Bab 3
Tiga hari berlalu pasca operasi namun keadaan Bapak tetap sama bahkan Dokter Seno mengatakan bahwa saat ini Bapak dalam keadaan koma dan hidup atas bantuan peralatan medis.
Aku menangis meraung - raung ketika pertama kali mendengar kabar tersebut, namun seiring berjalan nya waktu aku pun berusaha untuk bersabar dan menerima semua ujian yang di berikan berharap Tuhan memberikan mukjizat nya pada Bapak agar aku masih bisa diberikan kesempatan untuk membahagiakan nya.
Kang Abdul sudah pulang kemarin sore karena pekerjaan yang menuntut nya dan juga Teh Rini yang membutuhkan nya sebagai sosok ayah dari anak kecil berusia dua bulan.
Kini tinggal aku sendiri di sini, berkeliaran di area ICU mengharapkan kabar baik dari dokter yang merawat Bapak.
Kepala sekolah, wali kelas dan beberapa guru juga teman - temanku yang mendengar tentang kejadian ini menyampaikan permintaan maaf karena belum bisa menjenguk Bapak juga banyak doa yang mereka ucapkan yang ku aaminkan semua doa - doa baik itu untuk kesembuhan Bapak.
Ah ya, mengenai Devan. Apa sebaik nya aku panggil dia Om Devan saja ya? Aku baru mengetahui bahwa sebenar nya dia adalah direktur utama rumah sakit ini yang arti nya rumah sakit ini adalah milik nya. Pantas saja dia dengan mudah nya membawa Bapak ke sini, dengan mudah mendapatkan akses keluar masuk area - area terlarang, mudah mendapatkan dokter bedah untuk Bapak kala itu dan mudah mendapatkan kamar VIP yang aku tempati sekarang bahkan dia juga menanggung semua nya, termasuk makan, minum dan segala kebutuhanku.
Dia sultan ternyata. Sesekali disaat dia tidak sibuk dia akan ke sini, menjenguk keadaan Bapak lalu duduk sebentar denganku di kursi tunggu, sekedar menemani. Seperti saat ini, Om Devan duduk di sampingku, sekedar duduk tanpa kata sejak lima menit yang lalu. Seolah - olah tengah banyak persoalan hidup yang dia pikirkan. Dia menatap kosong ke arah depan.
Aku ingin sekali bertanya, seperti yang sering kulakukan pada Bapak jika Bapak kedapatan termenung sendirian karena aku memang sosok yang selalu penasaran. Tapi... aku cukup tahu diri untuk tidak ikut campur, terlebih aku tidak begitu mengenal nya.
Laki - laki berjas hitam itu datang lagi menghampiri kami lalu membungkuk, berbisik di telinga Om Devan dan tak lama Om Devan mengembuskan napas berat. "Riska, saya tinggal dulu."
Aku hanya bisa mengangguk dan melihat punggung nya yang semakin bergerak menjauh. Setiap hari aku lalui dengan keadaan yang sama, dengan gerakan yang seolah juga sama. Kamar, ruang ICU, kamar, ruang ICU, begitu seterus nya sampai tak terasa sebulan berlalu begitu saja.
Harapanku masih sama, berharap Bapak sadar dan sembuh seperti sedia kala agar aku bisa mewujudkan keinginan nya, bisa membuat nya bahagia dan bisa membuat nya bangga padaku.
Besok aku harus kembali ke Bandung untuk beberapa hari ke depan karena kepala sekolah memintaku datang. Beasiswa ku diterima di sebuah perguruan tinggi setelah sebelum nya aku mengikuti tes bersama beberapa siswa lain nya sehari sebelum hari pengumuman. Aku bahagia sekaligus sedih karena disaat aku bisa mewujudkan keinginan Bapak, keadaan Bapak malah seperti ini, beliau tidak bisa melihat kebahagianku.
"Besok kamu pulang?" tanya Om Devan. Seperti biasa nya, kami duduk di kursi tunggu tak jauh dari ruang ICU. Aku mengangguk.
"Biar saya antar." Kata nya membuatku menoleh dengan alis terangkat. "Saya ada kepentingan di Bandung."
"Kepentingan apa, Om?"
Aku memang tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku, entah aku mirip siapa, Bapak atau Ibu. Tapi setahuku Bapak tidak pernah penasaran terhadap urusan orang lain jadi mungkin aku mirip Ibu?
Omong - omong tentang ibuku, sejak aku kecil aku belum pernah bertemu dengan nya, sekedar melihat foto saja aku belum pernah karena Bapak memang nggak pernah menunjukkan foto Ibu padaku. Setiap kali aku bertanya bagaimana sosok Ibu, Bapak selalu menjawab kalau Ibu adalah sosok wanita yang cantik dan baik lalu ketika aku bertanya kenapa aku nggak pernah bertemu dengan nya Bapak akan menjawab kalau belum waktu nya aku bertemu Ibu lalu aku juga pernah bertanya kenapa Ibu pergi saat itu Bapak terdiam dengan wajah yang nampak terluka. Dan aku nggak pernah lagi bertanya tentang Ibu untuk menjaga hati Bapak.
Karena Bapak adalah pendatang di Bandung maka para tetangga pun tidak ada yang tahu. Katanya Bapak datang ke Bandung dengan membawaku yang saat itu masih bayi.
"Kamu selalu gini?" Tanya nya membuatku mengerutkan alis.
"Selalu gini apanya, Om?"
"Bawel, pengin tahu urusan orang."
"Saya orang nya gampang penasaran, Om."
Ada senyum tipis di bibir nya, tipis sekali sampai - sampai hampir tak terlihat dan itu adalah senyum pertama yang kulihat setelah sebulan lebih mengenal nya. Telunjukku teracung menunjuk wajah nya. "Eh, Om senyum ya?"
Wajah yang mulai kembali kaku itu menggeleng. "Saya harus kembali." Lalu Om Devan bangkit dan meninggalkanku sendirian lagi.
Seorang perawat, Mbak Dian namanya menghampiriku setelah Om Devan pergi, lalu diabertanya. "Kamu dekat ya sama Pak Devan?"
"Ya barusan 'kan duduk di sini." Jawabku seraya menunjuk bekas Om Devan duduk.
"Sejauh apa?"
Alisku bergerak hampir menyatu. "Apanya?"
"Dekatnya."
"Nggak nyampe semeter."
Mbak Dian menggeram kesal. "Maksudnya bukan gitu Adek Sayang." Dia menangkup kedua sisi wajahku dengan gemas.
"Lah, terus?"
"Sedekat apa hubungan kalian?" Dia bertanya dengan gigi gemeletuk dan wajah kesal.
"Mbak Dian lupa ya kalau Om Devan itu yang nabrak Bapak aku? Ya kami dekat karena dia itu sebagai penanggung jawab Bapak sekaligus aku."
Mbak Dian manggut - manggut.
"Kenapa memang nya kok Mbak nanya gitu?" Tanyaku penasaran melihat anggukan kepala nya yang aneh.
"Pak Devan itu kan kaku."
"Bukan nya itu memang rahasia umum ya? Tukang bersih - bersih disini juga pasti tahu kalo Om Devan itu orang nya kaku."
"Jarang ngomong."
Aku mengangguk.
"Tapi kamu sadar nggak sih kalo dia sama kamu tuh jadi banyak ngomong."
Lagi - lagi aku mengernyit karena seperti nya yang banyak omong itu aku bukan dia. Om Devan itu sering nya hanya angguk - angguk, geleng - geleng semacam lagu nya Ahli Fiqir.
"Terus wajah dia jadi berekspresi setiap ngomong sama kamu."
"Mbak Dian tahu banget, fans nya ya?" Kata ku menerka, eh bukan menerka sih melainkan aku menuduh nya.
Bukan nya menggeleng Mbak Dian malah menyengir yang arti nya tuduhanku itu benar. "Tapi sayang nya dia udah mau menikah."
Mataku sejenak membulat karena kaget. "Oh ya?" Aku baru dengar kabar itu.
Mbak Dian mengangguk antusias dengan wajah nelangsa. "Padahal aku pikir setelah dia sering - sering datang ke ICU tuh dia bisa lirik - lirik aku gitu, bisa kesengsem dengan kecantikan aku tapi ternyata memang kalo orang kaya nggak bakal jodoh sama orang - orang kayak aku ya, Ris."
"Memang nya calon istri nya juga orang kaya ya, Mbak?"
"Dengar - dengar Ayah nya pemilik rumah sakit besar di Surabaya, Ris."
Aku manggut - manggut seraya membulatkan mulut.
"Tapi kata nya lagi mereka itu dijodohin gitu bukan karena ketemu sendiri. Padahal jaman sudah modern bukan lagi jaman Ahmad Nurbaya."
Aku menautkan alis. "Kok jadi Ahmad Nurbaya, Mbak?" tanyaku heran. Pasalnya yang selalu aku dengar adalah Siti Nurbaya bukan Ahmad Nurbaya.
"Kan Pak Devan cowok, Ris."
Mulutku ternganga. Astagfirullah. Kapok punya kenalan kayak Mbak Dian gini. Aku geleng - geleng kepala.
"Dengar - dengar ya, Ris." Nah, nah. Dengar dari mana lagi nih Mbak Dian. Apa dia itu punya semacam alat penyadap maka nya selalu dengar gosip maupun fakta terkini? "Besok acara nya diadain di Bandung, di daerah mana aku lupa paling - paling daerah Dago."
Aku ingat sekarang, tadi 'kan Om Devan bilang akan mengantarkanku pulang ke Bandung karena kebetulan dia ada urusan di sana. Jadi ternyata untuk acara pernikahan nya sendiri toh.
