Handuk yang Terseret Selimut
< Handuk yang Terseret Selimut >
Selina menarik selimut hingga menutup leher. Dadanya masih berdegup kencang, campuran gugup dan malu. Bayangan rumah yang penuh bentakan ayah tirinya kembali terlintas, tetapi pagi ini ia justru terperangkap di kamar hotel bersama pria asing yang semalam menolongnya.
“Rumah?” ia mendesis lirih, menatap ke arah pria itu. “Aku lebih suka klub malam daripada rumah yang seperti neraka.”
Adrian—lelaki yang tadi malam menemaninya saat mabuk—tersenyum. Bukan senyum ramah, melainkan senyum mengejek yang membuat Selina ingin bersembunyi lebih dalam di balik selimut.
“Gadis nakal,” ucapnya sembari menyentil dahi Selina dengan ujung jarinya.
“Aduh!” Selina spontan memegangi dahinya dan meringis. Ia hanya bisa menatap punggung Adrian yang menjauh ke arah kursi. Tubuh pria itu hanya dililit handuk, bahunya lebar dan punggungnya berotot. Selina menelan ludah tanpa sadar, matanya tak sengaja menelusuri garis otot yang tampak jelas. Ketika Adrian berbalik, ia buru-buru memalingkan wajah dan menghapus air liur yang nyaris menetes di dagu.
“Kamu barusan mengamatiku?” suara Adrian berat, penuh tuduhan.
“Siapa yang lihat?” Selina berusaha menahan getar suaranya.
Ia yakin tatapannya sempat tertangkap. Bagaimana tidak tergoda, ketika lelaki itu berdiri hanya dengan handuk yang melingkari pinggang, dada dan perutnya bebas terlihat. Selina memang menyukai sosok pria dengan tubuh setegap itu—meski ia takkan pernah mengakuinya.
Adrian tersenyum lagi, senyum yang membuat Selina semakin gelisah. Tubuhnya lengket dan ia benar-benar ingin mandi. Pandangannya beralih ke pintu kamar mandi. Ia harus membersihkan diri.
“Om?” panggilnya ragu.
Adrian menoleh, alisnya terangkat.
“Aku mau mandi,” ucap Selina pelan.
“Lalu?” ia menatap heran. “Kau mau aku yang memandikanmu?”
Selina buru-buru menggeleng. “Bukan begitu. Aku cuma… mau lewat, tapi bisa kamu membelakangi dulu? Aku nggak mau berjalan hanya dengan… ini.”
Adrian terkekeh rendah. “Silakan. Melihatmu pun tak masalah. Aku tak akan tergoda tubuh tipismu.”
Selina mendengus kesal dan melempar bantal ke arahnya. Adrian dengan mudah menghindar. Ia pun mengeratkan selimut di tubuhnya, turun dari kasur, dan mencoba melangkah.
Baru beberapa langkah, ujung selimut tersangkut di kakinya. Selina oleng. Dalam sekejap Adrian sudah menangkapnya, lengannya yang kokoh menahan tubuhnya. Sentuhan itu membuat detak jantungnya melesat, persis seperti kejadian semalam di klub.
Adrian segera menyingkir, namun Selina sempat melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
“Adrian… itu…” suaranya tercekat.
“Itu apa?” nada suaranya sinis.
“Burungmu… mau kabur,” bisik Selina, menutup wajah dengan kedua tangan.
Adrian menunduk dan baru sadar handuk yang tadi melilit pinggangnya terlepas, jatuh bercampur selimut di lantai.
“Diam! Ke mana handuk itu?” serunya.
Selina meraih handuk yang terseret selimut dan menyodorkannya tanpa menoleh. “Ini.”
Adrian cepat-cepat mengenakannya kembali. Selina tetap membelakangi, pipinya panas membara. Pikiran-pikiran liar sempat menari di kepalanya hingga ia harus memukul pelipis sendiri.
“Kamu kenapa? Membayangkan apa yang kau lihat tadi?” tanya Adrian, nada suaranya sengaja menggoda.
“Ng-nggak!” Selina pura-pura batuk.
“Mau mandi sendiri atau aku bantu?” lanjutnya, jelas-jelas menikmati kegugupan Selina.
Tanpa menunggu, Selina melangkah cepat ke kamar mandi dan mengunci pintu. Ia menatap bayangannya di cermin, mencoba menenangkan debar yang tak kunjung reda. Jangan mikir yang aneh-aneh, Lin. Mandi. Fokus mandi.
Air dingin mengguyur tubuhnya, perlahan meredakan panas di pipi. Namun pikirannya masih melayang—ke rumah, ke ayah tiri yang mungkin sekarang murka. Selina tahu betul rotan di rumah akan siap menyambut bila ia pulang. Ia menolak membiarkan rasa takut itu menguasai pagi ini.
Usai mandi, ia hanya berselimut handuk karena kain penutup sebelumnya basah terkena cipratan air. Dengan hati-hati, ia membuka pintu. Kamar sunyi. Adrian tidak ada. Ponselnya masih di atas nakas—pertanda lelaki itu belum pergi jauh.
Selina menyisir rambutnya dengan sisir hotel, mengeratkan handuk. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Adrian masuk, kini rapi mengenakan setelan jas yang sama seperti semalam. Ia melempar kantong plastik berisi pakaian yang sudah dicuci dan disetrika.
Selina segera membawa bungkusan itu ke kamar mandi, berganti pakaian, dan keluar lagi. Adrian berdiri di tepi ranjang, tatapannya serius.
“Setelah ini pulanglah,” katanya datar. “Anggap kita tak pernah bertemu.”
Selina mengangguk kecil, menunduk. Baru saja ia hendak melangkah, suara perutnya menggema keras.
Kruyuk… kruyuk…
Ia berhenti, menoleh malu-malu. “Adrian… aku lapar.”
Adrian mendecak, tapi sudut bibirnya tertarik menahan senyum.
“Ck!”
Adrian hanya mendecak, lalu tanpa banyak bicara menarik lengan Selina dan menuntunnya keluar kamar. Gerakannya tegas, nyaris kasar, membuat Selina harus setengah berlari mengikuti langkah panjangnya.
“Pelan-pelan, Om! Sakit, tahu!” Selina meringis, mencoba melepaskan genggaman itu.
Adrian tidak menoleh. Tangannya tetap menggenggam erat hingga mereka tiba di lobi hotel. Ia berhenti mendadak, merogoh dompet, dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah.
“Aku sibuk,” ucapnya datar. “Cari makan, pesan kendaraan, pulang. Kita lupakan semua yang terjadi semalam dan pagi ini. Anggap saja kita tidak pernah kenal. Mengerti?”
Selina menatap uang di tangan Adrian. Perutnya berontak, namun gengsi menahan gerakan tangannya. Ponsel dan tasnya masih entah di mana, kemungkinan besar terbawa Tara. Realita mengalahkan harga diri. Ia akhirnya meraih uang itu.
“Terima kasih, Om,” katanya lirih.
“Hm.”
Nada itu dingin. Ponsel Adrian berdering, ia menjawabnya singkat lalu berjalan menjauh, menyisakan Selina yang bimbang. Ia menunggu hingga Adrian selesai berbicara sebelum pamit.
“Aku harap kita tidak bertemu lagi,” ucap Adrian ketika kembali.
“Semoga,” balas Selina, senyum tipis di bibirnya. “Tapi kalau semesta iseng mempertemukan kita lagi, apa daya?”
“Menjauhlah. Anggap aku tak pernah ada.”
“Tenang saja. Aku pun malas dekat-dekat. Om galak.”
Adrian hanya mengangkat alis, wajahnya menahan emosi. Selina menahan tawa kecil lalu berbalik pergi.
---
Minimarket di seberang jalan menjadi tujuan pertama. Uang pemberian Adrian cukup untuk makan dan sedikit jajan. Setelah membayar, ia keluar dengan kantong plastik berisi beberapa roti dan minuman. Pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada dua bocah kecil yang mengais sisa makanan di tempat sampah. Tanpa pikir panjang, Selina menghampiri dan memberikan sebagian belanjaannya. Wajah polos mereka langsung berbinar.
“Setidaknya aku masih beruntung,” gumamnya pelan. “Walau di rumah Papa sering tersiksa, nasibku masih jauh lebih baik dari mereka.”
Ia menarik napas panjang. “Aku harus berterima kasih, meski sedikit, sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu.”
Setelah memesan taksi, Selina mampir ke sebuah restoran yang belum pernah ia datangi. Konsepnya lapang, penuh bunga dan tanaman, sebagian ruangannya terbuka. Ia memesan beberapa menu—uang dari Adrian masih cukup banyak untuk makan sekaligus ongkos pulang.
Ketika keluar dari toilet, pandangannya tertumbuk pada sosok familiar di sudut ruangan. Selina menahan langkah. Itu… Adrian? Dengan seorang perempuan?
Rasa penasaran mengalahkan lapar. Ia bersembunyi di balik rak bunga, cukup dekat untuk mendengar percakapan.
“Ay, kita sudah lama saling mengenal,” suara Adrian terdengar rendah namun mantap. “Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Kenapa tiba-tiba serius, Adrian?” wanita itu—Clara—tersenyum lembut, mencondongkan tubuh.
“Aku dan kamu sudah dewasa. Kita sama-sama tiga puluh. Aku menunggumu bertahun-tahun, sampai semua impianmu tercapai. Jadi… maukah kau jadi pendamping hidupku? Aku ingin melamarmu.”
Senyum Clara memudar. Ia menunduk, tubuhnya sedikit mundur.
“Kenapa mendadak sekali?”
“Apa susahnya bilang iya?” nada Adrian tetap tenang, tapi rahangnya mengeras.
“Aku… belum siap.”
Adrian menatapnya lekat-lekat. “Ada pria lain?”
Clara diam, lalu menunduk semakin dalam. Adrian mengepalkan tangan. Penantian delapan tahun runtuh begitu saja.
“Pergilah,” ucapnya dingin. “Aku tidak ingin melihatmu lagi.”
“Adrian, maaf… aku—”
“Cukup. Pergi.”
Air mata Clara jatuh, ia pun bergegas meninggalkan meja.
Adrian tetap duduk, menundukkan kepala, kedua tangannya menutupi wajah.
Selina keluar dari persembunyian, mendekat perlahan, lalu menarik kursi di sampingnya. Ia menyodorkan selembar tisu.
“Butuh ini?” tanyanya lembut.
Adrian menoleh, sedikit terkejut. Tatapannya yang semula muram perlahan melunak melihat senyum Selina.
“Aku tak butuh tisu,” bisiknya, “tapi… mungkin aku butuh kamu.”
---
