Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Ini." Sebuah amplop putih tebal diulurkan padaku oleh Ibu Eti, Kepala Sekolah yang entah untuk tujuan apa. "Maaf, karena saya belum menjenguk Bapak kamu di Jakarta. Ini dari saya pribadi sebagai rasa terima kasih saya karena kamu sudah membanggakan sekolah yang saya pimpin selama menjadi siswa di sini." Karena tanganku tak kunjung menerima, Ibu Eti meraih tanganku lalu meletakkan amplop putih itu di atas telapak tanganku. "Gunakan dengan baik, saya tahu kamu anak yang baik dan pintar, Riska."

Aku menatap nanar amplop itu. "Tapi ini berlebihan, Bu." Kata ku.

Ibu Eti dengan tegas menggeleng. "Tidak, Riska. Ini saya berikan ikhlas sama kamu. Anggap saja hadiah karena sudah menjadi salah satu penerima beasiswa penuh di universitas terbaik di Bandung. Ini juga sebagai permintaan maaf saya karena saya belum bisa menjenguk Bapak kamu tapi saya tetap akan berusaha untuk mencari waktu luang untuk ke sana."

"Tapi i ini..."

Ibu Eti tersenyum seraya mendorong amplop di tanganku. "Diterima ya, Riska. Saya akan kecewa loh kalau kamu menolak nya."

Walaupun ragu, aku tetap mengangguk. "Te terima kasih, Bu." Kata ku dengan terbata.

Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, aku masih berkeliling di area sekolah, melihat - lihat lagi tempatku menimba ilmu selama tiga tahun ini yang pasti nya akan sangat aku rindukan ke depan nya. Banyak kenangan yang tertinggal di dalam nya yang nggak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup.

Aku pulang ke rumah setelah merasa puas menikmati suasana sekolah yang masih sama, sejuk dan ramai. Menyapa beberapa tetangga di kanan kiri depan belakang rumahku, menyahuti pertanyaan mereka yang sama yaitu kondisi Bapak saat ini.

Banyak permintaan maaf yang kudengar dari mereka karena mereka belum bisa untuk menjenguk Bapak dikarenakan tempat Bapak dirawat sangatlah jauh. Bandung - Jakarta bukanlah tempat yang bisa ditempuh dengan perjalanan satu jam.

Beberapa amplop kuterima dari mereka yang merasa kasihan pada kondisi Bapak, percuma juga menolak nya karena mereka memaksaku untuk menerima nya.

Aku baru bisa berbaring di kamarku yang bahkan lebih besar kamar mandi di kamar VIP rumah sakit yang aku tempati sebulanan ini. Aku bukan orang berada yang memiliki kamar bak istana kerajaan, punya rumah kecil dengan status kepemilikan milik sendiri saja sudah untung. Mataku baru akan terpejam ketika mendengar ponsel milikku berdering nyaring di dalam tas. Nama Om Devan menyala - nyala di layar ketika aku berhasil mengambil ponselku.

"Ya, Om?" Sapaku setelah sambungan telepon terhubung.

"Sharelock tempat kamu sekarang."

"Ada apa, Om?"

"Rey akan jemput kamu sekarang."

"Mau kemana?" Mataku langsung membulat mengingat keadaan Bapak. Astaga, jangan - jangan Bapak kenapa - kenapa di Jakarta sana. Ya Tuhan. Semoga saja nggak.

Sambungan telepon terputus begitu saja seperti biasa nya Om Devan yang kaku. Bahkan dia tidak menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.

Aku mengirimkan lokasiku saat ini di mana mobil tidak akan bisa masuk ke gang rumahku karena terlalu sempit hanya motor dan bentor yang bisa masuk. Tadi pagi aku langsung minta diturunkan di depan sekolah karena memang terburu - buru, maka dari itu Om Devan nggak tahu alamat rumahku.

Aku memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan, tak lama mobil hitam itu datang dan berhenti tepat di hadapanku. Jendela depan diturunkan yang menampakkan tampang Om Rey di balik kemudi. "Masuk!" Titah nya.

Aku masuk dan duduk di sebelah nya. "Bapak nggak kenapa - kenapa kan, Om?" Tanyaku mengkhawatirkan kondisi Bapak.

"Bapak kamu nggak apa - apa." sahut Om Rey.

Orang ini nggak kalah kaku dari Om Devan. Mereka sebelas dua belas, sama persis kaku nya. "Terus ini mau kemana?" Tanyaku penasaran.

Tak ada sahutan dari Om Rey, selain kaku dan dingin, orang ini juga irit ngomong. Hanya berbicara seada nya dan seperlu nya, menjawab jawaban yang menurut nya penting.

Mobil berhenti di area parkir restoran yang terkenal sudah mendapat bintang lima yang arti nya ini adalah restoran terbaik di sini. "Kok kita ke sini, Om?" Tanyaku seraya menyapukan pandangan lewat jendela mobil.

"Pak Devan menunggu kamu di dalam, seorang waiters akan membawa kamu ke sana."

Aku menunjuk wajahku sendiri. "Saya masuk sendirian, Om?"

Om Rey mengangguk.

Tapi kenyataan nya Om Rey sendiri yang mengantarkanku masuk ke dalam restoran, naik ke lantai dua di mana ruangan khusus pelanggan VIP berada. Aku sudah berasa sultan kalau begini cara nya.

Om Devan duduk di hadapanku sekarang, terhalang meja bulat dimana diatas nya sudah banyak macam menu yang dihidangkan. Kalau cuma berdua mana mungkin habis? Begitu lah pikir ku.

"Ini kita makan berdua Om?" Tanyaku.

"Kamu yang makan, saya sudah."

Mataku tentu langsung melotot. Apa - apaan ini? Sumo saja nggak mungkin makan sebanyak ini? Memang nya dia pikir perutku segede gentong apa? "Ini mana mungkin habis saya makan sendirian, Om." Pandanganku masih menyapu aneka menu.

Om Devan hanya mengangkat bahu. "Saya sudah berjanji untuk menjaga kamu, bertanggung - jawab atas kamu."

"Ke siapa?" Tanyaku.

"Bapak kamu."

"Iya Om, tapi gak gini juga kali Om. Masa saya yang harus menghabiskan semua nya?" Aku mengangkat pandanganku pada nya. Menatap nya dalam lalu mengangguk dan aku menggumamkan kata terima kasih.

Perut aku memang bukan gentong tapi lebih tepat nya perut karet. Entah bagaimana bisa aku menghabiskan semua menu di hadapan Om Devan begini. Apa aku kesurupan saat makan? Apa ada makhluk halus yang membantuku menghabiskan semua nya?

Astaga. But, it's okay. Toh, Om Devan sendiri yang bilang untuk menghabiskan makanan ini sendirian kan?

Aku berdeham pelan setelah mengeluarkan sendawa yang cukup keras barusan. Ya Tuhan. Malu nya sampai ke tulang - tulang. Rasa aku ingin tenggelam di dasa lautan, tapi aku kan gak bisa berenang.

"Mau nambah?" tawar Om Devan.

Dengan cepat aku menggerakkan kedua tanganku pada nya. "Nggak, Om, nggak. Saya udah kenyang Om. Makasih."

Om Devan menunduk seraya tersenyum tipis. Senyum paling tipis kedua yang kulihat dari nya.

"Om Devan pernah ketawa nggak?" Tanyaku penasaran seraya melipat lengan di sisi meja. "Kenapa?"

Aku menggeleng. "Nggak pernah ya kayak nya." Lalu aku menggebrak pelan permukaan meja. "Sebagai balasan nya hari ini saya akan buat Om ketawa." Ucapku penuh keyakinan.

Kata Bapak membuat orang tersenyum atau tertawa bisa menghibur sekaligus mendapatkan pahala. Jadi nggak ada salah nya kan. Kalau bisa aku juga akan membuat Om Rey tertawa atau minimal tersenyum supaya pahalaku semakin banyak.

"Usia kamu berapa?" Tanya nya.

Aku mengerukan alis. "Kenapa memangnya, Om?"

Om Devan hanya menggeleng.

"Minggu depan usia saya baru delapan belas tahun." Ujarku memberitahu.

"Usia saya masih tiga puluh tahun, belum cukup tua untuk kamu panggil Om."

Aku menautkan alis karena selama ini tak pernah ada protes dari nya. "Tapi selama ini Om nggak pernah protes."

"Pokok nya jangan lagi panggil saya Om."

Aku mengangguk. "Terus saya manggil apa? Bapak? Sama kayak Om Rey?"

Om Devan tampak menggaruk - garuk sisi leher nya. "Emm, kalau Mas?" Suara itu bahkan terdengar ragu.

Aku mengerjap - ngerjapkan kelopak mataku. "Mas?" Ulangku lalu mengangguk - angguk. "Oke, Mas Devan." Kok geli sendiri dengar nya tapi ya udah, toh, hanya panggilan kan?

Kami berdua keluar dari restoran itu dan langsung menuju mobil yang terparkir di area parkir di mana sudah ada Om Rey duduk di belakang kemudi.

Aku duduk di kursi depan awalnya tapi Om Devan, eh maksud nya Mas Devan menarik pergelangan tanganku, mendorongku masuk ke jok penumpang belakang, duduk bersama nya. "Langsung ke Dago apa kita antar Riska lebih dulu, Pak?" Tanya Om Rey sebelum mengemudikan mobil nya.

Apa sebaik nya aku juga panggil dia 'Mas Rey' saja? Usia nya juga kayak nya nggak jauh dari Mas Devan.

"Jalan aja, Rey. Keliling. Saya suntuk," jawab Mas Devan.

Dari spion kecil di atas dashboard, Om Rey terlihat melirik Mas Devan. "Tapi acara nya-"

"Jalan, Rey." Suara bariton itu terdengar sangat tegas memerintah Om Rey.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel