Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Mobil sudah melaju tanpa tujuan yang jelas bahkan area ini sudah dua kali kami lewati. Om Rey benar - benar hanya berputar - putar sampai langit pun berubah gelap. Di balik kemudi, Om Rey tampak gelisah,, dia melirik Mas Devan dari kaca kecil itu berkali - kali.

"Ibu Resti akan marah besar kalau tahu Bapak tidak datang di acara penting itu." Pungkas Om Devan pada akhir nya.

Mas Devan menyandarkan kepala nya ke belakang lalu memejamkan mata tampak tidak peduli. "Bukan nya acara penting nya itu besok?" Tanya nya. "Saya akan datang besok sesuai permintaan Mama. Jadi malam ini biarkan saya menghabiskan waktu saya sebaik - baik nya."

Aku yang bingung dengan pembicaraan dua laki - laki itu hanya bisa membuang wajah ke jendela, berpura - pura tidak mendengar dan juga tidak peduli. "Baik pak." Putus om Rey.

Beberapa saat berlalu dengan keadaan yang begitu sunyi, tidak ada obrolan di dalam mobil bahkan suara napas saja tidak terdengar membuat suasana nya mencekam.

"Berhenti di minimarket, Rey." Titah Mas Devan.

"Baik, Pak." Om Rey menghentikan mobil nya di depan sebuah minimarket.

"Biar saya turun." ucap Mas Devan membuat Om Rey urung membuka pintu di samping nya.

Setelah Mas Devan meninggalkan mobil, aku pun bertanya karena merasa penasaran. "Memang nya besok ada acara penting ya, Mas?"

Om Rey dengan cepat menoleh. "Mas?" Alis nya bertaut ketika menggunakan nada tanya.

Aku menunjuk minimarket dengan dagu. "Dia yang nyuruh saya manggil Mas karena usia nya belum tua untuk saya panggil Om. Kan Mas Rey juga kayak nya seumuran jadi nya saya juga manggil nya Mas aja kayak nya. Padahal dari awal saya manggil dia Om, dia nya nggak ada protes apa - apa, kenapa baru sekarang. Aneh." Aku menggerutu.

Om Rey eh maksud nya Mas Rey tersenyum tipis, setipis senyum nya Mas Devan.

Aku menunjuk wajah nya dengan ekpresi yang sama ketika pertama kali melihat Mas Devan tersenyum. "Eh, Mas Rey senyum?"

Dia langsung merubah ekspresi wajah nya menjadi datar seraya berdeham pelan. "Tadi kamu nanya apa?" Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Besok ada acara apa memang nya? Acara penting, ya?" Tanyaku.

Mas Devan tampak sudah keluar melewati pintu minimarket dan membawa kantong kresek di tangan nya ketika Mas Rey kembali mengarahkan pandang ke arah depan. "Pak Devan belum bilang memang nya?"

Aku menggeleng. "Bilang apa?"

"Kalau besok itu adalah hari pernikahan nya."

Aku manggut - manggut. Kabar ini sudah aku dengar dari Mbak Dian kemarin walau informasi nya salah. Pernikahan itu ternyata bukan hari ini melainkan besok.

Mas Devan masuk kembali ke dalam mobil lalu mengeluarkan dua kaleng minuman ringan, diulurkan nya satu ke Mas Rey dan satu berada dalam genggaman nya. "Kamu masih delapan belas tahun, minum ini aja." Lalu mengulurkan satu susu kotak rasa stroberi padaku.

Aku memberengut seraya menerima uluran susu itu. Padahal aku juga sudah sering minum minuman kaleng begitu. Nggak adil.

"Biar kamu cepat gede."

"Ish." Aku menaikkan sebelah sudut bibir atasku.

----

Berkeliling kota Bandung enam hari yang lalu menjadi hari terakhir pertemuanku dengan Mas Devan, selepas itu hanya lah Mas Rey yang datang menemuiku di rumah, sekedar mengantarkan makan siang dan malam terkadang juga menemaniku jalan - jalan walau terlalu banyak diam seperti biasa nya karena memang dua laki - laki itu sama - sama irit bicara. Aku mengerti kehidupan pengantin baru memang nggak bisa diganggu oleh pihak manapun. Termasuk aku yang saudara saja bukan seorang parasit iya.

Tapi, apa nggak bisa dia telepon atau paling tidak chat gitu ke aku, sekedar say hai atau apalah basa - basi. Dia malah bagai hilang ditelan bumi seolah - olah aku ini nggak pernah ada.

"Kenapa, Ris?" Suara Novi memecah lamunanku membuatku menoleh pada nya di sampingku.

Aku menggeleng. "Nggak apa - apa kok."

"Barusan kamu ngehela napas berat banget kayak gini." Dia meniru suara helaan napasku. "Ada apa?"

Aku memaksa bibirku mengulas senyum. "Kangen aja sama Bapak." Kata ku, karena kan nggak mungkin aku bilang lagi mikirin laki orang.

Wajah Novi mengiba, kedua tangan nya terulur menggenggam tanganku. "Sabar ya Riska Sayang."

Aku mengangguk pelan. Novita adalah seorang teman yang kukenal sejak masa orientasi siswa dulu, pernah sekelas waktu kelas sepuluh dulu dan terpisah di kelas sebelas dan dua belas. Sekarang kami kembali berteman karena dia juga salah satu penerima beasiswa sepertiku dan kebetulan kami juga memilih jurusan yang sama.

Tiga hari ini kami selalu bersama mengurus keperluan ini dan itu untuk kebutuhan kuliah nanti.

"Ngemall aja yuk biar kamu terhibur sebelum kembali ke Jakarta besok." Ajak Novi.

Aku menggeleng menolak nya. "Aku nggak ada uang Nov." Suaraku mengayun menyebut nama nya.

Dia malah terkekeh. "Aku juga Ris. Kita ke mall jalan - jalan aja, sekedar cuci mata."

Dan disinilah kami berakhir, di sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari kampus. Seperti apa kata Novi tadi, kami hanya sekedar berkeliling, naik turun eskalator untuk sekedar melihat - lihat tanpa membeli apa pun.

"Nonton yuk." Ajak Novi seraya gelendotan di lenganku.

"Tadi ada yang bilang kalo cuma jalan - jalan doang." Sindirku. Seharus nya dia mengerti kalau itu adalah sebuah penolakan. Dia menarik - narik lenganku ke arah beberapa orang yang mengantri di depan bioskop, memaksaku menuruti kemauan nya padahal sudah berkali - kali aku bilang kalau aku lagi bokek tapi mana mau dia mendengar nya.

"Aku yang bayarin Riska, kamu tinggal duduk dan nonton sama aku."

Kenapa juga nggak bilang dari tadi kalau tahu mau dibayarin kan aku nggak perlu repot - repot buang tenaga buat nolak dan menarik dia ke arah lain. Setelah mengantri membeli tiket, Novi langsung menggeretku masuk ke dalam gedung bioskop. Dia tampak mencari nomor bangku lalu menarikku duduk di bangku tengah baris ke empat dari depan.

Beberapa orang tampak berpasang - pasangan bahkan hampir semua nya dan hanya kami berdua yang datang tanpa pasangan. Entah film genre romance apa yang ditonton Novi, aku belum sempat bertanya tadi pun karena kesal aku nggak sempat melihat di bagian depan.

"Kayak nya kita salah tempat deh Nov." Kata ki didekat telinga nya karena sound sudah menggema menandakan film itu akan dimulai.

"Kenapa?"

"Semua nya datang sama pasangan nya, lah kita berdua datang nggak sama pasangan mana tontonan nya romance lagi."

Novi memendarkan pandangan ke segala arah lalu tertawa. "Santai aja Ris. Aku tuh pengen banget nonton ini, mumpung di sini jadi nya ya mending nonton meskipun sama kamu nggak sama pacar aku."

Aku mengangguk pelan. "Judulnya apa sih?"

Novi mengedikkan dagu ke arah depan membuatku mengikuti gerakan nya melihat judul film memenuhi layar besar. "Ini seru katanya, banyak yang udah nonton. Aku malah belum pernah sama sekali."

Aku menikmati film itu pada awalnya, larut ke dalam kisah cinta sepasang kekasih yang penuh ketulusan sampai di bagian tengah ketika kedua pemain utama mulai melakukan adegan ciuman panas dan adegan - adegan lain yang membuatku enggan lagi untuk menatap layar bahkan rasa nya aku ingin sekali menutup telinga supaya tidak lagi mendengar suara sound.

Aku menoleh ke samping kiri dengan wajah meringis. Dalam hati aku mengumpat karena mau saja diajak nonton film romance tanpa tahu judul film nya.

"Riska?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel