Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 4: Pilihan yang menunggu

Minggu berikutnya terasa seperti mimpi yang berlarut-larut, di mana Aruna merasa terperangkap di antara dua dunia yang berbeda. Hidupnya dengan Aditya yang tenang, teratur, dan penuh harapan untuk masa depan yang jelas, dan dunia Adrian yang penuh dengan ketegangan, kebebasan, dan ketidakpastian. Dua dunia yang begitu bertolak belakang, dan Aruna merasa semakin sulit untuk memilih.

Di satu sisi, Aditya selalu ada di sana—dengan cinta yang tulus dan masa depan yang tampak begitu aman. Mereka telah bersama selama bertahun-tahun, berencana menikah, dan segala sesuatu dalam hidup mereka berjalan sesuai rencana. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan besar yang menguji hubungan mereka. Tapi saat Aruna melihat Adrian, ada semacam ledakan dalam dirinya yang selama ini terkubur.

Adrian, dengan pesonanya yang menantang dan intens, telah mengguncang kenyamanan yang selama ini ia cari. Setiap kali ia melihat Adrian, Aruna merasa seperti sedang melihat seseorang yang mengerti dirinya lebih dalam daripada yang pernah dilakukan Aditya. Adrian tidak menghakimi, tidak mencoba untuk mengubahnya—ia hanya ingin melihat siapa Aruna sebenarnya.

Malam itu, setelah berjam-jam bekerja di rumah, Aruna mengirimkan pesan kepada Adrian.

**Aruna:** *Aku ingin bertemu.*

Pesan itu terkirim begitu saja, tanpa berpikir panjang. Ia tahu ini adalah langkah yang berisiko, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menahan dirinya. Hatinya seperti dipaksa untuk memilih jalan yang lebih gelap, yang lebih liar.

Beberapa saat kemudian, Adrian membalas.

**Adrian:** *Aku tahu. Besok, jam 7 malam. Aku akan menunggumu di studio.*

---

Keputusan Aruna untuk bertemu Adrian datang dari sebuah dorongan yang tidak bisa ia jelaskan. Keesokan harinya, ia menghubungi Aditya dan mengatakan bahwa ia butuh waktu sendiri, alasan yang tidak lebih dari sekedar keinginan untuk menenangkan pikirannya. Aditya tidak menanyakan lebih lanjut, mungkin karena sudah terlalu lama mereka terjebak dalam rutinitas yang nyaman, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun, meskipun ia mengatakan itu pada Aditya, Aruna tahu bahwa dirinya sendiri sedang tidak tenang. Setiap langkah menuju studio Adrian terasa semakin berat, seperti ada gravitasi yang menariknya ke arah yang tak pasti.

Ketika Aruna sampai di studio, Adrian sudah menunggunya di pintu. Ia mengenakan kemeja hitam yang tampak pas di tubuhnya, rambutnya sedikit acak-acakan, namun tetap terlihat menarik. Ada ketegangan di antara mereka, sesuatu yang tak terucapkan, tapi terasa begitu nyata.

“Kamu datang,” kata Adrian dengan senyum kecil. Ia membuka pintu untuk Aruna dan mempersilahkannya masuk.

“Aku tidak tahu harus berharap apa,” jawab Aruna dengan suara rendah, mencoba menutupi kegelisahannya.

“Jangan berharap apa-apa,” kata Adrian sambil menutup pintu di belakangnya. “Hanya ada aku dan kamu di sini. Tidak ada yang bisa kamu harapkan atau takuti.”

Aruna menatapnya, merasa seperti sedang berada di persimpangan yang sangat gelap. “Aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan.”

“Tidak perlu tahu,” jawab Adrian sambil melangkah lebih dekat. “Yang penting adalah kamu ada di sini.”

Keheningan mengisi udara di antara mereka, dan meskipun Aruna ingin melawan perasaan itu, ia merasa ketegangan itu terus meningkat. Adrian berjalan ke arah meja, menyalakan beberapa lampu kecil yang menciptakan suasana lembut di sekitar mereka. “Aku ingin kamu merasa nyaman,” katanya, berbalik untuk melihatnya. “Di sini, kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu inginkan.”

Aruna berdiri, tidak tahu harus berbuat apa. “Tapi ini salah, kan?” Suaranya hampir tidak terdengar.

“Yang salah adalah hidup yang kamu jalani tanpa pernah merasa bebas,” jawab Adrian, suara lembut namun penuh penekanan.

Aruna menggigit bibirnya, bingung. “Aku... Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Adrian mendekat, berdiri hanya beberapa inci di depannya. Matanya menatap dalam, penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Lihat aku, Aruna. Kamu tidak perlu tahu semua jawaban sekarang. Kamu hanya perlu merasakan.”

Aruna ingin mundur, ingin melarikan diri dari ketegangan yang terasa menghipnotis. Tapi, entah bagaimana, tubuhnya seakan bergerak tanpa izin dari pikirannya. Ia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat saat Adrian mendekat lebih dekat, hingga jarak antara mereka hampir tak ada.

Tiba-tiba, Adrian meraih tangan Aruna, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan memaksamu untuk apa pun. Aku hanya ingin kamu merasa bebas.”

Aruna menatap tangan mereka yang saling terikat, kebingungannya semakin dalam. “Apa yang kau inginkan dariku, Adrian?” Suaranya bergetar, tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang mulai muncul.

“Cuma satu,” kata Adrian dengan suara berat, “Aku ingin kamu menjadi dirimu sendiri, tanpa rasa takut. Tanpa batas.”

Tanpa berkata apa-apa, Adrian perlahan mendekatkan wajahnya, membuat Aruna merasa cemas dan tergoda dalam waktu yang bersamaan. Ia ingin mundur, tapi tubuhnya seolah terikat pada energi yang mengalir di antara mereka. Dan saat bibir mereka hampir bersentuhan, Aruna menutup matanya, membiarkan dirinya terbawa dalam keheningan itu.

Namun, sebelum keduanya bisa benar-benar bersentuhan, Adrian berhenti, hanya beberapa inci dari bibir Aruna. “Kamu siap?”

Aruna merasakan dadanya berdebar kencang, hampir tak mampu berkata apa-apa. Ia merasa bingung, terluka, tapi juga ada sensasi lain yang menyusup ke dalam dirinya—rasa ingin tahu, rasa yang membawanya ke sini.

“Aku… aku tidak tahu,” jawab Aruna dengan suara rendah, hampir berbisik. “Tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentangmu.”

Adrian tersenyum tipis, mengusap lembut pipi Aruna dengan jari-jarinya. “Itu bukan keputusan yang mudah, Aruna. Aku tidak akan menekanmu. Jika kamu memilih jalan ini, itu adalah pilihanmu sendiri.”

Aruna merasa perasaan bergejolak di dalam dirinya, sebuah pergulatan antara keinginan dan kewajiban. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan hidup yang aman dan stabil bersama Aditya, namun di sisi lain, ia merasa seolah-olah bagian dari dirinya yang telah lama terkubur tiba-tiba terbangun—keinginan untuk merasakan kebebasan, untuk merasakan hidup yang lebih liar dan tidak terkendali.

Adrian melepaskan genggaman tangannya, berjalan mundur beberapa langkah, memberi Aruna ruang untuk berpikir. “Kamu harus memilih, Aruna. Hidupmu tidak akan sama lagi setelah ini. Apakah kamu siap untuk itu?”

Aruna menatapnya, bingung. Kata-kata itu seperti sebuah peringatan, namun juga sebuah undangan—undangan untuk melangkah lebih dalam ke dunia yang tidak ia kenal.

“Coba lihat dirimu di cermin,” kata Adrian dengan suara lembut, mengarahkan Aruna ke sebuah cermin besar di sudut ruangan. “Kamu sudah berubah. Bahkan sebelum kamu sampai di sini, kamu sudah memilih.”

Aruna menatap refleksinya. Ia melihat dirinya sendiri, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa seperti ada seseorang yang berbeda di dalam cermin itu—seseorang yang lebih hidup, lebih bebas, tetapi juga lebih rapuh.

Malam itu, saat Aruna meninggalkan studio Adrian, hatinya dipenuhi dengan kebingungannya. Ia tidak tahu apakah ia telah membuat keputusan yang benar atau tidak. Namun, satu hal yang pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel