjuang dengan dirimu sendiri, Aruna,” kata Adrian akhirnya, suaranya lembut tetapi tegas. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini. Apapun yang kamu putuskan.”

Kata-kata itu menggema dalam pikiran Aruna saat ia berjalan pulang dari kafe. Ia tahu bahwa Adrian benar. Ia sedang berjuang, bukan hanya dengan perasaannya terhadap Adrian, tetapi juga dengan identitasnya sendiri. Siapa ia sebenarnya? Dan apa yang benar-benar ia inginkan?

Malam itu, Aruna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang telah lama ia tunda. Ia menghubungi sahabat lamanya, Siska, seseorang yang sudah lama ia abaikan sejak hubungannya dengan Aditya menjadi serius. Siska adalah tipe orang yang selalu jujur, bahkan ketika kejujuran itu menyakitkan.

Mereka bertemu di sebuah restoran kecil yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Ketika Siska melihat Aruna, ia langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.

“Kamu terlihat seperti baru saja melewati badai,” kata Siska sambil menyipitkan matanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aruna menghela napas panjang, mencoba mencari cara untuk menjelaskan situasinya. “Aku… aku merasa seperti hidupku terpecah menjadi dua. Dan aku tidak tahu jalan mana yang harus kuambil.”

Siska menatapnya dengan ekspresi serius. “Dua? Apa maksudmu? Ada orang lain selain Aditya?”

Aruna mengangguk pelan, merasa malu dengan pengakuannya. “Namanya Adrian. Dia… dia berbeda. Dia membuatku merasa hidup, tetapi aku juga takut bahwa ini hanya ilusi.”

Siska menghela napas, lalu meraih tangan Aruna. “Kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, Aruna. Apa yang sebenarnya kamu cari? Apakah ini tentang Adrian, atau tentang sesuatu yang lebih dalam dalam dirimu?”

Pertanyaan itu menghantam Aruna seperti petir. Ia tahu bahwa Siska benar. Masalah ini bukan hanya tentang Adrian atau Aditya. Ini tentang dirinya sendiri—tentang rasa ketidakpuasan yang telah lama ia rasakan tetapi tidak pernah ia akui.

Ketika Aruna kembali ke apartemennya malam itu, Aditya sedang duduk di ruang tamu, membaca buku. Ia menatap Aruna dengan senyum hangat, tetapi Aruna bisa melihat bayangan kelelahan di matanya.

“Aku menunggu kamu,” kata Aditya dengan lembut. “Bagaimana harimu?”

Aruna merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba melanda dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menunda percakapan ini. Ia harus jujur, meskipun itu berarti menyakiti Aditya.

“Aditya,” katanya akhirnya, suaranya gemetar. “Kita perlu bicara.”

Aditya menutup bukunya dan menatapnya, ekspresinya penuh perhatian. “Aku mendengarkan.”

Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tetapi aku merasa seperti aku telah kehilangan diriku sendiri. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidup seperti ini.”

Aditya tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia hanya menatap Aruna, seolah-olah mencoba mencari jawaban dalam ekspresinya. “Apa ini tentang Adrian?” tanyanya akhirnya, suaranya tenang tetapi penuh dengan rasa sakit.

Aruna terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Aditya. “Bagaimana kamu tahu?”

Aditya tersenyum tipis, tetapi senyumnya itu lebih seperti senyuman seseorang yang telah menyerah. “Aku bukan orang bodoh, Aruna. Aku bisa melihat perubahan dalam dirimu. Dan meskipun aku tidak tahu semua detailnya, aku tahu bahwa ada orang lain yang memengaruhi perasaanmu.”

Air mata mulai mengalir di wajah Aruna. “Aku tidak ingin menyakitimu, Aditya. Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.”

Aditya mengangguk pelan, matanya mulai memerah. “Aku mencintaimu, Aruna. Tapi aku juga ingin kamu bahagia. Jika itu berarti melepaskanmu, maka aku akan melakukannya.”

Kata-kata itu menghancurkan Aruna, tetapi juga memberinya keberanian untuk menghadapi kebenaran. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di tengah-tengah. Ia harus membuat pilihan—bukan hanya untuk Aditya atau Adrian, tetapi untuk dirinya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel