Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 8: Pecahan cermin

Hening. Itulah suasana yang menyelimuti apartemen kecil itu setelah percakapan Aruna dan Aditya. Suara detik jam di dinding terdengar seperti dentuman palu dalam kepala Aruna. Ia baru saja membuka semua yang tersembunyi dalam hatinya kepada Aditya—dan sekarang, ia merasa kosong.

Aditya tidak berkata apa-apa lagi setelah mengucapkan bahwa ia ingin Aruna bahagia. Ia hanya berdiri dari sofa, merapikan bukunya, lalu berjalan masuk ke kamar tidur tanpa menutup pintu. Gesturnya tenang, tapi langkah-langkah itu berat, seperti seseorang yang tengah membawa beban yang tidak terlihat.

Aruna tetap duduk di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri. Ia memandangi ruangan itu, ruang yang telah menjadi saksi bisu dari cinta mereka selama bertahun-tahun. Tapi kini, dinding-dindingnya terasa seperti menutup rapat, menekannya, membuatnya sulit bernapas.

Ia tahu, sejak awal, bahwa percakapan ini tidak akan mudah. Tapi mengapa ada rasa perih yang begitu dalam, seolah-olah ia baru saja mencabik-cabik sebagian dari dirinya sendiri?

Keesokan harinya, Aruna mengambil keputusan impulsif. Ia tidak pergi ke kantor, tidak menghubungi siapa pun. Sebaliknya, ia mengirim pesan kepada Adrian.

_"Bisa bertemu? Aku butuh bicara."_

Pesan itu dikirim pukul tujuh pagi, dan balasan Adrian datang dengan cepat, seperti ia sudah menduga pesan itu akan tiba.

_"Tentu. Studio, pukul sepuluh."_

Ketika Aruna sampai di studio Adrian, pria itu sedang berdiri di depan kanvas besar yang belum selesai. Coretan warna merah dan hitam mendominasi, menciptakan pola-pola abstrak yang tampak penuh emosi. Adrian menoleh ketika mendengar langkahnya.

“Kamu datang lebih cepat dari yang aku duga,” katanya, dengan senyum tipis di wajahnya.

“Aku tidak tahu harus ke mana lagi,” jawab Aruna, suaranya nyaris berbisik. Ia merasa kakinya gemetar, meskipun ia mencoba berdiri tegak. “Aku… aku akhirnya bicara dengan Aditya.”

Adrian meletakkan kuasnya dan berjalan mendekat. “Dan bagaimana reaksi dia?”

Aruna menghela napas panjang. “Dia menerima, tapi aku tahu itu menyakitinya. Aku merasa seperti monster.”

Adrian menggeleng. “Kamu bukan monster, Aruna. Kamu hanya mencoba mencari tahu siapa dirimu. Itu bukan kesalahan.”

“Tapi aku merusak sesuatu yang baik. Aditya adalah pria yang baik,” katanya, air mata mulai menggenang di matanya.

Adrian menatapnya dalam-dalam. “Kadang-kadang, menjadi baik saja tidak cukup, Aruna. Kamu berhak untuk mencari kebahagiaanmu sendiri, bahkan jika itu berarti membuat keputusan yang sulit.”

Percakapan mereka berlanjut, mengalir seperti arus sungai yang membawa Aruna semakin jauh dari daratan. Adrian mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa memotong. Ia tidak mencoba menawarkan solusi, tidak memaksakan pendapatnya. Ia hanya ada di sana, seperti jangkar yang menahan Aruna agar tidak terhanyut sepenuhnya.

“Kenapa kamu peduli padaku, Adrian?” tanya Aruna tiba-tiba, matanya menatap tajam ke arahnya. “Kenapa kamu begitu sabar mendengar semua kekacauan ini?”

Adrian tersenyum tipis. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang tidak bisa aku abaikan. Kamu seperti api yang sedang berusaha menyala di tengah badai. Aku ingin menjadi orang yang membantu menjaga api itu tetap hidup.”

Kata-katanya membuat dada Aruna terasa hangat, meskipun di balik itu ada rasa takut yang tidak bisa ia jelaskan. Ia tahu bahwa Adrian berbeda. Pria itu memiliki intensitas yang membakar, yang membuatnya merasa seperti orang baru setiap kali mereka bersama. Tapi intensitas itu juga berbahaya, seperti api yang bisa menghanguskan jika terlalu dekat.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Aruna membiarkan dirinya terbawa oleh apa yang ia rasakan. Ia tahu bahwa ada risiko besar di balik keputusannya, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dengan separuh hatinya. Dalam pelukan Adrian, ia merasa seperti dirinya yang sesungguhnya—bebas, tanpa batas, dan tanpa rasa takut.

Namun, ketika pagi tiba, kenyataan mulai menghantam Aruna dengan kekuatan penuh. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela studio Adrian terasa seperti pengingat akan semua keputusan yang telah ia buat. Adrian masih tertidur di sampingnya, wajahnya tenang, seperti tidak ada apa-apa di dunia yang bisa mengganggunya.

Tapi Aruna tidak bisa tenang. Ia duduk di ujung tempat tidur, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Ia tidak menyesali apa yang telah terjadi, tetapi ia juga tahu bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit.

Adrian terbangun beberapa menit kemudian. Ia mengusap wajahnya dengan tangan dan menoleh ke arah Aruna. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya, suaranya serak.

Aruna menoleh ke arahnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran. “Aku tidak tahu. Aku merasa seperti ada ribuan jalan di depanku, tapi aku tidak tahu mana yang harus kuambil.”

Adrian bangkit dan mendekatinya, duduk di sampingnya. “Kamu tidak harus tahu semuanya sekarang, Aruna. Yang penting adalah kamu mulai melangkah.”

Kata-kata itu memberi sedikit ketenangan pada Aruna, meskipun ia tahu bahwa langkah yang ia ambil bukanlah langkah kecil. Ini adalah lompatan besar, dan tidak ada jaminan bahwa ia akan mendarat dengan selamat.

Ketika Aruna kembali ke apartemennya malam itu, suasananya terasa berbeda. Tidak ada kehangatan, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aditya telah pergi ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu, memberinya ruang untuk berpikir. Tapi kepergian itu justru membuat Aruna merasa lebih kosong.

Ia duduk di sofa, memandang ke sekeliling ruangan. Semua benda di sana adalah bagian dari hidupnya bersama Aditya—foto-foto mereka, perabotan yang mereka pilih bersama, bahkan karpet yang sudah mulai usang. Semua itu adalah pengingat akan kehidupan yang pernah ia miliki, kehidupan yang kini berada di ambang kehancuran.

Namun, di tengah semua itu, ada juga rasa lega yang perlahan-lahan muncul. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa bahwa ia memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel