Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 3: Cahaya dan Bayangan

Aruna duduk diam di ruang tamunya. Lampu gantung menerangi meja di depannya, tapi pikirannya tenggelam dalam bayangan. Di layar laptopnya, naskah *Di Balik Tirai* masih terbuka, namun ia tak membaca satu kata pun. Sebaliknya, yang terus terbayang adalah tatapan Adrian saat ia menekan tombol kameranya.

"Aku hanya ingin menangkap dirimu yang sebenarnya."

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Selama ini, siapa dirinya yang sebenarnya? Pertanyaan itu tak pernah benar-benar ia tanyakan, bahkan pada dirinya sendiri. Bersama Aditya, hidupnya selalu tampak terencana dengan rapi—pekerjaan yang stabil, hubungan yang mapan, dan masa depan yang sudah dirancang hingga detail terkecil. Tapi Adrian… Adrian seperti badai yang datang tanpa peringatan, menghancurkan ketenangan palsu itu.

Pikirannya terus melayang hingga akhirnya ia sadar bahwa jarum jam sudah mendekati tengah malam. Di sela kekosongan apartemen itu, ia membuka ponselnya. Tanpa sadar, jari-jarinya menekan kontak Adrian.

**Aruna:** *Foto itu… apakah kamu menyimpannya?*

Pesan terkirim. Ia menunggu beberapa saat, merasa gila karena mengirimkan pesan seperti itu di jam ini. Namun, balasan Adrian datang cepat, seperti ia tahu Aruna sedang gelisah.

**Adrian:** *Tentu saja. Foto itu ada di tempat aman. Kenapa?*

Aruna menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa.

**Aruna:** *Aku ingin melihatnya lagi.*

Hening beberapa detik sebelum balasan datang.

**Adrian:** *Kamu tahu di mana studionya. Datanglah kapan saja.*

Aruna menatap layar ponselnya, merasakan sesuatu yang liar bergejolak di dalam dirinya. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup.

---

Pagi berikutnya, ia membuat alasan untuk tidak bertemu Aditya. Katanya ia sedang sibuk dengan pekerjaan, yang, tentu saja, bukan sepenuhnya bohong. Ia menuju studio Adrian dengan jantung yang berdetak kencang.

Saat ia tiba, pintu sudah terbuka, dan aroma cat yang khas langsung menyambutnya. Adrian berdiri di tengah ruangan, mengenakan pakaian santai dengan kamera tergantung di lehernya.

“Kamu datang,” katanya dengan senyum hangat.

“Ya. Aku ingin melihat fotonya.”

Adrian mengangguk. Ia mengambil laptopnya dan menunjukkan beberapa foto yang ia ambil hari itu. Saat wajah Aruna muncul di layar, ia hampir tak mengenal dirinya sendiri.

Di foto itu, ia terlihat berbeda—bukan Aruna yang selalu rapi dan penuh kendali, tetapi seseorang yang tampak mentah, rapuh, dan jujur. Tatapannya dalam foto itu seperti berbicara, menyampaikan sesuatu yang bahkan tak pernah ia sadari sebelumnya.

“Apa kamu suka?” tanya Adrian, menatapnya dengan serius.

Aruna mengangguk pelan. “Ini… indah.”

“Karena kamu memang seperti itu,” kata Adrian, nadanya pelan namun penuh arti.

Aruna merasa pipinya memanas. “Kamu membuatnya terlihat seperti itu.”

Adrian tersenyum tipis, lalu menutup laptopnya. “Aruna, aku ingin menunjukkan sesuatu.”

Ia membawanya ke sudut studio, di mana terdapat tirai hitam tebal yang memisahkan ruang utama dari sebuah area kecil. Saat Adrian menarik tirai itu, Aruna melihat sebuah tempat yang berbeda. Ada sofa empuk, lampu gantung redup, dan dinding yang dipenuhi lukisan abstrak yang didominasi warna merah dan hitam.

“Apa ini?” tanya Aruna, bingung.

“Ini tempatku merenung. Tempat aku menciptakan sesuatu yang paling jujur,” jawab Adrian. “Kalau kamu ingin memahami naskahku, kamu harus memahami apa yang ada di sini.”

Aruna melangkah masuk. Suasananya begitu berbeda—intim, gelap, dan sedikit menantang. Adrian menyalakan lampu kecil di sudut ruangan, menciptakan bayangan yang bergerak lembut di dinding.

“Aku ingin memotretmu lagi di sini,” kata Adrian tiba-tiba.

Aruna menoleh padanya. “Kenapa?”

“Karena aku ingin menangkap sisi lain dari dirimu. Sisi yang mungkin bahkan kamu tidak tahu ada di sana.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Aruna merasa sulit untuk menolak. Ia berdiri di tengah ruangan, membiarkan Adrian mengatur segalanya.

“Lihat aku,” kata Adrian saat ia mengangkat kameranya.

Aruna menatap langsung ke lensa, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seperti sedang membuka dirinya sepenuhnya. Ia tak tahu apa yang dilihat Adrian di dalam dirinya, tapi ia merasa seolah-olah ia sedang dilucuti dari semua kepura-puraannya.

Saat kamera berbunyi, Aruna merasakan sesuatu yang mendalam—seperti pintu kecil dalam dirinya terbuka, memperlihatkan sesuatu yang selama ini tersembunyi.

---

Setelah sesi pemotretan itu, mereka duduk di sofa, berbicara dalam keheningan yang nyaman. Adrian menawarkan segelas anggur, yang Aruna terima tanpa ragu.

“Kamu tahu,” kata Adrian, memecah keheningan, “aku bisa melihat sesuatu dalam dirimu. Sesuatu yang kamu coba sembunyikan.”

Aruna menatapnya. “Apa maksudmu?”

“Kamu terjebak dalam hidup yang bukan milikmu,” jawabnya pelan. “Kamu ingin keluar, tapi kamu takut.”

Kata-katanya menusuk tepat di hati Aruna. Ia tidak tahu bagaimana Adrian bisa melihat itu, tapi ia tak bisa menyangkalnya.

“Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupku,” katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar lemah.

“Benar, aku tidak tahu segalanya,” jawab Adrian. “Tapi aku tahu bagaimana rasanya terperangkap.”

Aruna terdiam. Ada keheningan panjang di antara mereka, hanya suara detak jam yang terdengar.

“Aku ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Aruna,” lanjut Adrian. “Kalau kamu bisa melakukannya, kamu akan menemukan kebebasan yang selama ini kamu cari.”

---

Malam itu, saat Aruna pulang ke apartemennya, ia merasa seolah-olah seluruh dunianya telah bergeser. Tatapan Adrian, kata-katanya, dan ruangan kecil di balik tirai itu terus terbayang dalam pikirannya.

Saat ia menatap wajahnya di cermin, ia merasa seperti melihat seseorang yang berbeda—seseorang yang lebih hidup, namun juga lebih rentan.

Pikirannya kembali pada Aditya, pada kehidupan yang selama ini ia jalani, dan pada pernikahan yang semakin dekat. Apakah ini yang benar-benar ia inginkan? Ataukah ia hanya menjalani hidup berdasarkan harapan orang lain?

Aruna tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan Adrian begitu saja. Ada sesuatu tentang pria itu yang menariknya, yang membuatnya merasa seperti ia bisa menemukan dirinya sendiri.

Namun, di balik semua itu, ada juga rasa takut—takut pada apa yang mungkin terjadi jika ia melangkah lebih jauh ke dalam dunia Adrian.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aruna menangis. Ia tidak tahu apakah itu karena rasa sakit, atau justru rasa lega.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel