Bab4: Deklarasi Kepemilikan
Celsie menatap Kevin dengan tajam, seolah berharap pria itu akan menyadari betapa keterlaluan tindakannya. Namun, Kevin hanya duduk di sana dengan santai, memegang gelasnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih bersandar di sandaran kursi Celsie, membatasi ruang geraknya.
Atmosfer di antara mereka terasa semakin tegang, seakan-akan ada badai yang siap meledak kapan saja. Musik yang berdentum, lampu-lampu neon yang berkedip, serta tawa dan suara orang-orang di sekitar mereka tidak mampu mengurangi ketegangan yang kini hanya terpusat pada dua orang di meja itu.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Kevin?" Celsie akhirnya membuka suara, suaranya rendah tapi penuh kemarahan. "Kau tidak punya hak mengatur siapa yang boleh mendekatiku."
Kevin menatapnya dengan sorot mata dingin yang tak terbaca. "Aku tidak mengatur. Aku hanya memastikan tidak ada orang yang melewati batas."
Celsie menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku bukan salah satu dari pegawaimu yang bisa kau kendalikan seenaknya. Kau CEO yang sombong, tapi aku bukan bagian dari duniamu. Kau tidak bisa datang dan mendadak bertindak seolah aku milikmu."
Kevin mengangkat alis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, seakan menikmati konfrontasi ini. "Siapa bilang aku menganggapmu milikku?" gumamnya dengan nada rendah yang menggetarkan.
Celsie mengatupkan rahangnya. "Lalu, apa yang baru saja kau lakukan tadi? Mengusir Adrian hanya karena dia bicara denganku?"
Kevin tersenyum tipis, ekspresinya tenang tetapi penuh dominasi. "Aku tidak mengusirnya. Dia sendiri yang memilih pergi."
Celsie mengepalkan tangannya di pangkuannya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai memuncak. "Kau tidak tahu batas, Kevin."
Kevin mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Celsie hingga gadis itu bisa merasakan kehangatan napasnya. "Dan kau tidak tahu seberapa jauh aku bisa melampaui batas itu, Celsie."
Celsie tersentak, tetapi dia menolak untuk mundur. "Kenapa? Kenapa kau melakukan ini?"
Kevin menatapnya dalam, lalu menjawab dengan suara yang lebih pelan, tetapi tajam. "Karena aku tidak suka berbagi."
Jawaban itu membuat Celsie terdiam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suara Kevin—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obsesi biasa. Namun, Celsie tidak mau terjebak dalam permainan ini.
Dia menegakkan punggungnya, menatap Kevin dengan keberanian yang sama seperti sebelumnya. "Aku bukan milik siapa pun untuk dibagi atau tidak dibagi."
Kevin mengamati ekspresinya, lalu tersenyum kecil—sebuah senyum yang entah kenapa membuat jantung Celsie berdebar dengan cara yang tidak ia inginkan. "Kau memang keras kepala," gumamnya.
Celsie mendengus, lalu bangkit dari kursinya. "Dan kau menyebalkan."
Namun, saat ia hendak pergi, Kevin dengan cepat menangkap pergelangan tangannya, menghentikannya. Sentuhan itu tidak kasar, tetapi cukup kuat untuk membuat Celsie menoleh dengan tatapan penuh perlawanan.
"Jangan pergi," kata Kevin, suaranya dalam dan sedikit serak.
Celsie menatapnya tajam. "Kau tidak bisa menghentikanku."
Kevin diam beberapa detik, lalu dengan perlahan melepaskan genggamannya. Tapi sorot matanya tetap sama—gelap, intens, dan penuh sesuatu yang sulit diartikan.
Celsie berbalik dan berjalan pergi, tetapi bahkan saat ia melangkah menjauh, ia bisa merasakan tatapan Kevin yang masih mengikuti setiap gerakannya.
Kevin menyandarkan punggungnya ke kursi, mengamati punggung gadis itu yang semakin jauh. Rahangnya mengatup erat, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme pelan.
"Asher," panggilnya.
Asisten pribadinya segera mendekat. "Ya, Tuan?"
Kevin tetap menatap ke arah pintu tempat Celsie menghilang. "Pastikan tidak ada lagi pria yang mendekatinya di klub ini."
Asher menatap bosnya dengan ekspresi sedikit terkejut, tetapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Dimengerti, Tuan."
Kevin tidak mengatakan apa-apa lagi. Matanya tetap tertuju ke pintu yang baru saja dilewati Celsie, ekspresinya penuh misteri.
Jika gadis itu berpikir dia bisa begitu saja pergi dan mengabaikannya, maka dia jelas salah besar.
Asher mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi Kevin yang masih menatap pintu dengan intens. Sebagai asisten pribadi yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya, Asher belum pernah melihat Kevin sefrustrasi ini terhadap seseorang—terutama seorang wanita.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Kevin melirik Asher tajam.
Asher langsung menghapus senyumnya, tapi matanya masih berbinar nakal. "Oh, tidak ada, Tuan. Hanya saja… Anda terlihat sangat serius. Sangat… berinvestasi dalam urusan ini."
Kevin mendengus. "Aku hanya tidak suka ada orang yang mengusik apa yang menjadi perhatianku."
Asher mengangkat alis. "Perhatian, ya? Bukan 'milik'?"
Kevin menatapnya tajam, tetapi Asher sudah terbiasa dengan tatapan mengintimidasi itu. Dia hanya tersenyum tipis, lalu menatap meja, seolah berpikir keras.
"Jadi… bagaimana kalau nanti ada pria lain yang mendekati Nona Celsie? Apa saya harus mengusirnya dengan cara halus, atau dengan metode yang lebih… dramatis?"
Kevin mengetuk meja dengan jarinya, berpikir sejenak. "Jangan langsung mengusir. Awasi saja. Kalau mereka mulai melewati batas, buat mereka ingin pergi sendiri."
Asher mengangguk penuh semangat. "Baik, baik. Saya akan menggunakan metode 'teror halus'."
Kevin mendesah, lalu berdiri. "Ayo pergi dari sini."
Saat mereka berjalan keluar dari klub, Asher tiba-tiba bersenandung pelan, nada lagu romantis yang cukup populer. Kevin menoleh dengan tatapan curiga.
"Kau kenapa?"
Asher pura-pura kaget. "Oh? Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya… rasanya seperti sedang berada di dalam drama romantis yang klise. Bos besar yang dingin dan CEO arogan jatuh cinta diam-diam, tapi tidak mau mengakuinya. Sang asisten setia hanya bisa menonton dengan penuh rasa iba."
Kevin berhenti melangkah dan menatap Asher dengan ekspresi datar. "Kalau kau tidak diam sekarang, aku akan menugaskan mu untuk bekerja di gudang selama sebulan."
Asher langsung pura-pura batuk. "Baik, baik! Saya sudah diam."
Namun, begitu mereka masuk ke dalam mobil, Asher kembali tersenyum geli saat melihat Kevin membuka ponselnya dan mengetik sesuatu.
"Jangan bilang kau sedang mencari lokasi tempat tinggal Nona Celsie?" godanya.
Kevin tidak menjawab, tetapi sorot matanya cukup jelas mengatakan semuanya. Asher akhirnya tak bisa menahan tawa pelan.
"Ah, Tuan… Saya tidak sabar melihat bagaimana kisah ini berkembang!"
Setelah malam yang penuh ketegangan di klub, Kevin dan Asher kembali ke rumah mewah Kevin. Suasana di mobil terasa canggung, Asher sesekali melirik Kevin yang masih terdiam, seolah merenung.
Setibanya di rumah, Kevin keluar dari mobil dengan langkah mantap, diikuti oleh Asher yang terlihat lebih santai namun tetap penasaran. Mereka masuk ke dalam rumah yang luas dan mewah, dengan desain modern yang elegan. Kevin langsung menuju ruang kerjanya yang terpisah dari ruang utama, sementara Asher duduk di ruang tamu, menunggu.
Kevin duduk di balik meja kerjanya, memeriksa ponselnya, lalu menatap layar dengan mata yang sudah tidak sabar. Meski masih terpancar dinginnya, ada sedikit ketegangan yang terasa di antara gerakannya.
Asher masuk ke ruangan dengan membawa dua gelas whisky. “Kenapa tidak bicara langsung padanya, Tuan? Sepertinya kau semakin terganggu dengan gadis itu.”
Kevin menerima gelasnya, menyesapnya perlahan sebelum menatap Asher dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak suka terburu-buru, Asher. Celsie bukan tipe yang bisa diperlakukan dengan cara biasa.”
Asher mengangkat alis, penasaran. “Jadi, bagaimana caranya? Apa kau hanya akan terus mengawasinya dari jauh?”
Kevin menghela napas, merasa sedikit tertekan. “Aku tidak bisa begitu saja membiarkan dia pergi tanpa melakukan sesuatu.”
“Dan apa yang ingin kau lakukan, Tuan?” Asher bertanya sambil duduk, menunggu jawaban yang lebih jelas.
Kevin meletakkan gelas di meja, matanya penuh fokus. “Aku ingin tahu sejauh mana dia bisa bertahan dengan permainan ini. Aku akan mengujinya, Asher. Aku tidak akan memberi ruang bagi siapa pun untuk mendekatinya tanpa izin.”
Asher tertawa pelan. “Sepertinya ini bakal jadi permainan yang menarik, Tuan.”
Kevin memandang jauh ke depan, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kita lihat saja nanti.”
Namun, meskipun tampak yakin dengan langkahnya, ada sesuatu yang mulai mengganggu Kevin. Mungkin Celsie lebih sulit dijinakkan daripada yang dia bayangkan. Tapi itu justru yang membuatnya semakin tertarik.
“Pastikan kau tidak melewatkan satu detik pun, Asher. Kita akan memulai babak baru,” ujar Kevin, dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya.
Asher hanya mengangguk dan tersenyum lebar, “Baik, Tuan. Saya siap mengikuti Anda.”
Kevin menatap gelas whisky-nya, kemudian melirik ke arah jendela, menyadari bahwa hubungan ini, dengan segala peraturannya, baru saja dimulai.
Tali, teman kerja Celsie yang cantik dan ambisius.
Tali mulai menunjukkan kecemburuan terhadap hubungan yang berkembang antara Kevin dan Celsie.
Tali menyembunyikan rahasia tentang masa lalunya, dan ada ketegangan dengan Celsie.
Ariana, merasa cemburu terhadap hubungan Celsie dan Kevin, mulai merencanakan cara untuk mendekati
