Bab 2
"Ikuti ambulan itu." Titah tegas laki - laki bermata sayu itu pada seseorang yang mengenakan setelan jas hitam yang duduk di belakang kemudi.
"Baik, Pak."
Aku sendiri duduk bersama laki - laki itu di kursi penumpang bagian belakang mobil hitam jenis sedan sementara itu Kang Abdul juga menemani, duduk di kursi tepat di samping supir setelah membiarkan Teh Rini pulang sendirian menggunakan motor matic nya.
"Hubungi Dokter Seno, orang yang saya tabrak akan segera tiba di rumah sakit, suruh dia menyiapkan semua nya." Kata nya lagi pada seseorang dibalik telepon.
Mobil ambulans melaju cepat membelah jalanan dengan bunyi sirine yang mengaung seolah berteriak, memerintahkan kendaraan lain menyingkir dari jalanan. Bandung - Jakarta terasa begitu cepat berlalu. Rumah sakit yang jauh lebih besar sudah nampak di depan mata. Mobil ambulans pun sudah berhenti tepat di depan ruang IGD. Aku masih duduk di dalam mobil sembari menatap beberapa orang berpakaian putih mulai keluar dari pintu dan berlarian ke arah ambulans.
"Ayo." ajak laki - laki itu.
"Ris, ayo turun temani Bapak kamu." Kang Abdul juga mengajakku untuk turun dari mobil sebelum dia sendiri turun dan berlari ke arah ambulans.
Seolah membeku, aku masih menatap orang - orang yang mengerubungi Bapak, mendorong brangkar memasuki pintu kaca yang terlihat tebal itu. Seluruh tubuhku gemetar dan lemas setelah sekilas melihat wajah Bapak di tengah orang - orang itu.
Perban di seluruh bagian kepala nya juga oksigen yang menjadi alat bantu pernapasan membuatku ketakutan setengah mati. Lalu aku merasakan tepukan di lenganku yang membuatku tersadar lalu menoleh.
"Ayo, turun." Laki - laki itu mengajakku lagi dengan mata sayu yang menatapku.
"Bapak." Satu tetes air mata kembali jatuh. "Bapak saya salah apa?" Aku mengajukan pertanyaan yang sama, pertanyaan yang belum dia jawab.
Laki - laki itu kemudian menundukkan kepala, terlihat begitu bersalah. " Saya yang salah, biarkan saya bertanggung jawab penuh sampai Bapak kamu sembuh." Kata nya dengan penuh keyakinan. "Saya.. saya minta maaf atas semuanya."
.
.
.
Dua jam sudah aku duduk bersama laki - laki itu dan Kang Abdul di depan ruang operasi dengan perasaan gelisah, doa yang tidak pernah berhenti kulantunkan dalam hati.
Seragam sekolah yang kupakai seharian ini sudah menampakkan lekukan lelah di segala sisi, mewakilkan keadaan diriku.
Sebuah jas hitam tiba - tiba disampirkan di kedua bahuku. "Pakai ini, sudah malam. Dingin."
Aku menoleh sekilas pada laki - laki itu yang menyampirkan jas yang dipakai nya sekaranh berpindah ke pundakku, kemudian aku merapatkan masing - masing sisi jas bagian depan seraya menggumamkan kata terima kasih pada nya.
"Terima kasih Om." Kata ku.
Waktu semakin berlalu, jarum pendek di jam tanganku sudah semakin mendekati angka delapan. Terlalu banyak menangis membuat kelopak mataku membengkak dan terasa semakin berat. Aku sejenak memejamkan mata dengan kepala belakang yang kubiarkan menyandar pada dinding bagian belakang. Hingga perlahan lelap datang.
"Ris Bangun."
Sebuah tepukan pelan di pipi disusul suara yang memanggil - manggil membuatku perlahan terbangun dan membuka mata lalu menemukan kepalaku berada di bahu laki - laki itu. Laki - laki yang belum kutahu namanya, dan yang sydah menabrak Bapak tanpa mau memberi tahu alasan nya.
"Maaf." Kata ku seraya menjauhkan kepalaku dari bahu nya.
"Operasi Bapak kamu sudah selesai." Kata nya memberitahu bahwa operasi bapak sudah selesai.
"Lalu di mana Bapak saya, Om?"
"Bapak kamu sudah dipindahkan ke ruang ICU barusan."
Aku menghela napas lega. "Alhamdulillah." Kata ku sembari menangkupkan telapak tangan ke wajah.
Setelah membangunkan Kang Abdul yang tidur meringkuk di sampingku, kami segera menuju ruang ICU untuk melihat keadaan Bapak. Sementara itu laki - laki yang bersama kami tadi pamit untuk menelepon seseorang.
Disana seorang perawat melarang kami untuk masuk ke ruang ICU, Kang Abdul bahkan sampai memohon - mohon agar aku diijinkan masuk ke ruangan itu namun bersikukuh perawat itu tidak mengijinkan nya sampai laki - laki itu datang dan berkata. " Biarkan dia masuk." Lalu perawat yang tadi melarangku masuk segera membukakan pintu untukku.
Mataku kembali berkaca - kaca melihat keadaan Bapak di sana, terbaring lemah di atas ranjang pasien dengan peralatan medis yang menempel di beberapa bagian tubuh nya.
Aku hanya mampu menautkan telunjukku di tangan Bapak walau aku ingin sekali segera memeluk nya namun kutahan keinginan itu untuk saat ini. Aku mengambul napas panjang dan menghembuskan nya perlahan.
Peralatan medis yang menandakan kecepatan detak jantung berbunyi monoton, seolah menyampaikan bahwa saat ini Bapak sudah lebih baik.
"Riska lulus, Pak." Kata ku lirih ditengah tangisan ku. "Riska lulus dan sebentar lagi akan kuliah sesuai keinginan Bapak."
Selama beberapa saat aku lalui dengan berdiri di samping Bapak, menatap dalam wajah Bapak yang tak lagi muda sampai perawat memanggil karena waktu ku sudah habis.
Aku kembali duduk di kursi tunggu tak jauh dari ruang ICU bersama dua orang yang sama yaitu Kang Abdul dan juga laki - laki itu yang saat ini sudah menggulung bagian lengan kemeja nya hingga ke siku dan membuka dasi yang semula menggantung di leher nya, membuka kancing teratas kemeja nya.
"Ini, makan dulu." Kang Abdul menyodorkan kotak makan padaku. "Mas Devan yang belikan."
Aku mengangkat alis. "Mas Devan siapa?" Tanyaku saat menerima makanan itu karena tak bisa kupungkiri bahwa perutku sudah terasa lapar sejak tadi.
Kang Abdul menunjuk dengan dagu ke arah laki - laki itu yang kini berdiri tak jauh dari kami sembari menempelkan ponsel di telinga nya. "Nama nya Devan."
Aku manggut - manggut, kemudian menikmati nasi beserta ayam goreng yang terasa begitu hambar di lidahku dan kujejalkan berkali - kali ke mulut walau sempat tercekat di tenggorokan ketika wajah Bapak membayang.
Seorang laki - laki mengenakan setelan jas hitam tampak menghampiri orang itu yang bernama Devan itu seraya menjinjing dua buah paper bag besar lalu berbisik di telinga nya. Devan melirikku setelah laki - laki berjas hitam itu menjauhkan wajah nya kemudian Devan menghampiri kami. "Kalian bisa beristirahat, ada dua kamar yang sudah disediakan." Kata Om Devan.
Aku mendongak dan menatap nya. "Tapi saya nggak mau meninggalkan Bapak sendirian." Aku menolak nya.
"Ada perawat yang menjaga Bapak kamu di dalam. Hari sudah malam, sudah lewat jam dua belas." Om Devan hanya melirik laki - laki berjas hitam itu seperti memberikan kode lalu laki - laki itu menyerahkan paper bag di tangan nya padaku dan Kang Abdul. "Itu baju ganti." Kata nya.
Aku melirik Kang Abdul, melihat nya menganggukkan kepala membuatku berdiri kemudian mengikuti langkah nya meninggalkan ruang ICU.
Kang Abdul tiba lebih dulu di kamar yang disediakan untuk nya sementara aku masih melangkah melewati tiga pintu di kanan kamar Kang Abdul.
"Ini kamar kamu. Istirahatlah." Kata Om Devan setelah kami tiba di depan kamar dengan nomer kamar 015 yang tertempel pada pintu.
Aku mengangguk lalu menggumamkan kata terima kasih.
Om Devan mulai berlalu bersama laki - laki berjas hitam itu, sebelum langkah mereka terayun lebih jauh aku memanggil nya. "Om." Kata ku.
Om Devan dan laki - laki itu menoleh bersamaan dan juga mengangkat alis hampir bersamaan.
Aku menghampiri mereka seraya merogoh salah satu saku rokku kemudian mengulurkan sebuah plaster luka pada Om Devan. "Ini."
Dia menerima nya dengan alis berkerut seolah bertanya 'Ini apa?' padaku.
"Ada luka di atas alis Om." Aku menunjuk alis sebelah kananku sendiri.
Om Devan mengangguk kemudian berlalu begitu saja bersama pria berjas hitam itu.
