Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####Chapter 2: Tatapan Dibalik Lensa

Pagi itu, Aruna memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan di sebuah kafe kecil di kawasan Kemang. Tempat itu memiliki suasana tenang dengan dekorasi kayu hangat dan alunan musik jazz lembut di latar belakang. Ia membawa laptopnya, berharap bisa tenggelam dalam dunia kata-kata dan mungkin melupakan sedikit kekosongan yang terus menghantui hidupnya.

Setelah memesan secangkir kopi hitam, Aruna membuka naskah Adrian. Judulnya *Di Balik Tirai* terus terngiang di benaknya sejak tadi malam. Setiap kalimat dalam naskah itu terasa seperti suara yang berbisik langsung ke pikirannya, menggoda dan mengundang untuk masuk lebih jauh.

Saat ia tengah asyik membaca, seseorang berdiri di hadapannya. “Aruna?”

Ia mengangkat wajahnya, menemukan seorang pria tinggi dengan jaket kulit hitam dan rambut acak-acakan berdiri di sana. Wajahnya tajam, dengan garis rahang tegas dan sepasang mata gelap yang terasa seolah menembus jiwanya.

"Ya?" jawabnya, sedikit ragu.

"Saya Adrian," pria itu memperkenalkan diri, sambil tersenyum tipis. "Maaf jika mengganggu, tapi saya pikir kita sebaiknya bertemu langsung untuk membicarakan naskah saya. Pak Heru menyarankan kafe ini. Saya harap tidak keberatan?"

Aruna terpaku sejenak. Ia tidak mengharapkan pertemuan ini, setidaknya belum. Namun, ada sesuatu dalam caranya berbicara—tenang, percaya diri, dengan sedikit nada provokatif—yang membuatnya sulit untuk menolak.

“Oh, tentu. Silakan duduk,” katanya, mencoba terdengar santai.

Adrian duduk di depannya, menatapnya dengan senyum kecil yang tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya. “Apa pendapat Anda tentang naskah saya sejauh ini?”

Aruna menyesap kopinya sebelum menjawab. “Menarik. Tulisan Anda sangat berani dan... intens.”

Adrian terkekeh. “Intens, ya? Itu biasanya kata lain dari ‘berlebihan.’”

“Tidak,” Aruna buru-buru menjelaskan. “Maksud saya, Anda memiliki cara bercerita yang membuat pembaca merasa seolah-olah mereka benar-benar ada di sana. Tapi...”

“Tapi apa?” Adrian mencondongkan tubuh ke depan, matanya mengunci tatapan Aruna.

“Ada bagian yang terasa... terlalu jujur. Terlalu mentah.”

“Itu tujuan saya,” jawab Adrian tanpa ragu. “Saya ingin tulisan ini seperti cermin. Tidak semua orang akan menyukainya, tetapi mereka tidak akan bisa mengabaikannya.”

Aruna terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya—keyakinan yang tak tergoyahkan—yang membuatnya merasa seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seseorang yang melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.

“Kenapa Anda memilih saya sebagai editor Anda?” tanyanya akhirnya.

Adrian tersenyum kecil. “Saya membaca beberapa buku yang Anda edit. Gaya Anda halus tapi tajam, seperti orang yang tahu bagaimana menangkap detail tanpa kehilangan esensi.”

“Jadi Anda memeriksa saya?” Aruna mengangkat alisnya, sedikit tersenyum.

“Bukan begitu. Saya hanya ingin memastikan pekerjaan saya ada di tangan yang tepat.”

---

Percakapan mereka berlanjut selama hampir satu jam. Awalnya profesional, tetapi perlahan bergeser menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Adrian memiliki cara berbicara yang membuat Aruna merasa seperti sedang diundang masuk ke dalam pikirannya.

Saat Adrian berbicara tentang inspirasinya, Aruna mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya. Cara ia memainkan cangkir kopi dengan ujung jarinya, tatapan matanya yang tajam namun lembut, dan senyumnya yang muncul tanpa peringatan.

“Apa yang menginspirasi Anda menulis naskah ini?” tanya Aruna, mencoba mengalihkan pikirannya dari tatapan pria itu.

Adrian menatapnya dengan serius sejenak sebelum menjawab. “Pengalaman.”

“Pengalaman?”

“Ya,” katanya pelan. “Setiap orang memiliki sisi gelap dan terang dalam dirinya. Saya hanya mencoba mengeksplorasi keduanya. Mungkin naskah ini adalah cara saya mengungkap apa yang selama ini tersembunyi.”

Aruna merasakan sesuatu yang menggigit di dadanya. Ada kejujuran dalam jawaban Adrian yang mengingatkannya pada apa yang selama ini ia pendam—hasrat, keinginan, dan kebebasan yang entah bagaimana terkubur dalam rutinitas hidupnya.

---

Setelah pertemuan itu, Aruna merasa pikirannya dipenuhi oleh Adrian. Bukan hanya naskahnya, tetapi juga caranya berbicara, caranya menatap, dan bagaimana kehadirannya terasa seperti magnet yang tak bisa diabaikan.

Malam harinya, saat Aditya mengunjunginya di apartemen, Aruna merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Aditya berbicara tentang rencana pernikahan, tetapi Aruna hanya setengah mendengarkan.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Aditya, suaranya penuh kekhawatiran.

“Ya,” jawab Aruna cepat. “Hanya lelah.”

Aditya mengangguk, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain—keraguan, atau mungkin kekecewaan.

Saat Aditya pergi, Aruna membuka laptopnya dan membaca kembali naskah Adrian. Setiap kata terasa seperti mencerminkan sesuatu yang ia rasakan tetapi tidak pernah bisa diungkapkan.

---

Pagi berikutnya, Adrian menghubunginya lagi. Kali ini, ia mengundang Aruna untuk bertemu di studionya.

“Studio?” tanya Aruna, sedikit ragu.

“Ya. Saya juga seorang fotografer. Mungkin Anda tertarik melihat beberapa karya saya,” kata Adrian di telepon. “Anggap saja ini bagian dari proses mengenal saya sebagai penulis.”

Aruna merasa ada sesuatu yang aneh dalam undangan itu, tetapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.

Studio Adrian terletak di sebuah gedung tua di kawasan Menteng. Saat Aruna tiba, ia disambut oleh aroma cat dan kayu, serta dinding-dinding yang dipenuhi foto-foto hitam putih.

“Kamu datang,” kata Adrian, tersenyum sambil berjalan menghampirinya. Ia mengenakan kemeja putih longgar yang digulung di bagian lengannya, membuatnya terlihat santai namun tetap menarik.

Adrian mengajak Aruna berkeliling, menunjukkan foto-foto yang sebagian besar adalah potret manusia—ekspresi wajah yang begitu nyata, penuh emosi.

“Foto-foto ini luar biasa,” kata Aruna, sungguh-sungguh. “Kamu punya cara menangkap sesuatu yang... berbeda.”

“Terima kasih,” jawab Adrian. “Saya percaya kamera tidak hanya menangkap gambar, tetapi juga jiwa.”

Aruna menatapnya, merasa seperti kata-kata itu ditujukan langsung padanya.

“Boleh saya potret kamu?” tanya Adrian tiba-tiba.

Aruna terkejut. “Aku? Aku bukan model.”

“Kamu tidak perlu jadi model,” kata Adrian. “Aku hanya ingin menangkap dirimu yang sebenarnya.”

Aruna ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Adrian mengatur pencahayaan, lalu meminta Aruna duduk di sebuah kursi kayu sederhana.

“Lihat ke arahku,” katanya pelan.

Aruna menuruti. Tatapan Adrian begitu intens, seolah-olah ia mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya. Saat kamera berbunyi, Aruna merasa seolah-olah seluruh dunianya berhenti.

“Kamu cantik,” kata Adrian, suaranya nyaris seperti bisikan.

Aruna merasakan wajahnya memerah, tetapi ia tidak bisa berpaling dari tatapan Adrian. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit, sesuatu yang selama ini ia pikir sudah mati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel