Langkah Baru Selina
< Langkah Baru Selina >
Selina meletakkan piring berisi sandwich dan segelas susu hangat di atas meja makan. Ia menatap hasil masakannya dengan perasaan campur aduk—antara bangga dan cemas. Ia hanya berharap Adrian mau memakannya.
Suara air dari kamar mandi masih terdengar. Sementara itu, Selina duduk di kursi terdekat, menunggu laki-laki itu keluar agar bisa berpamitan. Ia sudah berniat untuk pergi, untuk menutup kisah yang entah bagaimana bisa terjadi semalam.
Namun, berada di rumah Adrian menimbulkan rasa aneh dalam dirinya. Ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Udara di rumah itu dingin tapi menenangkan, seolah setiap dindingnya memeluk dengan lembut.
“Andai aku bisa tinggal di tempat seperti ini selamanya…” pikir Selina lirih.
Ia tersenyum miris, mengingat lelucon yang dulu sering ia lontarkan pada sahabat-sahabatnya. “Aku mau nikah sama om-om kaya, biar bisa hidup tenang dan nggak stres tiap hari,” katanya waktu itu, sambil tertawa getir.
Padahal semua itu hanya pelarian.
Hidup di bawah tekanan ayahnya yang keras, dengan bentakan yang seolah jadi rutinitas harian, sudah membuatnya lelah. Belum lagi kakak tirinya, Miranda, yang selalu dibandingkan dengannya—selalu dianggap lebih, lebih baik, lebih pantas.
Pintu kamar mandi terbuka. Adrian keluar, mengenakan kaus sederhana dan celana panjang santai. Ia berjalan ke arah meja makan tanpa ekspresi berarti. Tatapannya sempat singgah pada hidangan yang disiapkan Selina, tapi tidak ada satu pun kata keluar dari bibirnya.
Selina menelan ludah. Tangannya tiba-tiba terasa dingin. Ia takut, kalau-kalau sandwich itu terasa hambar dan malah membuat Adrian kesal.
Tanpa sepatah kata, Adrian duduk. Ia mengambil sandwich itu dan menggigitnya perlahan. Waktu seolah berhenti bagi Selina. Ia menatap diam-diam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Adrian mengunyah… menelan… menggigit lagi… hingga sandwich itu habis. Segelas susu hangat pun turut lenyap, tak tersisa setetes pun.
Selina menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak membuat sesuatu yang terlalu buruk.
“Gimana rasanya?” tanyanya hati-hati.
Adrian menatapnya sebentar. “Tidak buruk. Setidaknya bisa dimakan.”
“Oh, baiklah,” jawab Selina, menahan kecewa.
Padahal, dari cara Adrian melahapnya, jelas sekali bahwa ia menyukainya. Tapi entah kenapa, laki-laki itu seakan enggan mengucapkan kata enak meski hanya untuk sekadar basa-basi.
“Kalau begitu, aku pergi setelah ini,” ucap Selina pelan.
Adrian hanya mengangguk tanpa menatapnya. “Bagus. Dan semoga kamu tidak datang lagi ke rumah ini.”
Nada sinis itu menusuk telinga Selina. Ia menatap tajam sejenak, tapi memilih untuk tak membalas. Ia sudah tahu, laki-laki seperti Adrian lebih suka bersembunyi di balik dinginnya nada bicara daripada mengakui perasaan sebenarnya.
“Baik. Terima kasih,” ucapnya singkat, sebelum melangkah keluar dari rumah besar itu.
Begitu menapakkan kaki di luar, Selina menarik napas panjang. Dua hari sudah ia tak pulang. Ia tahu betul apa yang menunggunya di rumah—amukan ayahnya dan caci maki Mira. Tapi hari ini, ia sudah siap.
Ia berjalan mencari ojek, dan beruntung menemukan seorang pengemudi yang sedang mangkal tak jauh dari rumah Adrian. Ia meminta diantar ke rumah Tara, sahabatnya. Ponsel dan tasnya pasti masih ada di sana.
---
Rumah Tara tampak hangat seperti biasanya. Baru saja Selina mengetuk pintu, Tara langsung muncul dengan wajah lega bercampur haru.
“Selina!”
“Tara…”
Tanpa banyak kata, Tara memeluknya erat. “Kamu kemana aja? Semua orang khawatir banget! Ponselmu mati, dompetmu ketinggalan. Aku sama yang lain nyari kamu ke mana-mana!”
Selina tersenyum tipis. “Maaf ya, udah bikin repot. Tapi… ponsel dan tasku masih kamu bawa, kan?”
Tara mengangguk cepat. “Iya! Aku simpan semuanya. Kupikir kamu bakal balik malam itu. Tapi pas kita nyari, kamu malah lenyap gitu aja.”
Selina menghela napas dan duduk di sofa ruang tamu. “Sebenarnya aku sempat jatuh di toilet, Tara. Untungnya ada laki-laki yang nolong. Tapi karena aku muntah dan bajuku kotor, dia bantuin aku ke hotel buat nunggu baju kering. Jadi ya… aku nginep di sana semalam.”
Tara menatapnya, matanya membulat tak percaya. “Astaga, Sel… itu kayak adegan drama!”
Selina tertawa kecil. “Iya, kedengarannya memang konyol.”
Ia tidak menceritakan siapa laki-laki itu—cukup baginya menyimpan nama Adrian di dalam hati. Entah kenapa, ada sesuatu yang menahannya untuk tidak menyebutkan nama itu.
Tak lama, Tara masuk ke kamar dan kembali dengan membawa tas serta ponsel milik Selina. “Nih, aku udah cas-in biar nggak mati,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih banget, Tar.”
Senyum Tara memudar sedikit. “Terus… kamu mau ke mana sekarang?”
Selina terdiam. Matanya menatap jauh, seolah menembus dinding rumah itu. “Aku mau pulang. Tapi cuma buat pamit. Setelah itu, aku akan pergi dari rumah. Aku capek, Tar. Aku pengen hidup tenang, cari kebahagiaan sendiri.”
Tara terdiam, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu yang kamu mau, aku dukung. Tapi jaga diri, ya?”
Selina mengangguk. “Aku akan baik-baik aja.”
Setelah berpamitan, Selina memesan taksi online. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, jemarinya tak henti meremas satu sama lain. Ia gugup. Terbayang semua luka lama—teriakan, hinaan, dan perlakuan dingin dari orang-orang yang seharusnya jadi keluarganya.
Mobil berhenti di depan rumah yang baginya lebih mirip penjara emosional. Ia menarik napas panjang dan melangkah keluar.
Baru saja mengetuk pintu, Mira muncul. Wajahnya langsung menegang. “Kamu dari mana aja, hah?” bentaknya sambil menarik tangan Selina masuk ke dalam.
Selina menatapnya datar. Ia tidak mau terlibat adu mulut. “Aku mau ke kamar.”
“Aku belum selesai ngomong!” seru Mira. “Kamu dua hari nggak pulang. Jangan-jangan kamu udah ngelakuin hal memalukan di luar sana?”
Selina menatapnya tajam. “Maksud kamu?”
“Ke klub malam, ya? Atau… kamu udah berani jual diri?”
Ucapan itu membuat darah Selina berdesir panas. Ia menatap kakak tirinya lekat-lekat, lalu berkata dingin, “Jaga omonganmu.”
“Lalu kemana kamu selama ini?”
“Itu bukan urusanmu, Mira.”
Mira melotot. Tapi Selina tidak peduli lagi. Ia melangkah masuk ke kamar, menyiapkan tas dan pakaian yang sekiranya penting. Untung saja ayah belum pulang dari tempat kerja.
Cukup sudah.
Selama ini ia bertahan karena permintaan terakhir almarhum ibunya—untuk tetap di rumah, agar keluarga tidak tercerai-berai. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah luka.
Selina menatap wajahnya di cermin—pucat, tapi tegas. Inilah saatnya melangkah keluar, mencari hidup baru, dan membuktikan bahwa ia bisa bahagia tanpa bergantung pada siapa pun.
“Baik, semua sudah beres. Aku harus segera pergi dari sini,” gumam Selina sambil menutup koper yang sedari tadi ia rapikan.
“Kamu nggak bisa pergi semudah itu, Lin!”
Suara itu membuat Selina terlonjak. Ia menoleh cepat—dan mendapati Mira, kakak tirinya, tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tampak dingin, seperti biasa.
Selina baru sadar, pagi masih muda. Tumben Mira belum berangkat kerja. Biasanya perempuan itu sudah pergi sejak fajar, dan baru pulang larut malam dengan alasan lembur. Mira memang pekerja keras, tapi ambisinya seringkali berlebihan—menjadikannya seseorang yang mudah meremehkan, bahkan menjatuhkan orang lain demi terlihat lebih baik.
“Terserah Kak Mira. Kenapa harus menahanku? Bukankah aku cuma beban di rumah ini?” Nada suara Selina bergetar, tapi matanya tajam menatap kakak tirinya itu.
Ucapan itu menohok. Selina ingat betul bagaimana ayahnya selalu mengatakan hal yang sama—kalimat yang menghantui tiap malamnya bahwa hidup Selina hanyalah beban sejak ibunya meninggal. Dan sejak saat itu, hidupnya memang bergantung pada belas kasih ayah… dan cemoohan Mira.
“Kalau kamu pergi, siapa yang akan jadi pembantu di rumah ini?” sindir Mira, bibirnya menukik sinis.
Selina tersenyum hambar. “Kak Mira saja.”
“Ck. Aku ini perempuan berpendidikan tinggi, Lin. Pekerjaanku bukan untuk nyapu dan ngepel. Itu levelmu, jadi jangan berharap aku akan membiarkanmu pergi semudah itu.”
“Ngapain sih di rumah? Bukannya jam segini udah kerja?” Selina menyindir dengan nada seenaknya. Ia memang sengaja memancing emosi.
