Malam yang Terlalu Panjang
< Malam yang Terlalu Panjang >
Adrian sudah terlalu mabuk, dan dari bibirnya meluncur nama panggilan yang bukan milik Selina—“Ay.” Nama yang dulu hanya ia tujukan pada Clara.
Selina tertegun sejenak, lalu tersadar ketika tubuh Adrian mulai merosot dan menimpanya sepenuhnya. Wajahnya terbenam di lekuk lehernya, napasnya hangat bercampur aroma anggur yang menyengat. Tiap gerakan tak sadar Adrian meninggalkan jejak kemerahan di kulit Selina, seperti bekas mawar yang tak diundang.
“Adrian…” Selina menggeram lirih, mendorong bahu lebar itu dengan sekuat tenaga. Namun perbandingan mereka tak adil—tinggi tubuhnya hanya sebatas dadanya, sementara berat pria itu seolah memaku dirinya di sofa.
“Bangun, Adrian!” suaranya terdengar putus asa.
Ia mencoba menggeser pinggangnya, menekuk lutut, apa saja untuk melepaskan diri. Tak ada hasil. Berat tubuh Adrian bagaikan batu besar yang enggan bergeser.
“Adrian, dengar aku! Lepaskan!” Selina kembali berusaha, tangan mungilnya menepuk-nepuk punggungnya yang hangat namun kaku.
Tak ada respons selain dengusan napas berat di lehernya. Selina menggigit bibir, menahan rasa panik yang mulai merayap. Jika pria itu tidak segera sadar, ia akan terjebak di bawahnya entah sampai kapan.
Selina menepuk-nepuk bahu Adrian, berusaha mengguncang tubuhnya agar sadar. Napasnya tercium pekat dengan aroma anggur. Pria itu hanya bergumam pelan, matanya setengah terpejam.
“Adrian, bangun,” desaknya.
Dengan gerakan lambat dan sempoyongan, Adrian akhirnya mendorong tubuhnya ke belakang hingga Selina bisa bernapas lega. Tapi sebelum ia sempat menjauh, tangan Adrian terulur lagi, hendak meraih gelas berisi sisa wine di meja. Selina sigap merebutnya.
“Kenapa kamu… menghalangi… minum, Ay?” gumamnya, suara parau dan kacau.
Selina menahan gelas itu kuat-kuat. “Kamu sudah mabuk, om Adrian!”
“Jangan… panggil… Om,” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
“Terserah,” balas Selina pelan, jantungnya masih berdebar.
Pria itu benar-benar kacau. Selina melirik pintu, yakin dia tak bisa menangani ini sendirian. Ia teringat seorang pegawai yang tadi sempat berbincang akrab dengan Adrian—lelaki yang sepertinya mengenalnya baik. Itu satu-satunya harapan.
Namun, sebelum keluar, Selina menarik rambutnya ke depan, menutupi leher yang sudah penuh jejak merah akibat cengkeraman dan sentuhan Adrian yang tak sadar. Wajahnya panas memikirkan tatapan orang lain bila melihatnya seperti itu.
Lorong kafe remang, aroma kopi bercampur kayu bakar. Setelah bertanya pada beberapa pegawai, Selina menemukan pintu ruangan kecil di sudut. Ketukan pelannya dijawab suara laki-laki dari dalam.
“Masuk saja.”
Di balik pintu, seorang pria duduk di balik meja kayu. Rambutnya hitam rapi, kemeja yang dipakai sama seperti seragam para pegawai, tapi aura yang memancar jelas berbeda—tenang, berwibawa.
“Maaf, boleh bicara sebentar?” Selina melangkah mendekat.
Pria itu menatapnya penuh perhatian. “Kamu yang bersama Adrian tadi?”
“Iya. Saya Selina.”
“Putra,” balasnya singkat, memberi isyarat agar ia duduk.
Selina menuruti. “Bisakah Anda membantu? Adrian mabuk berat, saya… saya bahkan tidak tahu alamat rumahnya. Dia hampir pingsan.”
Putra menautkan alis, lalu tersenyum samar. Sorot matanya sekilas melayang ke leher Selina, membuatnya refleks menarik rambut lebih rapat.
“Kamu ini… siapa untuk Adrian?” tanyanya.
Selina sudah menduga pertanyaan itu. “Bukan siapa-siapa. Kami bertemu kemarin. Kebetulan saya menemaninya malam ini karena… dia sedang sedih.”
Putra mendesah kecil. “Sedih karena Clara, ya? Jadi benar dia akhirnya ditolak.”
Selina mengangguk, sedikit terkejut Putra tahu.
“Aku sudah menduga,” ujar Putra sambil tertawa ringan. “Adrian keras kepala. Tidak pernah mau dengar nasihat siapa pun.”
Selina mengernyit. Mengapa lelaki ini bisa tertawa ketika sahabatnya tenggelam dalam patah hati?
“Kalian dekat?” tanyanya penasaran.
“Kami sahabat lama. Biasanya dia ke sini hanya untuk kopi, paling banter duduk di meja depan. Malam ini… berbeda. Sampai minta wine, dan itu jarang sekali.” Putra menghela napas, matanya menatap Selina seolah menimbang sesuatu. “Bagaimana kalian bisa bertemu?”
Selina menunduk sejenak sebelum menjawab. “Aku menabraknya di sebuah klub malam. Lalu pingsan. Dia… membawaku ke hotel supaya aku bisa istirahat. Jangan salah paham, kami tidak melakukan apa pun. Hanya membersihkan pakaian.”
Tatapan Putra menajam, tapi ia hanya mengangguk. “Dia aman di ruangan tadi?”
“Terakhir kulihat, nyaris pingsan. Aku khawatir dia benar-benar tak sadarkan diri.”
Putra berdiri sambil menepuk berkas di mejanya. “Baik, kita lihat keadaannya. Kalau dia tidak bangun, kita harus memindahkannya.”
Selina mengikutinya kembali ke ruangan Adrian. Pria itu sudah terbaring di sofa, wajahnya pucat diterpa lampu temaram.
“Ck, menyusahkan,” gumam Putra dengan nada geli.
“Kamu bisa menyetir mobil?” tanyanya pada Selina.
“Bisa. Apa yang harus kulakukan?”
Putra menggeledah saku celana Adrian, menemukan kunci mobil, lalu melemparkannya lembut ke arah Selina. “Siapkan mobil di depan. Aku dan pegawai lain akan memapahnya.”
Selina mengangguk dan bergegas keluar. Udara malam menampar lembut wajahnya ketika ia menyalakan mesin mobil Adrian. Tak lama, Putra dan seorang pegawai datang sambil menuntun tubuh Adrian yang setengah terkulai. Mereka membantu memasukkannya ke kursi penumpang.
“Alamat rumahnya sudah kukirim lewat ponsel Adrian. Tinggal cek peta,” kata Putra. “Kalau sampai sana, minta satpam bantu mengangkatnya. Dia bakal pingsan sampai pagi.”
Selina menyalakan lampu mobil. “Terima kasih, Putra.”
Pria itu hanya tersenyum dan menepuk atap mobil sebelum mundur.
Dalam perjalanan, Selina menoleh ke kursi sebelah. Adrian terlelap, napasnya teratur, namun tiba-tiba bibirnya bergerak.
“Aku mencintaimu, Ay…” gumamnya lirih.
Selina terdiam, jari-jarinya mengepal di kemudi. Nama itu jelas bukan miliknya. Itu panggilan untuk Clara—bayangan yang bahkan dalam mabuk pun tak bisa ia lupakan.
Selina menoleh ke kursi belakang. Adrian menggumam, suara parau yang nyaris tak terdengar, seolah berbicara kepada bayangan dalam mimpi.
“Gadis kecil nakal… aku harus menghukummu…”
Selina menahan napas. Ia yakin “gadis kecil” yang dimaksud adalah dirinya. Padahal, sejak tadi ia sudah berbaik hati menemaninya, bahkan mengantarkan pulang dalam keadaan mabuk seperti ini.
Dasar Om galak, batinnya jengkel.
Mobil berhenti di depan gerbang perumahan elit. Selina turun dan melambaikan tangan kepada satpam yang sedang berjaga. Nama “Agung” tertera di dada seragamnya.
“Pak, boleh minta tolong sebentar?” tanyanya.
Pak Agung menajamkan pandang. “Bukannya ini mobil Pak Adrian?”
Selina mengangguk cepat dan menceritakan singkat tentang kondisi Adrian yang pingsan.
“Tentu saya bantu,” jawab Pak Agung sambil memberi aba-aba pada rekannya. “Jo, jaga pos dulu, saya ikut Non ini.”
“Terima kasih banyak, Pak,” ujar Selina lega.
Mereka bersama-sama mengarahkan mobil ke rumah besar berarsitektur modern. Selina sempat melongo. Tidak heran dia terlihat mapan… rumahnya saja seperti majalah interior.
“Enak ya jadi kamu, Om,” gumamnya lirih sambil menyalakan lampu penerangan teras. “Masih muda… eh, setengah tua… tapi sudah sesukses ini. Sayangnya cintamu malah ditolak.” Ia tertawa kecil sendiri, lalu menegur dirinya, “Astaga, Selina, jangan ngomong aneh-aneh.”
Ketukan di kaca jendela membuatnya tersentak. Pak Agung sudah berdiri di luar, siap membantu. Selina cepat-cepat keluar, mencari kunci di saku celana Adrian. Setelah ketemu, ia membuka pintu depan, lalu membantu satpam itu memapah Adrian masuk.
“Langsung ke kamarnya saja, Pak,” ucap Selina.
Pak Agung mengangguk sambil menahan beban tubuh Adrian. “Pak Adrian ini orang baik. Jarang sekali saya lihat dia bawa teman perempuan. Non mungkin orang penting buat dia, ya?”
Selina tersenyum kaku. “Ah, tidak, Pak. Kami baru kenal dua hari. Kebetulan saya yang mengantar pulang.”
“Siapa tahu nanti jadi orang penting beneran,” candanya.
Selina hanya menanggapi dengan senyum. Mustahil rasanya. Selera Adrian jelas sekelas Clara—perempuan elegan, penuh kemewahan. Ia sendiri bahkan tak sanggup menandingi bayangannya.
Setelah Pak Agung pamit, Selina menutup pintu dan menatap sosok Adrian yang terbaring tak berdaya. Ia harusnya pulang, tapi kakinya enggan bergerak.
“Kenapa aku peduli?” gumamnya. “Bangun pun dia mungkin tak akan berterima kasih.”
Namun ia tetap melangkah, melepas sepatu Adrian dan menaruhnya rapi di rak. Lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh pria itu.
“Aku baru mengenalmu, tapi lihatlah—aku sampai menutupimu agar tidak kedinginan,” bisiknya pelan.
Saat ia hendak beranjak, sebuah tarikan mengejutkan membuatnya terjatuh di sisi sofa. Adrian, setengah sadar, meraih tangannya dan mendekapnya erat.
“Jangan pergi, Ay… tetap di sini,” lirihnya.
Selina terperangkap dalam pelukan hangat itu. Ia mencoba menggeser lengan Adrian, sia-sia. Dada pria itu kokoh, genggamannya tak tergoyahkan.
Dia mengira aku Clara.
Selina menahan napas, menatap wajahnya dari jarak sedekat ini. Hidung mancung, garis rahang tegas, bulu mata tebal—terlalu sempurna untuk tak diperhatikan.
Ya Tuhan, jangan sampai pikiranku ke mana-mana.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan jantung yang berdetak liar. Adrian bergumam lagi, “Jangan pergi… jangan pernah…”
“Aku nggak ke mana-mana. Tidurlah,” jawabnya pelan.
“Jangan pergi… Ay…”
Selina menarik napas panjang, lalu mengelus pipi Adrian dengan hati-hati, seolah menenangkan mimpi buruknya. Jemarinya sempat menyentuh bibir pria itu—hangat, lembut—membuatnya tergoda untuk mendekat.
Namun kesadaran segera menampar. Hentikan, Selina. Ini tidak benar.
Ia tetap diam, terperangkap dalam dekapan yang kian erat, menunggu pagi datang sambil berjuang menahan gejolak yang tak seharusnya ada.
