Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab3: Obsesi Yang Tak Bisa Di Hindari

Malam terasa panjang bagi Kevin. Setelah meninggalkan Celsie di depan rumahnya, pikirannya terus-menerus memutar ulang pertemuan mereka. Sikapnya yang keras kepala, tatapan matanya yang penuh perlawanan, dan caranya menantang otoritasnya membuat Kevin semakin penasaran. Dia bukan tipe pria yang menyukai ketidakpastian, tapi kali ini, dia mendapati dirinya tergoda oleh misteri yang membungkus Celsie.

Di dalam kantornya yang mewah keesokan harinya, Kevin duduk dengan wajah dingin, tetapi pikirannya tak bisa lepas dari gadis dunia malam itu. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tak beraturan, sebuah kebiasaan yang jarang terjadi ketika dia mulai kehilangan kendali atas pikirannya.

"Apa dia sudah bekerja lagi malam ini?" Kevin bertanya tanpa mengangkat kepalanya.

Seorang pria berjas hitam berdiri di depannya—salah satu orang kepercayaannya. "Ya, Tuan. Dia kembali ke klub seperti biasa."

Kevin menyeringai kecil. Tentu saja. Gadis itu memang keras kepala. Tapi ada sesuatu yang mengganggunya.

"Siapa saja yang mendekatinya?"

Orang kepercayaannya sedikit ragu sebelum menjawab, "Ada seorang pria. Tampaknya pelanggan tetap. Dia terlihat cukup dekat dengannya."

Sekejap, rahang Kevin mengeras. Matanya yang dingin berubah tajam, dan aura gelap menyelimuti seisi ruangan.

"Siapa dia?"

"Kami masih menyelidiki, tapi sepertinya pria itu cukup berpengaruh di lingkungannya."

Kevin terdiam, tetapi kemarahan mulai merayapi dadanya. Dia tidak pernah peduli pada wanita mana pun sejauh ini, tapi mendengar ada pria lain yang berani mendekati Celsie membuat darahnya mendidih.

Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari kursinya dan mengambil jasnya. "Siapkan mobil. Aku ingin melihat sendiri."

Di Klub Malam

Musik berdentum kencang, lampu-lampu neon berpendar dengan warna-warna menggoda, tetapi bagi Kevin, tidak ada yang lebih menarik selain sosok Celsie yang sedang berbicara dengan seorang pria di sudut ruangan.

Pria itu tinggi, berpenampilan rapi, dan jelas tidak datang ke klub hanya untuk bersenang-senang. Mereka terlihat cukup akrab, dan itu saja sudah cukup untuk membuat Kevin ingin menghancurkan sesuatu.

Dia berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi penuh intimidasi. Beberapa orang menoleh, mengenali sosok CEO yang jarang sekali muncul di tempat seperti ini. Begitu sampai di hadapan mereka, Kevin berdiri tegak di samping meja, tatapannya tajam menusuk pria yang duduk di depan Celsie.

"Aku harap aku tidak mengganggu," ucapnya dengan suara rendah, tetapi jelas penuh ancaman.

Celsie yang sedang tertawa kecil dengan pria itu mendongak dan langsung mendapati Kevin berdiri di sana. Matanya membulat sesaat sebelum ia mengembalikan ekspresinya yang tenang.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Kevin?" tanyanya dengan nada datar, tetapi dia bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

Kevin tidak menjawabnya. Matanya masih terkunci pada pria yang duduk di depannya, mengamati, menilai, dan jelas tidak menyukai apa yang dilihatnya.

"Aku harusnya yang bertanya," lanjut Kevin dengan nada yang lebih rendah. "Siapa dia?"

Pria di hadapan Celsie tersenyum santai, tidak terintimidasi sedikit pun. "Nama aku Adrian. Teman lama Celsie."

Kevin tidak menyukai cara pria itu menyebut nama Celsie seolah mereka sudah sangat dekat. Rahangnya mengeras, tetapi dia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya.

"Teman lama, ya?" Kevin melirik Celsie, mencoba mencari jawaban di matanya. Namun, gadis itu hanya mengangkat bahu, menolak menjelaskan lebih lanjut.

"Kevin, aku sedang sibuk. Kalau kamu ingin bicara, kita bisa lakukan nanti."

Ucapan Celsie seperti duri yang menusuk ego Kevin. Dia tidak terbiasa diabaikan, apalagi oleh seorang wanita.

Senyum tipis muncul di bibirnya, tetapi matanya tetap dingin. "Aku rasa aku bisa menunggu."

Kevin lalu menarik kursi dan duduk tepat di samping Celsie, sengaja membuat Adrian tahu bahwa dia bukan orang yang bisa diabaikan begitu saja.

Celsie menghela napas panjang, tahu bahwa situasi ini hanya akan semakin rumit. Tetapi, di balik rasa kesalnya, dia juga merasakan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih berbahaya.

Kevin cemburu.

Dan itu bisa berarti masalah besar.

Celsie berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun atmosfer di sekitarnya mulai terasa semakin mencekik. Kevin duduk di sampingnya, tanpa basa-basi menunjukkan dominasinya. Tatapan tajamnya tertuju pada Adrian, seolah menantang pria itu untuk bertahan lebih lama di hadapan mereka.

Adrian hanya tersenyum tipis, menyesap minumannya dengan santai. "Jadi, Kevin, kau sering datang ke sini?" tanyanya ringan, meskipun dia jelas tahu jawabannya.

Kevin mendengus, sudut bibirnya melengkung sinis. "Tidak. Aku tidak punya alasan untuk datang ke tempat seperti ini. Tapi rupanya sekarang aku menemukannya."

Celsie melirik Kevin tajam. "Kevin, aku bukan alasan untuk kau mendadak jadi pelanggan tetap di sini."

Kevin menoleh padanya, menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak ingat pernah meminta izin darimu."

Celsie mendesah keras, merasa jengah dengan sikap pria itu. Sementara itu, Adrian terkekeh pelan. "Aku suka kejujuranmu, Kevin. Tapi kau tahu, Celsie bukan tipe yang suka diatur."

Rahang Kevin mengeras. Ia bersandar ke kursinya, merentangkan satu lengannya ke belakang, dengan santai merangkul sandaran kursi Celsie—atau lebih tepatnya, mengurung gadis itu dalam teritorialnya.

"Aku tidak perlu mengaturnya," ucap Kevin dingin. "Aku hanya memastikan tidak ada orang yang melewati batas."

Adrian menaikkan alisnya. "Dan kau pikir aku melewati batas?"

Kevin menyeringai. "Aku tahu pria sepertimu. Aku tidak suka berbasa-basi, jadi aku akan langsung ke intinya." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke Celsie. "Aku tidak suka berbagi."

Celsie memutar matanya, berusaha melepaskan diri dari atmosfir klaim sepihak Kevin. "Aku bukan barang yang bisa kau klaim semaumu, Kevin."

Kevin menatapnya dalam-dalam, lalu mendekat sedikit lagi, hingga hanya ada beberapa inci jarak di antara wajah mereka. "Lalu, apa kau keberatan jika aku melakukannya?"

Celsie terkesiap. Napasnya tertahan sejenak saat menyadari betapa dekatnya mereka. Jantungnya berdegup lebih cepat, tapi ia menolak untuk terlihat kalah.

Adrian tertawa kecil, lalu berdiri sambil merapikan jasnya. "Aku rasa aku harus pergi sebelum perang ini berubah jadi lebih serius." Ia menatap Celsie sekilas. "Hati-hati, Celsie. Aku tidak yakin dia pria yang mudah melepaskan sesuatu yang dia inginkan."

Setelah Adrian pergi, Celsie berbalik menatap Kevin dengan tatapan mematikan. "Kau baru saja mengusirnya!"

Kevin menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Aku hanya menyatakan fakta. Kalau dia cukup pintar, dia pasti paham."

Celsie mendengus kesal. "Kau keterlaluan."

Kevin tersenyum tipis, lalu tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menyelipkan rambut Celsie ke belakang telinganya dengan gerakan lembut. "Kau tidak tahu separah apa keterlaluan itu, Celsie."

Di sudut ruangan, seorang pria berjas hitam berdiri dengan ekspresi sulit ditafsirkan. Dia adalah asisten pribadi Kevin yang selalu serius dan profesional. Tapi kali ini, dia hampir tidak bisa menahan geli melihat bosnya yang terkenal dingin dan arogan kini terlihat seperti pria posesif yang tidak ingin kehilangan sesuatu yang berharga.

"Asher," panggil Kevin tiba-tiba, tanpa menoleh.

Asher dengan cepat menghentikan tawanya dan menyesuaikan ekspresinya. "Ya, Tuan?"

Kevin mengangkat dagunya sedikit, masih menatap Celsie. "Pastikan tidak ada lagi pria yang mencoba mendekatinya di klub ini. Aku tidak ingin ada gangguan lagi."

Asher mengangguk, tetapi saat Kevin tidak melihatnya, ia menekan bibirnya untuk menahan senyum. Jadi, akhirnya Pak Arogan jatuh cinta juga?

Celsie melotot. "Kau tidak bisa melakukan itu!"

Kevin menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum miring. "Sayang sekali, aku baru saja melakukannya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel