
Ringkasan
Sorak-sorai musik berdentum dari balik pintu kayu tebal. Lampu neon berkilauan, menari bersama aroma alkohol yang menusuk hidung. Selina Raya berdiri ragu di ambang pintu klub, jemari mungilnya mencengkeram tali tas kecil. “Ayo, Lin. Sekali-sekali saja,” bujuk Tara, sahabat yang sedari tadi menarik lengannya. “Ini malam perayaan kelulusan kita, jangan jadi anak kampus kaku.” Selina menarik napas panjang. Ia memang baru lulus hari itu, dan pikirannya masih diliputi euforia sekaligus kelelahan. Hanya sebentar, batinnya. Akhirnya ia melangkah masuk, mengikuti Tara dan dua teman lain yang sudah lebih dulu larut dalam sorak keramaian. Di meja bar, gelas wine merah menyala memantulkan cahaya. Selina menatap cairan itu dengan rasa ingin tahu. “Sedikit saja,” katanya, mencoba meyakinkan diri. Satu teguk ternyata memantik rasa hangat yang asing, dan sebelum sadar, ia sudah meneguk lagi. Tak butuh waktu lama. Dunia di sekitarnya mulai berputar. Dentuman musik semakin jauh dan dekat sekaligus. Ia menyingkir ke sudut, mencoba mencari udara segar, lalu menunduk di depan wastafel toilet, berusaha menenangkan mual yang kian menggelora. Ketika melangkah keluar, kakinya goyah. Pandangan kabur. Tubuhnya oleng hingga menabrak seseorang—seorang pria tinggi berjas gelap, aroma kayu manis dan tembakau samar menyelimuti. Adrian. Sentuhan itu mengejutkan mereka berdua. Selina, setengah tersadar, menatap wajah asing di depannya. Bibirnya bergerak, suara nyaris tak terdengar namun cukup untuk membuat napas pria itu tertahan. “Nikah… yuk, Om. Bawa Lina pergi…” bisiknya, kata-kata meluncur tanpa kendali, seperti rahasia yang tak seharusnya terucap. Adrian merasakan denyut adrenalin menghantam. Refleks, ia memegang pundaknya, menahan tubuh Selina agar tidak terjatuh. Tapi tubuh itu terlalu lemah. Dalam sekejap dia terkulai, kehilangan kesadaran di lengannya. Adrian berdecak pelan, menatap sekeliling. Lampu-lampu klub terus berkelip, dunia tetap riuh seakan tak peduli. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Selina ke dalam gendongannya, membawa gadis itu menjauh dari keramaian malam yang semakin bising.
Malam Pertama yang Mengguncang
< Malam Pertama yang Mengguncang >
Dentuman bass mengguncang lantai, lampu strobo menari liar di antara kepulan asap tipis. Selina menatap pintu klub dengan dada sedikit berdebar. Ini malam kelulusannya—malam yang seharusnya hanya berisi tawa dan ucapan selamat—namun di sinilah ia berdiri, menuruti bujukan sahabatnya.
“Ayo, Lin, sekali-sekali. Kita cuma mau ngerayain kelulusan,” ujar Tara, menarik pelan lengan Selina.
Selina sempat menolak, tapi akhirnya menyerah. Rasa ingin tahu dan keinginan melupakan masalah rumah yang selalu mengekang membuatnya melangkah masuk. Aroma alkohol segera menyergap, berpadu dengan musik keras yang memekakkan telinga.
Di meja bar, Dio dan Arka sudah bercengkerama dengan Maya. Gelas-gelas wine berkilau di bawah cahaya lampu neon. Tara menepuk bahu Selina, menawarkan sebotol air mineral, tapi sorot matanya melirik ke arah gelas anggur merah yang menggoda.
“Nggak mau nyoba, Lin?” tanya Dio sambil mengangkat alis.
Selina menggeleng ragu. “Belum pernah. Takut efeknya berat.”
Tapi bujukan demi bujukan datang bertubi-tubi, dan rasa penasaran menang. Segelas wine akhirnya menyentuh bibirnya. Manis, sedikit asam, dan hangat di kerongkongan. Ia hanya berniat menyesap sedikit, namun sekejap gelas itu kosong.
Keputusan kecil itu membawa efek besar. Dunia sekitarnya mulai berputar, kepala terasa ringan dan langkahnya goyah. Ia pamit ke toilet, menahan mual yang tiba-tiba menyerang.
Begitu keluar, kakinya sempoyongan. Pandangannya kabur hingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh—untung saja seseorang meraih pinggangnya dengan sigap.
Seorang pria. Tubuh tegap berjas hitam. Aroma kayu manis dan tembakau samar tercium.
Dalam kondisi setengah sadar, Selina menatap wajah asing itu. Bibirnya bergerak tanpa kendali, kata-kata meluncur seperti bisikan mimpi.
“Nikah yuk, Om… bawa Selina pergi,” desisnya.
Pria itu adalah Adrian dan dia terperanjat. Tangannya menahan bahu Selina, namun ketika gadis itu merapat manja, Adrian refleks mendorongnya perlahan. Tubuh Selina kehilangan keseimbangan dan terkulai.
“Ck… merepotkan,” gumamnya, namun tatapan Adrian berubah cemas saat menyadari gadis itu benar-benar pingsan. Ia menepuk pipi Selina, memanggil pelan, tapi tak ada respons.
Dengan helaan napas pasrah, Adrian mengangkat tubuh ringkih itu ke dalam gendongan, melangkah meninggalkan hiruk-pikuk klub malam yang tak henti berdentum.
---
Beberapa jam kemudian…
Selina membuka mata dengan kepala terasa berat. Cahaya lembut menyusup lewat tirai putih, jauh berbeda dari lampu klub yang berkilau semalam. Ia menatap sekeliling: kamar luas bernuansa putih bersih, asing namun rapi.
“Aku… di mana?” bisiknya.
Ketika berusaha duduk, ia terkejut mendapati selimut hanya menutupi sebagian tubuh. Panik, Selina menarik kain itu hingga menutup dada. Ia masih mengenakan pakaian dalam, tapi ingatannya tentang malam sebelumnya terputus seperti pita film yang sobek.
Kepala berdenyut hebat. Potongan peristiwa semalam berkelebat: musik memekakkan, rasa manis wine, langkah yang limbung… dan sepasang mata tajam pria berjas hitam.
“Kenapa… aku di sini?” Selina menelan ludah, jantungnya berpacu tak karuan, mencoba menyusun kembali potongan malam yang mengabur di benaknya.
"Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang
terjadi tadi malam setelah aku jatuh dan pingsan. Apa dia yang membawaku ke kamar ini? Lalu apa aku dan dia sudah melakukan itu?" ucap Selina pelan.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Seseorang keluar tanpa menutupi bagian atas tubuhnya, memperlihatkan tubuh atletis dan perutnya yang six pack.
Laki-laki tampan dan dewasa itu hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggang. Tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu. Selina mengagumi setiap lekuk tubuhnya yang indah dan wajah rupawannya. Beberapa saat Selina terpesona, hingga pikiran warasnya kembali datang. Dia harus minta penjelasan dari laki-laki itu.
"Ap--apa yang sudah kamu lakukan padaku?
Apa ... Kita melakukan itu tadi malam?" tanya Selina denga gugup.
Laki-laki itu mendekat ke arah Selina dan menatapnya tajam, tidak lupa dia menaikkan "Bukankah rugi jika tidak menikmati tubuhmu?"
"Apa?"
Selina menarik selimut hingga menutupi bahu, jantungnya berdetak cepat. Bayangan samar tentang apa yang terjadi semalam membuat tenggorokannya kering. Benarkah semudah itu ia menyerahkan kehormatan—dan dalam keadaan mabuk pula? Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya hanya dipenuhi kepingan kabur yang tidak membentuk apa pun.
Pelan, ia memeriksa tubuhnya sendiri. Tak ada rasa nyeri seperti yang sering ia dengar dari cerita orang lain. Bukankah seharusnya ada perih setelah pertama kali? Kebingungan merayapi benaknya. Kalau memang tak terjadi apa-apa, mengapa ia nyaris tanpa sehelai benang pun sekarang? Apa lelaki semalam hanya berbohong?
Ia mendongak. Di kursi dekat jendela, lelaki yang ditemuinya semalam duduk santai sambil menyesap kopi. Usianya—Selina menyukai pria yang lwbih dewasa darinya paling tidak lima atau sepuluh tahun lebih tua. Tatapannya tajam, seolah mampu menembus pikirannya.
“Kau… siapa?” suaranya bergetar.
Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh perlahan, lalu berkata datar, “Harusnya aku yang bertanya. Siapa kamu?”
“Se–Selina,” gumamnya lirih, entah kenapa lidahnya tergelincir menambahkan, “Om.”
Alis lelaki itu terangkat, seulas senyum miring menghiasi wajah tampannya. “Om? Sejak kapan aku menikahi adik ibumu?”
Selina merona. “M-maaf. Aku kira… usiamu jauh lebih tua.”
“Namaku Adrian,” balasnya tenang. “Ada yang ingin kamu tanyakan?”
Sorot matanya membuat Selina terdiam. Ada wibawa sekaligus bahaya yang memancar dari pria itu. Degup jantungnya kian kencang.
“Adrian… semalam, kita…,” Selina menelan ludah, “…kita melakukan itu?”
“Melakukan apa? Banyak hal yang terjadi,” Adrian tersenyum tipis, menyeringai seperti menyimpan rahasia.
Selina menunduk malu. “Berhubungan… seperti suami istri.”
“Menurutmu?” Adrian balik bertanya.
“Aku… tak ingat,” jawabnya pelan.
“Kalau begitu, coba tebak.”
Selina merenung, kemudian menggeleng. Ia masih merasa sama seperti sebelumnya. “Tidak ada apa-apa di antara kita, kan?”
Adrian hanya berdecak. Ia bangkit, melangkah mendekat ke tepi ranjang. Selina refleks mundur, menarik selimut lebih rapat, jantungnya kacau. Lelaki itu berhenti tepat di depannya, lalu—bukannya merenggut selimut—ia justru menariknya lebih tinggi hingga menutup leher Selina.
“Aku tidak tertarik pada gadis seumurmu,” ucapnya singkat sebelum kembali turun dari kasur.
Selina terpaku, rasa kesal menyelusup mendengar sebutan “gadis kecil” yang meluncur dari bibir Adrian. “Lalu… di mana bajuku?”
“Di laundry,” jawabnya santai.
“Laundry?” Selina melongo.
“Kau lupa? Kau muntah dan melepas pakaianmu sendiri,” Adrian menambahkan tanpa menoleh.
Selina menutup wajah dengan kedua tangan. Rasa malu dan sesal bercampur jadi satu. Bagaimana bisa hanya karena wine, ia kehilangan kendali sejauh itu?
“Duh, Lin… apa yang kau lakukan semalam,” gerutunya dalam hati.
Ia menatap sekeliling. Ruangan hotel lantai lima, bersih dan luas, aroma wangi samar memenuhi udara. Semua terasa asing.
“Kapan pakaianku selesai dicuci?” tanyanya ragu.
Adrian hanya sibuk menatap ponsel, tak menanggapi. Selina baru sadar pria itu pun tak mengenakan atasan. Ia menelan ludah, menyingkirkan bayangan yang tak diinginkan.
Ia mengingat teman-temannya, lalu rumah—ayahnya pasti marah besar karena semalam ia tak pulang. Hubungannya dengan sang ayah memang dingin. Sejak ibunya meninggal, rumah itu lebih mirip neraka: ayah tiri yang keras dan kakak tiri yang gemar membanding-bandingkan. Selina sudah sepuluh tahun bertahan demi pesan terakhir ibunya, meski setiap hari rasanya seperti hukuman.
Suara Adrian memecah lamunannya. “Kau datang ke klub bersama teman?”
Selina mendongak. “Ya, bersama teman,” jawabnya pelan, baru teringat ponsel dan tasnya tertinggal.
Adrian menatapnya sejenak, lalu mengecap kata-kata seperti pisau, “Gadis nakal. Seharusnya kau di rumah, bukan di klub malam.”
Selina tersenyum hambar. “Rumah? Aku lebih memilih kebisingan klub daripada diam di rumah yang rasanya seperti neraka.”
---
