Di Antara Rasa dan Kesadaran
< Di Antara Rasa dan Kesadaran >
Beberapa kali Selina ingin maju, mendekat, hanya untuk sekadar menyentuhkan bibirnya pada bibir itu. Tapi setiap kali niat itu muncul, akal sehatnya segera menampar keras.
Tidak, tidak boleh. Apa yang ingin ia lakukan jelas salah.
Selina menggeleng pelan, menutup matanya rapat-rapat. Ia tak berani menatap wajah Adrian lagi. Ia tahu, jika ia melakukannya, mungkin ia akan kehilangan kendali—dan menuruti dorongan hatinya yang menganggap bibir Adrian terlalu menggoda untuk diabaikan.
“Terlalu menggoda,” gumamnya lirih dalam hati.
Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan laki-laki itu. Semoga kali ini, Adrian tidak menahannya lagi. Selina tak ingin, ketika pagi tiba, Adrian memandangnya sebagai perempuan murahan yang datang hanya untuk mencari perhatian—atau bahkan harta.
Bukan, sama sekali bukan itu. Ia hanya ingin pergi. Tapi yang menahannya justru tangan kekar Adrian sendiri.
Tubuhnya lelah, matanya berat. Tanpa sadar, Selina akhirnya menyerah pada kantuk dan terlelap… di dalam dekapan pria itu.
---
Pagi menyingkap tirai malam dengan lembut. Selina menggeliat pelan, matanya terbuka setengah, dan yang pertama ia lihat adalah ruangan bernuansa biru tua—asing, namun hangat. Ia mematung beberapa detik, sebelum ingatannya berlari ke peristiwa semalam. Ia tidur di kamar Adrian.
Refleks, Selina menatap tubuhnya sendiri. Sebuah tangan besar melingkar di pinggangnya. Tak perlu menebak—itu pasti tangan Adrian. Siapa lagi? Dengan hati-hati ia mencoba menyingkirkannya. Untung saja genggamannya tak terlalu kuat, sehingga Selina berhasil lolos dan mulai bangkit. Tapi sayang, baru beberapa langkah, tangan itu kembali meraih tubuhnya dan menariknya lagi ke dalam pelukan.
Selina terlonjak, napasnya tersentak pelan.
Gerakan Adrian terlalu cepat, membuatnya terjatuh ke kasur yang empuk itu. Kini tubuh Selina terlentang, sementara Adrian masih memeluk dari samping. Kepala laki-laki itu terbenam di lekuk lehernya, menimbulkan sensasi geli yang tak diinginkannya—namun entah mengapa terasa memabukkan.
“Om Adrian…!” seru Selina setengah berbisik, setengah panik. “Bangun… Om, ayo bangun!”
Ia mengguncang tubuh Adrian dengan tangan gemetar. Tak ada reaksi. Sampai akhirnya laki-laki itu membuka mata perlahan, menatap Selina dengan pandangan kosong dan sedikit kesal.
Beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama tersadar pada posisi yang amat canggung. Mereka segera menjauh satu sama lain, sama-sama terkejut.
“Kamu! Kenapa bisa ada di kamarku?” bentak Adrian, nada suaranya penuh curiga.
Ia menatap tubuhnya sendiri—masih berpakaian lengkap, untung saja.
Selina menelan ludah, mencoba tersenyum kaku.
“Temani Om tidur,” jawabnya asal, mencoba mencairkan suasana.
“Apa maksudmu?” nada suara Adrian meninggi. “Jangan main-main, Selina.”
Selina tersenyum tipis. “Buktinya aku tidur di sebelah Om, di ranjang yang sama.”
Ucapan itu membuat darah Adrian mendidih. Bukan karena marah semata, tapi karena campuran emosi yang rumit—bingung, malu, dan entah apa lagi.
“Jangan bercanda! Katakan yang sebenarnya!”
“Aku sudah bilang,” jawab Selina lembut. “Kamu mabuk dan minta aku temani.”
“Dan kamu menurut saja?” suara Adrian bergetar, separuh tak percaya.
Selina menatapnya dengan mata teduh. “Aku nggak punya pilihan lain, Om.”
Ucapannya mungkin terdengar ringan, tapi cukup untuk membuat Adrian melangkah maju dengan wajah serius. Ia menekan tubuh Selina hingga perempuan itu mundur ke ujung kasur, hampir jatuh. Namun sebelum benar-benar terjatuh, Adrian menahan pinggangnya dan mendorongnya kembali ke atas ranjang—kali ini dengan posisi Adrian menindih tubuh mungil itu.
“Om!” seru Selina, separuh gugup, separuh tak berdaya.
Tubuhnya kini terkungkung di bawah bayangan besar Adrian. Ia bisa merasakan degup jantungnya sendiri berpacu cepat, bahkan terlalu cepat.
“Selina,” suara Adrian rendah, berat, menahan emosi. “Katakan yang sebenarnya. Kalau kamu masih ngotot diam, aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini.”
Lalu bibir laki-laki itu menelusuri leher Selina, meninggalkan jejak basah yang membuat tubuhnya bergetar tak karuan.
“Om… jangan di situ… geli…” bisik Selina frustasi.
Akhirnya Adrian berhenti, lalu menjauh. Ia mengambil kursi di dekat kasur dan duduk, menatap Selina dengan sorot tajam.
Selina menarik napas panjang, mencoba menjelaskan. “Kamu mabuk berat, Om. Putra yang minta aku antar kamu pulang. Katanya rumahmu di sini. Jadi… ya aku cuma bantu.”
Adrian mengerutkan kening. “Kenapa bukan Putra sendiri yang antar?”
“Dia ada urusan mendadak,” jawab Selina pelan. “Dia cuma nitip kamu ke aku.”
“Oh…” hanya itu yang keluar dari bibir Adrian, matanya masih tajam menatap gadis itu.
Selina bangkit dan menuju kamar mandi. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri, membasuh wajah, dan menghapus semua perasaan aneh yang muncul sejak tadi malam. Setelah selesai, ia keluar dan mendapati Adrian berdiri di tepi ranjang, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.
Selina ingin berpamitan, tapi belum sempat bicara, suara perut Adrian terdengar pelan—sebuah gumaman lapar yang justru memecah ketegangan.
“Om lapar, ya?” tanyanya, menahan tawa kecil.
“Menurutmu?” sahut Adrian dengan nada ketus.
Selina mendengus pelan. “Ya lapar dong. Nanya baik-baik malah dijawab gitu.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke dapur. Ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk tinggal sedikit lebih lama. Di lemari pendingin, ia menemukan beberapa bahan sederhana. Sandwich dan segelas susu hangat sepertinya cukup untuk sarapan.
Sambil memasak, matanya menjelajah seisi rumah. Besar, elegan, tapi sepi. Terlalu sepi untuk satu orang. “Om tinggal sendiri di rumah sebesar ini?” gumamnya pelan.
Suara berat Adrian tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Iya. Sendirian.”
Selina tersentak. “Oh, iya Om… aku kira—”
“Mungkin dulu aku berharap rumah ini nggak akan terasa kosong,” potong Adrian cepat. “Tapi rencana menikah dengan Clara batal, jadi… ya, begini.”
Selina diam. Ada sedikit getir di dada saat mendengar nama perempuan itu.
“Lupakan kejadian tadi malam,” ucap Adrian akhirnya, dengan nada dingin. “Aku nggak ingat apa-apa. Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun antara kita.”
Selina tersenyum tipis, meski hatinya sedikit nyeri tanpa alasan. “Tenang saja, Om. Aku bukan tipe yang suka mengingat hal yang bukan urusanku.”
Ia menyelesaikan masakannya, menata sarapan di meja makan. Setelah ini, ia berjanji akan pergi.
Namun, andai saja boleh memilih, Selina mungkin akan ingin tinggal sedikit lebih lama—hanya untuk memastikan bahwa perasaan aneh di dadanya bukan sekadar sisa mimpi dari malam sebelumnya.
---
