Hati yang Luka
< Hati yang Luka >
Selina menatap Adrian dengan mata melebar, tak percaya pada kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir pria itu.
“Aku tidak butuh tisu,” ucap Adrian pelan, tatapannya menusuk, “tapi aku butuh kamu.”
Selina menelan ludah, dadanya berdebar. “Maaf… maksudnya apa?”
Adrian berdiri, tinggi menjulang hingga bayangannya menutupi Selina yang hanya setinggi dadanya. Ia menatapnya lama, serius. “Aku butuh kamu. Paham tidak?”
Selina mengerutkan kening. “Butuh… buat apa?”
Ia harus mendongak hanya untuk menatap mata tajam itu. Entah kenapa, langkahnya mendekat tadi terasa seperti keputusan paling nekat yang pernah ia ambil.
“Ikut aku,” kata Adrian tiba-tiba.
“Apa?” Selina nyaris tersentak.
Adrian tidak menunggu jawaban. Ia melangkah pergi, lalu menoleh lagi ketika Selina tak kunjung mengikutinya. Mendengus, ia kembali dan meraih tangan Selina, menariknya keluar dari restoran.
“Tunggu! Aku sudah pesan makan dan belum sempat bayar, bahkan belum menyentuhnya!” protes Selina tertahan.
“Tunggu di luar. Aku yang urus,” ucap Adrian singkat.
Selina menuruti. Perutnya meringis kelaparan, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu di depan.
“Duh, lapar banget… nasib,” gumamnya lirih, menahan perut.
Beberapa menit kemudian Adrian keluar. Tanpa banyak kata, ia mengisyaratkan Selina untuk mengikutinya menuju parkiran. Di dalam mobil, Selina kembali bertanya, “Kita mau ke mana, sih?”
Adrian tetap menatap ke depan. “Nggak tahu.”
Sebelum Selina sempat mengeluh soal perutnya yang protes, Adrian menyorongkan sebuah kantong kertas. Aroma makanan hangat langsung menyergap. “Untukku?” tanyanya ragu.
“Kalau nggak mau, buang. Kalau mau, makan,” balas Adrian datar.
Selina tersenyum lega dan langsung meraih burger di dalamnya. Ia makan cepat, tanpa malu, sampai-sampai Adrian menegur, “Hati-hati. Jangan sampai belepotan di mobil.”
“Iya, iya. Bawel banget,” jawabnya sambil tetap mengunyah.
Ketika akhirnya kenyang, ia menoleh, memperhatikan garis rahang pria itu. Wajahnya tetap dingin, tak menunjukkan sedikit pun perasaan. Selina kembali teringat percakapan yang tak sengaja ia dengar di restoran—lamaran yang ditolak, cinta yang diabaikan.
“Om Adrian, lagi sedih, ya?” tanyanya hati-hati.
“Menurutmu?”
“Aku rasa iya,” balas Selina.
“Bagus kalau tahu,” jawabnya singkat.
Selina menggigit bibir, menimbang kata-kata. Di balik wajah dingin itu, pasti ada luka yang ia sembunyikan.
“Namamu siapa?” tanya Adrian tiba-tiba.
“Selina. Kenapa?”
“Kenapa manggil Om? Usia kita nggak sejauh itu.”
Selina terkekeh. “Kirain memang sudah tua.”
“Sembarangan,” gumam Adrian, tapi nada suaranya sedikit lebih lunak.
Mobil melaju menembus senja. “Kita mau ke mana sekarang?” tanya Selina lagi.
“Hotel,” sahut Adrian tenang.
Selina menelan ludah, jantungnya berdebar tak karuan. Bayangan buruk sempat melintas, hingga Adrian menoleh sekilas dan menambahkan, “Bercanda.”
Selina mengembuskan napas lega.
Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah kafe kecil yang dari luar tampak sederhana. Begitu masuk, Selina terperanjat, interiornya luas dan hangat, penuh cahaya lampu kekuningan dan aroma kopi. Adrian tampak akrab dengan para pegawai, menandakan tempat ini bukan asing baginya.
Setelah berbicara singkat dengan seorang pelayan, Adrian mengajak Selina menuju sebuah ruangan semi-pribadi di lantai dua. Selina langsung merebahkan tubuh di sofa empuk, menghela napas panjang.
Adrian menanggalkan jas dan kemeja, lalu mengenakan kaus yang dibawanya. Gerakannya santai, seolah melupakan kehadiran Selina yang menatap tanpa kedip. Tubuh atletis itu tertangkap jelas dalam cahaya redup.
“Bukan tontonan gratis,” ujarnya tiba-tiba, menoleh dengan tatapan tajam.
Selina mengangkat alis, bibirnya menyungging senyum tipis. “Salah sendiri ganti baju di depan orang. Wajar kalau jadi tontonan.”
Adrian hanya mengeluarkan dengusan pendek, setengah kesal, setengah menahan tawa yang tak jadi.
Di antara aroma kopi dan denting musik jazz yang samar, Selina bertanya-tanya—mengapa ia tak juga menjauh dari pria ini, dan mengapa Adrian, yang baru saja patah hati, justru menariknya semakin dekat.
Selina tak habis pikir bagaimana ia bisa kembali terjerat pada sosok seperti Adrian. Jika direnungkan, semua ini bukan sepenuhnya kesalahan pria itu—melainkan dirinya sendiri. Sejak awal di klub malam, Selina yang lebih dulu menabrak tubuh Adrian dalam keadaan setengah mabuk. Dan hari ini, ia lagi-lagi yang mengambil langkah pertama, menghampiri Adrian dengan selembar tisu di tangan. Ironisnya, tisu itu sama sekali tak berguna, dan justru Adrian yang akhirnya menyeretnya ke tempat ini.
Dari sudut sofa, Selina memperhatikan setiap gerak Adrian. Seusai mengganti kemeja dengan kaos polos, pria itu membuka lemari kecil dan mengambil sebotol wine. Mata Selina refleks membesar.
Astaga, minuman itu lagi.
Ia menelan ludah, bayangan malam penuh kebodohan akibat alkohol langsung melintas. Ia sudah berjanji tak akan menyentuh minuman keras lagi.
“Apa yang mau kamu lakukan? Minum wine?” tanyanya ragu.
Adrian hanya menoleh singkat, tatapannya tajam, lalu menuang cairan merah ke dalam gelas tanpa sepatah kata pun. Selina mengerutkan dahi—ia sempat mengira Adrian tipe pria yang tertib dan enggan menenggak alkohol. Ternyata dugaannya meleset. Pria itu kini meneguk isi gelas dengan tenang.
“Mau ikut?” Adrian mengangkat botol ke arahnya.
Selina cepat-cepat menggeleng. Aroma anggur itu memang menggoda, tetapi ia memilih menahan diri. “Sudah, jangan banyak-banyak. Nanti mabuk,” ujarnya lembut.
Ia bahkan maju mendekat, berani menarik lengan Adrian ketika gelas itu kembali terangkat. Anggur tumpah sedikit, dan pria itu menoleh cepat, sorot matanya menusuk. Selina menahan napas, namun genggamannya tak lepas.
“Hanya ini caraku untuk… melupakan,” ucap Adrian lirih, akhirnya memberi jawaban.
Kalimat itu membuat Selina teringat percakapan mereka di rumah makan tadi. Luka dan kekecewaan yang Adrian bawa rupanya sedalam itu hingga ia memilih menenggelamkannya dalam minuman.
“Kalau begitu, untuk apa mengajakku ke sini?” Selina memberanikan diri bertanya.
Adrian menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Menemani.”
Jawaban sederhana itu sedikit melegakan. Setidaknya ia tak bermaksud macam-macam.
“Kenapa harus minum? Bukankah ada cara lain—makan, atau berjalan-jalan ke tempat tenang?” Selina mencoba menasihati.
“Aku jarang minum. Ini baru kali kedua,” sahut Adrian, suaranya tenang tapi letih.
Selina menoleh lagi justru saat pria itu menuang gelas ketiga. Wajahnya mulai memerah, gerakannya agak goyah.
“Sedih boleh, tapi jangan larut, Adrian. Kamu pasti bisa menemukan wanita yang lebih baik daripada dia,” ucap Selina, berusaha menghibur.
Dentuman gelas yang dihantamkan Adrian ke meja membuat Selina terlonjak. Cairan merah beriak nyaris meluap.
“Apa katamu tadi? Lebih baik?” Tatapannya tajam, intimidatif.
Selina menahan napas. Niatnya hanya menenangkan, tetapi justru memantik kemarahan.
“Kamu tak mengerti. Jangan asal bicara. Clara itu… sempurna. Tak akan ada yang lebih baik darinya!” suara Adrian pecah, penuh amarah dan getir.
“Kalau dia benar-benar sempurna, dia tak akan mengkhianatimu,” balas Selina pelan namun tegas.
Ia memang tak tahu detail kisah Adrian dan Clara, tetapi dari percakapan yang sempat ia dengar, jelas Clara memilih pria lain yang lebih hadir dalam hidupnya. Meski begitu, rasa sakit di mata Adrian nyata dan dalam.
Selina menatapnya lagi, kini dengan iba. Pria itu menenggak gelas berikutnya, bahunya mulai terhuyung. Keinginan Selina untuk menyingkirkan botol itu makin kuat.
“Om Adrian!” Ia spontan menahan tubuh pria itu yang hampir terjatuh.
“Sudah kubilang, jangan minum terus. Kamu bisa pingsan!”
Adrian tidak menggubris. Tangannya justru kembali meraih botol. Selina cepat-cepat merebut gelas dari genggaman besar itu dan menyimpannya jauh di sisi sofa.
Cengkeraman tangan Adrian tiba-tiba mendarat di pundaknya, kuat dan mendebarkan. Mata gelapnya menatap lurus ke dalam mata Selina, tajam sekaligus terluka.
“Kenapa kamu mengkhianatiku… Ay?” suaranya serak.
Selina terperanjat. “Ay?”
Nama itu bukan untuknya. Itu panggilan sayang Adrian untuk Clara—nama yang kini meluncur tanpa sadar dari bibir pria yang mabuk dan patah hati.
Selina menutup mulut dan bertahan di posisi sekarang, dia tidak mau mengatakan apapun. Sementara Adrian masih menatap Selina dengan lautan gairah. Selina menelan ludah berkali-kali hingga membuat Adrian maju dan akan membisikkan sesuatu tepat di telinga Selina.
Selina terkejut dan meminta Adrian untuk menjauh darinya. Tapi, bukannya menjauh, justru kini tubuh Selina di dorong oleh Adrian hingga terjatuh di sofa dalam posisi terlentang. Adrian segera menindih tubuh mungil Selina dan membuatnya tidak bisa bergerak.
"Kamu mabuk, Om. Jangan berbuat seperti inih. Menjauh lah!" ucap Selina.
"Aku harus membuat perhitungan denganmu. Gadis kecil yang terlalu ikut campur urusan dewasa," ucap Adrian.
Adrian tersenyum dan menuju telinga Selina lalu bermain di area itu. Selina mencengkeram Kaos Adrian untuk menyalurkan apa yang dirasakannya. Geli bercampur basah. Setelah puas, Adrian kembali menggigit pelan daun telinga Selina, membuat wanita dua puluh dua tahun itu mendesah pelan.
"Temani aku sampai puas, Ay!"
"Apa?"
