Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 5: Di persimpangan jalan

Aruna merasa seperti terjebak di tengah jalan yang terbelah menjadi dua, dan setiap langkah yang ia ambil terasa seperti langkah yang lebih dalam menuju ketidakpastian. Seminggu setelah pertemuannya dengan Adrian di studio, ia masih tidak bisa mengusir gambar pria itu dari pikirannya. Keinginan untuk menjauhkan diri, untuk kembali ke kenyamanan yang ia kenal bersama Aditya, berperang dengan dorongan kuat yang memanggilnya untuk terus mendekati dunia Adrian, yang penuh dengan tantangan dan kebebasan.

Pagi itu, ia duduk di meja makan di apartemennya, menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Aditya belum pulang dari pekerjaannya, seperti biasanya. Ia merasa ada yang berubah, tetapi tidak tahu apa. Aditya masih berbicara dengan cara yang sama, masih menunjukkan kasih sayang yang sama, tetapi Aruna merasa seperti ada jarak di antara mereka—jarak yang semakin lebar setiap harinya.

Selama seminggu terakhir, Aruna mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia sering termenung, memikirkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar memilih untuk menjauh dari Aditya dan berani melangkah lebih jauh dengan Adrian. Apa yang akan ia temukan di sana? Kebebasan yang dijanjikan, atau kehancuran yang menantinya?

Namun, di sisi lain, Aruna juga merasa bersalah. Aditya selalu ada untuknya. Mereka telah bersama selama bertahun-tahun, membangun kehidupan yang nyaman dan stabil. Mereka bahkan sudah merencanakan masa depan bersama. Tapi semakin lama, Aruna merasa seperti ia sedang hidup dalam bayang-bayang orang lain—orang yang ia kenal dan percayai, tetapi bukan orang yang ia rasakan sebenarnya.

“Apa yang kau inginkan, Aruna?” Ia bertanya pada dirinya sendiri, suara batinnya penuh kebingungan. “Apakah ini hanya rasa bosan, atau sesuatu yang lebih?”

Pikirannya terus melayang, dan saat itu, ponselnya bergetar. Ia meraih ponsel dengan cepat, berharap itu adalah pesan dari Adrian. Tapi ternyata, itu adalah pesan dari Aditya.

**Aditya:** *Aku akan pulang lebih cepat malam ini. Kita bisa makan malam bersama.*

Sebuah senyum terlukis di wajah Aruna. Ia merindukan kebersamaannya dengan Aditya, tetapi pada saat yang sama, ia merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk sepenuhnya terlibat dalam hubungan itu.

**Aruna:** *Aku tunggu. Aku ingin berbicara denganmu.*

Pesan itu terkirim, dan seketika, Aruna merasa ada kekosongan di dalam dirinya. Ia ingin berbicara dengan Aditya tentang banyak hal, tetapi kata-kata itu terasa sulit untuk diucapkan. Apa yang bisa ia katakan tanpa mengkhianati dirinya sendiri? Apa yang bisa ia katakan untuk menjelaskan perasaan yang tidak ia pahami sepenuhnya?

---

Pada malam hari, Aditya pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Mereka duduk di meja makan, menikmati makan malam yang sederhana. Meskipun ada kerinduan di dalam diri Aruna untuk merasakan kedamaian dalam kebersamaan mereka, perasaan itu tetap terkikis oleh kekosongan yang terus menghantuinya.

Aditya menatapnya dengan lembut, senyum di wajahnya tetap tulus. “Kamu terlihat lelah. Apa kamu merasa baik-baik saja?”

Aruna mengangguk, mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja. Hanya saja… aku merasa sedikit bingung belakangan ini.”

Aditya meletakkan garpunya, mengalihkan perhatian penuh padanya. “Tentang apa?”

Aruna menghela napas, memikirkan kata-kata yang akan diucapkan. “Tentang kita. Tentang apa yang aku rasakan sekarang.”

Aditya menatapnya dengan penuh perhatian, tetapi Aruna bisa melihat sedikit kebingungan di matanya. “Apa maksudmu? Kamu merasa seperti ada yang hilang?”

Aruna menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu. Rasanya seperti… aku tidak tahu siapa diriku lagi. Aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar dari ini, tapi aku takut untuk menghadapinya.”

Aditya menundukkan kepalanya, seolah berpikir sejenak. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, Aruna. Tapi aku ingin kita bisa melewatinya bersama. Kita bisa bicarakan ini, kita bisa mencari solusinya bersama.”

Aruna menatapnya, perasaan bersalah mulai menguasai dirinya. Di mata Aditya, ia melihat cinta yang tulus dan keinginan untuk membantu. Namun, dalam hatinya, Aruna tahu bahwa ada sesuatu yang sudah berubah. Sesuatu yang lebih besar daripada apa yang bisa mereka selesaikan bersama.

“Aku… aku tidak tahu apakah aku masih bisa melanjutkan hidup seperti ini, Aditya,” kata Aruna, suaranya serak. “Aku merasa seperti aku sedang berlari dari diriku sendiri.”

Aditya memandangnya dengan kesedihan yang mendalam di matanya. “Kamu tidak perlu lari, Aruna. Kamu bisa berbicara padaku, kita bisa melewati ini bersama.”

Namun, Aruna merasa semakin jauh. Kata-kata itu, meskipun penuh kasih, semakin terasa seperti jerat yang semakin menjeratnya. Ia merasa seperti terjebak dalam hubungan yang nyaman, namun bukan yang ia inginkan.

---

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Aruna merasa semakin terperangkap antara dua dunia. Pekerjaannya berjalan seperti biasa, tetapi pikirannya selalu kembali pada Adrian. Setiap kali ia menatap ponselnya, ia berharap ada pesan darinya, tetapi yang ada hanyalah keheningan.

Namun, pada suatu sore, setelah berhari-hari tidak bertemu, Adrian mengirimkan pesan yang membuat jantung Aruna berdegup kencang.

**Adrian:** *Aku pikir kita perlu bicara. Malam ini, studio. Jam 8.*

Pesan itu membuat Aruna merasa gelisah. Hatinya berdebar-debar, namun ia tidak tahu apakah itu karena ketertarikan yang semakin dalam pada Adrian, atau karena rasa takut yang datang bersamaan dengan dorongan itu.

Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik. Sesuatu akan terjadi, dan ia harus siap untuk itu. Namun, dalam hatinya, Aruna merasa seperti ada kekuatan yang menariknya ke arah Adrian, meskipun ia tahu bahwa ini bisa menghancurkan segala sesuatu yang telah ia bangun dengan Aditya.

---

Saat Aruna sampai di studio Adrian, suasana malam itu terasa lebih intens dari sebelumnya. Lampu redup, udara terasa lebih berat, dan Adrian berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi serius. Ia menatap Aruna dengan cara yang berbeda, seperti sedang menunggu sesuatu yang penting terjadi.

“Kamu datang,” kata Adrian, suaranya tenang namun penuh ketegangan.

Aruna mengangguk, perasaannya campur aduk. “Aku merasa seperti aku harus datang.”

Adrian tersenyum, namun senyumnya itu lebih seperti senyuman seorang pria yang tahu bahwa ia sedang memimpin permainan. “Aku tahu kamu akan datang. Kamu tidak bisa melarikan diri dari ini.”

Aruna merasakan tubuhnya menegang, tapi ia tetap melangkah masuk. “Apa yang kamu inginkan dariku, Adrian?”

Adrian berjalan mendekat, wajahnya serius. “Aku ingin kamu membuat pilihan, Aruna. Kamu sudah cukup lama ragu, dan aku tahu kamu merasa terjebak.”

“Terjebak?” Aruna menatapnya bingung.

“Di hidup yang bukan milikmu,” jawab Adrian. “Kamu sudah memilih hidup yang aman, tapi itu bukan pilihan yang membuatmu hidup. Kamu merasa terperangkap, dan kamu tahu itu.”

Aruna menatapnya dalam-dalam. Kata-kata Adrian terasa seperti pisau yang menorehkan kebenaran yang selama ini ia coba hindari. Ia tahu apa yang ia rasakan, tetapi ia takut untuk menghadapinya.

“Aku tidak tahu apa yang harus kupilih,” kata Aruna dengan suara serak. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.”

“Jangan khawatir,” kata Adrian dengan suara lembut. “Kamu tidak harus memilih sekarang. Tapi kamu harus tahu satu hal: pilihan itu ada di tanganmu.”

Aruna terdiam, hatinya berdebar keras. Ia merasa seperti berada di ujung jurang, dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk melompat atau mundur.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel