
Ringkasan
Devan Prayoga, seorang lelaki berusia 30 tahunan harus bertanggung jawab penuh atas Riska Oktaviani karena Pak Sugiyono mengalami koma setelah kecelakaan yang disebabkan oleh Devan. Bersembunyi dibalik kata tanggung jawab, nyata nya Devan mulai menyukai Riska dan diam - diam menyimpan perasaan berbeda pada gadis itu walau pun dia sudah menikah. Waktu berlalu dengan sangat lambat yang dilalui Riska bersama Devan membuat Riska juga menyimpan perasaan berbeda terhadap lelaki itu. Hingga suatu ketika Pak Sugiyono meninggal dunia dan Riska hidup sebatang kara, Devan menawarkan diri untuk memenuhi kehidupan Riska dengan menjadikan nya istri kedua yang pernikahan nya dilakukan secara siri dan tentu tersembunyi. Akan kah Riska mau dijadikan istri kedua nya? Bagaimana nasib kehidupan Riska setelah menjadi istri kedua? Akankah istri sah Devan mengetahui nya dan akan melabrak Riska?
Bab 1
Haii.. perkenalkan, nama ku Riska Oktaviani, aku hanya tinggal dengan Bapak sejak aku masih balita, aku tidak tahu dimana ibu ku yang bahkan aku belum pernah melihat wajah nya. Hari ini aku di nyatakan lulus SMK. Untuk terakhir kali nya aku memakai seragam putih abu - abu, berfoto bersama teman - teman ku yang lain yang dinyatakan lulus dari SMK N 03. Perasaan ku senang, tentu saja karena sebentar lagi aku akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu dunia perkuliahan, yang dimana akan mengajarkan aku untuk menjadi sosok yang lebih dewasa.
Di depan gerbang sekolah pasti bapak sudah menunggu ku, bapak duduk di atas motor bebek tua peninggalan masa muda nya dulu. Sama seperti hari - hari biasa nya saat menjemputku.
Aku sedikit berlari meninggalkan area lapangan upacara bersama teman - teman yang memang sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing - masing untuk menyampaikan kabar bahagia bahwa kami sudah lulus dari sekolah menengah kejuruan. Aku sudah tidak sabar untuk menyampaikan kabar bahagia ini kepada bapak.
Tapi kali ini aku salah, bapak ternyata belum datang. Aku menunggu bapak, berdiri di depan pagar sekolah, di bawah pohon beringin yang rimbun untuk aku berteduh.
Satu menit, dua menit, tiga puluh menit, satu jam. Waktu berlalu dengan cepat sampai - ampai kakiku pegal rasa nya. Keadaan sekolah sudah begitu sepi, matahari pun semakin beranjak ke arah barat ke tempat nya terbenam, tapi sosok laki - laki yang paling aku segani dan aku cintai di dunia tak kunjung datang. Aku risau dan mulai khawatir sama bapak, pikiran ku sudah negatif thinking. Aku menghembuskan napas panjang. "Sabar Ka. Bapak pernah nunggu kamu sampe dua jam." Aku menyemangati diriku sendiri dan menghilangkan pikiran negatif ku.
Berkali - kali aku melirik jam tangan untuk melihat betapa cepat nya waktu sudah berputar. Deru motor yang berhenti tepat di sampingku membuatku menoleh, menemukan seorang adik kelasku di sana. Dia adalah Dika yang sedang duduk di atas motor gede nya berwarna hijau dengan baju basket yang melekat di tubuh nya. "Lho, Kak Riska. Kok masih di sini?" Tanya Dika setelah dia membuka helm full face nya.
Lalu tak lama, ada lagi motor - motor lain nya terdengar. "Dik, duluan ya." Dika hanya mengangkat lambaian tangan nya dan menganggukan kepala nya kepada teman - teman nya yang seperti nya habis latihan basket.
"Dika, Kak Riska, duluan ya."
Aku dan Dika mengangguk bersamaan seraya menyaksikan motor itu berlalu meninggalkan area sekolah.
"Kak Riska belum dijemput?" Tanya Dika lagi setelah pertanyaan pertama nya berlalu begitu saja dan tidak aku jawab.
Sudah menjadi rahasia umum kalau setiap hari aku selalu diantar - jemput oleh Bapakku. Bukan karena keinginanku sendiri melainkan keinginan Bapak untuk melihat sendiri bagaimana putri semata wayang nya ini menjadi siswi terbaik di SMK N 03 Bandung.
"Belum, mungkin bentar lagi." Aku menjawab nya.
"Aku antar aja yuk Kak." Dika menawarkan, tapi aku menggeleng menolak nya. "Nggak usah, kamu pulang aja. Bentar lagi paling Bapak udah datang."
Dika melirik jam di tangan nya. "Ya udah kalo gitu aku duluan ya Kak." Kata nya pamit nya kemudian berlalu meninggalkanku.
Akhir nya aku sendiri lagi berdiri di sini. Namun, tidak lama sebuah motor matic berhenti tepat di hadapanku membuatku mengerutkan alis ketika kaca helm nya di buka, ternyata orang itu adalah Kang Abdul, teman kerja nya Bapak. Wajah nya yang terlihat gelisah membuatku bertanya. "Ada apa, Kang?"
Napas Kang Abdul tampak terengah - engah. "Naik Ris. Naik." Kang Abdul menyuruh ku naik ke motor nya dengan suara panik seraya menunjuk - nunjuk boncengan nya.
Kerutan di alis ku semakin bertambah.
"Memang nya Bapak kemana Kang? Kok Kang Dadang yang-" Belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, tapi langsung di potong oleh Kang Abdul.
"Bapak kamu kecelakaan, sekarang lagi di rumah sakit. Ayo, buruan naik." Sejenak aku berhenti bernapas, aku membeku di tempat, dunia di sekelilingku seolah tak lagi berputar, hanya suara Kang Abdul yang terdengar berulang - ulang menyebutkan kata 'Bapak kamu kecelakaan'. Nggak! Nggak! Itu nggak mungkin terjadi. Aku berusaha untuk mengabaikan ucapan Kang Abdul.
"Kang nggak usah bercanda ah, gak lucu Kang." Kata ku sambil tertawa, tapi suara ku terdengar sedih dan bergetar.
"Astagfirullah Ris, siapa yang mau bercanda sama kamu soal beginian? Ayo buruan naik!" Kang Abdul menarik pergelangan tangan ku yang membuatku terpaksa naik ke atas boncengan motor nya.
Di atas motor Kang Abdul aku menangis tersedu - sedu, dadaku sakit sekali rasa nya mendengar berita tentang Bapak.
Tak lama motor Kang Abdul berhenti tepat di depan ruang UGD sebuah klinik. "Bapak kamu ada di dalam." Ujar Kang Abdul menujuk ke klinik itu.
Tanpa memperdulikan helm yang masih melekat di kepala, aku berlari memasuki ruang UGD namun sudah tidak menemukan sosok Bapak di sana. Seorang perawat yang menghampiri ku mengatakan bahwa Bapak sudah dibawa ke rumah sakit besar karena pendarahan hebat di bagian kepala nya. Kaki ku lemas sekali mendengar nya, tapi aku paksakan demi untuk melihat Bapak.
Setelah mendapatkan alamat rumah sakit itu, aku meminta Kang Abdul untuk mengantarkanku ke sana. Tangisanku semakin menjadi - jadi selama perjalanan menuju rumah sakit. Dadaku rasa nya sesak sekali, udara yang kuhirup seperti nya tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigenku.
Setiba nya di rumah sakit besar itu aku berlarian menaiki satu persatu anak tangga lobi rumah sakit, bertanya pada resepsionis tentang korban kecelakaan yang baru saja dibawa ke rumah sakit itu.
"Adek bisa bertanya di bagian IGD." Kata resepsionis itu seraya menunjukkan letak ruang IGD padaku. Aku berlari lagi, tidak peduli pada banyak pasang mata yang menatapku berlarian.
"Korban sedang menjalani operasi, adek bisa langsung menuju ruang operasi di lantai tiga." Ujar perawat yang di IGD itu.
Aku berusaha menahan isak ketika seorang perawat berkata demikian. Dengan langkah yang terasa begitu berat, aku kembali mengayunkan kaki dengan cepat menuju lantai tiga. Melupakan keberadaan lift karena panik, aku menjejakkan kakiku menaiki satu - persatu anak tangga hingga aku tiba di depan ruang operasi dimana lampu indikator sudah menyala pertanda operasi sedang dilakukan di dalam sana.
Lututku seolah berubah menjadi slime, lemas sekali hingga aku terduduk di lantai dingin itu. Tangisku tak bersuara di sana mengingat Bapakku sedang berjuang di dalam ruang operasi.
Sampai aku sadar bahwa ada sepasang mata yang tengah menatapku sekarang. Pemilik mata sayu itu duduk di kursi tunggu, tepat di depan ruang operasi membuatku bertanya - tanya apa yang dia lakukan di sana. Apa dia yang menabrak Bapak? Tapi aku segera menghilangkan pikiran negatif itu.
"Riska." Kang Abdul memanggil ku membuatku menoleh ke arah lain.
"Ya Allah, Riska. Kenapa malah duduk di lantai?" Kang Abdul meraih pundakku lalu membawaku duduk di kursi tunggu, satu bangku di samping kanan laki - laki bermata sayu itu. " Bapak kamu pasti baik - baik saja." Ujar Kang Abdul seraya menepuk - nepuk punggung tanganku.
Tangisku sudah terhenti, mungkin air mataku juga sudah mengering namun rasa sedihku semakin besar, dadaku juga semakin sesak.
"Berdoa sama Allah semoga Bapak kamu selamat dan bisa melewati ujian ini." Ujar Kang Abdul.
Aku hanya mengangguk. Dalam hati doa itu tak pernah putus, tetap ku ucapkan terus. Memohon - mohon pada Sang Pemberi Kehidupan supaya menyelamatkan Bapakku di dalam sana.
Kang Abdul membisikkan sesuatu tepat di dekat telinga membuatku menoleh dengan gerakan cepat pada laki - laki bermata sayu itu. "Om yang menabrak Bapak saya?" Tanyaku setelah Kang Abdul menuturkan bahwa laki - laki itulah yang menabrak Bapak. Laki - laki itu mengangguk dengan kepala yang menunduk.
Bibirku bergetar ketika mencoba menahan rasa sakit di hatiku. "Bapak saya salah apa? Kenapa Om menabrak Bapak saya?" Aku mulai histeris tak mampu lagi menahan diri. Tanganku mencoba untuk memukul nya namun pelukan Kang Abdul yang semakin erat membuatku tak mampu berkutik dan hanya bisa menangis lagi.
"Sudah Ris, sudah. Kamu tahu sendiri bagaimana keadaan Bapak kamu. Sudah, jangan begini." Kang Abdul mencoba menenangkan ku. Dan aku hanya bisa menangis tersedu - sedu.
Beberapa waktu berlalu, aku menyandarkan kepalaku di bahu Kang Abdul. Sudah ada Teh Rini di sampingku, istri Kang Abdul yang datang beberapa saat yang lalu yang saat ini mengusap - usap punggungku.
"Berdoa, Ris. Berdoa." ujar Teh Rini.
Doa itu tak pernah terhenti dalam hati kecilku.
Tak lama lampu indikator mati dan setelah nya seorang dokter keluar dari sana menyampaikan berita bahwa operasi Bapak sudah dilakukkan.
"Kami berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien, namun kecelakaan itu menyebabkan beberapa jaringan otak rusak parah. Operasi yang kami lakukan hanya lah untuk menghentikan pendarahan hebat di bagian belakang kepala."
"Lalu bagaimana keadaan Bapak itu?" Tanya laki - laki bermata sayu. "Selamatkan dia apapun caranya!"
"Kami sudah berusaha melakukan semua nya dengan maksimal namun dokter bedah di rumah sakit ini-" Ucapan dokter itu di potong oleh laki - laki bermata sayu itu yang belum aku ketahui siapa dia, dan kenapa dia menabrak Bapak.
"Kirim dia ke Jakarta." Titah suara tegas laki - laki itu.
Dokter itu mengangguk. "Baik, Pak."
