Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Kepindahan Rena

Salah terus aku dimatamu

Besok aku pindah dihidungmu?

Rania menyeret anak sulungnya penuh amarah kearah parkiran mobil, mengabaikan Zidan yang beberapa kali mengaduh kesakitan.

Rania mendorong tubuh tegap Zidan ke kursi penumpang belakang tanpa aba-aba. Zidan hanya diam dan meringis saat luka diwajahnya mengenai sandaran kursi. Affandi hanya diam menyaksikan ibu dan anak itu dibelakang.

"Katakan sama Mama, maksud Arga tadi Rena anaknya Arsa dan Lea teman Mama?" Zidan mengangguk dan menunduk. "Duduk yang tegak, Mama bicara sama kamu!" Zidan langsung menegakkan duduknya.

"Ma!" panggil Affandi. Dia tidak tega jika Zidan kena marah, di saat wajahnya babak belur dari hasil karya Arga.

"Ayah diem, jalanin aja mobilnya, kita langsung pulang sekarang!" Affandi hanya mengangguk dan melajukan mobilnya, sambil melirik keduanya di belakang.

Rania kalau marah ngeri. Batin Affandi.

"Terus tadi Mama juga dengar kamu panggil Rena anak haram? anak pungut?" Zidan mengangguk. "Jawab Zidan, kamu seorang polisi, bukan anak TK"

"Iya Ma. Aku panggil Rena seperti itu." Jawabnya secara ogah-ogahan.

Plak

Tamparan penuh kasih sayang, Rania daratkan di bibir Zidan, dia meringis karena luka yang diperoleh dari Arga tadi sekarang terkena tamparan oleh sang Mama.

"Mama gak pernah ngajarin kamu mengatai anak orang seperti itu. Kamu gak tahu gimana ceritanya sampai beraninya kamu mengatai Rena anak haram!"

Ciiitttt

Affandi menghentikan mobilnya secara mendadak. Affandi berbalik kebelakang memandang Zidan dengan tatapan tajam.

"Astaghfirullah, kamu keterlaluan Kak!"

Rania memijit keningnya yang mendadak pening. Rania keluar dan memilih duduk di depan dekat Affandi.

"Jalan aja Yah, capek q ngomong sama dia, nggak beda jauh kelakuannya sama pak tua." Rania menyetel ac lebih dingin untuk menghilangkan amarah.

???

Zidan duduk termenung di kamarnya, dia teringat Kado dari Rena. Zidan membuka bungkusnya, melihat sebuah novel tentang abdi negara yang menikah karena perjodohan dari orangtuanya, tetapi berakhir sedih, karya Primasari.

Zidan mengamati langit-langit kamarnya. Dia teringat akan cerita Rania tentang Azalea yang mengadopsi Rena. Bagaimana gunjingan dari orang-orang yang dia dapat karena membesarkan Rena tanpa seorang suami sebelum dia menikah dengan Arsa.

Rena tetap anak mereka meskipun orang-orang menjelek-jelekkannya seperti apa, mereka berdua yang akan dengan sukarela membelanya.

Zidan menghela nafas panjang, merasa bersalah dengan Rena. Zidan mencoba menghubungi Rena untuk meminta maaf, tapi sayangnya nomor Rena tidak aktif.

Rena (Lenlen)

Rena, saya mau minta maaf

Tidak ada jawaban dari Rena. Zidan membuka halaman pertama novel yang di berikan oleh Rena tadi.

Zidan menutup novelnya dan merenung, bahwa perasaan seorang Aila di novel itu, tidak bisa menolak perjodohan yang telah di tetapkan oleh Papanya.

Dia teringat akan Rena, entah kenapa sosok Aila sedikit mirip dengan Rena. Menyimpan luka yang dalam di dalam wajah yang ceria.

???

Rena sedang menyaksikan ketiga lelaki berbeda usia berpelukan didepannya. Rena tersenyum getir, mengingat akan pindah dari rumdin ini. Banyak sekali kenangan yang dia dapat disini.

Arga memeluk Rena erat dan menangis. Rena ikut menangis, bagi Rena, sosok Arga adalah sosok abang yang terbaik, meskipun mereka bukan satu darah, tapi Arga menjaga Rena dengan baik.

Terbukti juga dulu Arga berdiri paling depan bersama Melvi untuk membalas perlakuan tetangganya yang mengolok-olok Rena.

"Gue bakalan kangen sama lo Komandan kecil gue." Rena tertawa miris.

Rena menghapus air matanya, lalu menguraikan pelukannya pada Arga dan tersenyum.

"Gue akan kirim email ke lo bang, ntar kalau ada waktu, lo mampir ke Surabaya ya bang?," Arga mengangguk. "Jangan kasih tahu siapapun kalau gue pindah kesana." Arga mengangguk dan memeluk Rena untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi.

"Dada bang Gaga. Telepon kita ya bang." ucap Billal.

"Iya adek abang yang ganteng. Kalian jagain Rena ya!" Melvi dan Billal mengangguk lalu menghapus air matanya.

Nana menangisi kepergian Rena, Billal dan Melvi. Bagi Nana dan Galih, mereka bertiga seperti anak mereka sendiri. Arga adalah anak tunggal, jadi hadirnya mereka bertiga merupakan kebahagiaan baginya.

Rena sengaja mengganti nomor hapenya dan tidak memberitahukan nomornya pada siapapun termasuk Arga. Rena ingin melupakan Zidan dan segala kata-kata kasarnya yang melukai hati Rena.

Selamat tinggal Zidan. Batin Rena.

****

Perjalanan darat yang memakan waktu 13 jam itu sangatlah melelahkan bagi mereka. Tapi tibanya mereka di Surabaya, mereka tersenyum bahagia mengamati pemandangan kota Surabaya di subuh hari dengan gemerlap lampu yang masih tersisa.

"Kayaknya kakak bakal betah disini." gumam Rena.

"Melvi juga."

"Adek juga. Iya kan Ma, Pa?" Azalea dan Arsa mengangguk melihat wajah cemberut Billal, saat Melvi mengejeknya.

???

Zidan ditemani kedua orangtuanya dan kedua adiknya dalam satu mobil menuju Jakarta, menuju rumdin Arsa.

"Ingat ya kak, kamu harus minta maaf sama Om Arsa dan Tante Lea juga, kalau perlu sungkem. Awas kamu kalau gak minta maaf sama Mereka juga, Mama coret kamu dari KK!" Ancam Rania.

"Hmm"

"Jawab tegas kak!" murka Rania.

"Iya Ma"

Zidan kembali menatap keluar jendela, menatap lalu lalang kota Jakarta yang tidak pernah lepas dari kemacetan. Zidan sudah berusaha merangkai kata maaf untuk Rena nantinya. Dia bahkan membeli buket bunga untuk Rena sebagai permintaan maafnya.

Mobil Affandi sudah sampai di depan rumah dinas Arsa yang sepi. Zidan melihat sekeliling yang juga sepi. Arga yang baru saja joging berjalan mendekati Zidan.

"Ngapain lo?" Tanya Arga dingin.

"Ketemu Rena, rumahnya sepi?" Tanya Zidan penasaran.

"Rena pindah, dia gak akan gangguin lo lagi selamanya." Arga meninggalkan Zidan yang hanya termenung.

Rena kamu dimana, saya mau minta maaf sama kamu. Batin Zidan.

Rania kembali menjewer telinga Zidan penuh emosi, punya anak Zidan sungguh menguras emosinya.

“Mama mogok bicara sama kamu!.” Rania melenggang masuk ke mobil.

???

Remaja lelaki itu berdiri di depan gedung sekolah barunya. Dia bahkan belum ada niatan untuk  masuk walaupun beberapa murid perempuan berbisik-bisik tentangnya.

Dia bahkan hanya memandang gedung sekolah itu, tanpa berniat untuk masuk sedikit pun. Dia ingin kembali pulang dan bergelung dengan nyaman di bawah selimutnya. Tanpa harus bersusah-susah untuk mengikuti pelajaran pagi ini.

Dia begitu malas harus masuk ke sekolah barunya itu. Dia lelaki yang tampan dengan di anugrahi tinggi badan 175cm. Cukup tinggi bagi remaja seusianya. Dia baru saja pindah beberapa hari yang lalu, karena orangtuanya memilih kembali bekerja di tempat asal mereka.

Dia menoleh ke belakang, merencanakan bolosnya hari ini. Lalu kembali berbalik ke depan dan melihat makin banyak para murid perempuan yang bergosip. Dia menghela napas sejenak, lalu tanpa aba-aba dia berbalik badan segera.

"Aduh,"  ringisnya pelan.

Dia sadar, bahwa telah menabrak seseorang di depannya. Mengangkat wajahnya dan melihat seorang gadis yang membawa kruk, kaki dan tangan gadis itu di gips. Bahkan gadis itu kesulitan  untuk berdiri, dan dia yang merasa bersalah. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya  ke arah gadis di depannya dan langsung membantunya berdiri.

"Astaga Kak, kamu gak papa, 'kan?." Lelaki itu melihat ke arah lelaki di depannya.  "Makasih ya udah bantuin kakakku. Aku Okta." mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

Menjabat tangan Okta. "Langit, kamu?" Memandang ke arah gadis di sampingnya.

"Senja. Makasih udah dibantu berdiri. Ta, aku duluan." Okta hanya mengangguk. Tapi dia mencegah Senja untuk masuk.

"Langit Senja, astaga cocok Kak namanya." Senja tidak menggubris, dia berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Okta yang berkenalan lebih jauh dengan Langit.

Senja berjalan masuk ke gedung sekolah, meninggalkan Okta dan Langit di sana. Langit berpikir sejenak, dari pada dia meladeni Okta yang sksd begini, lebih baik dia masuk menyusul Senja.

Dia melihat Senja mulai kesusahan melangkah saat ada beberapa murid laki-laki menghadang dirinya di sana. Senja tetap tenang tanpa bertanya pada mereka. Langit diam menyaksikan interaksi  Senja dengan segerombolan lelaki di depannya.

"Haiy Senja," sapa mereka. Senja hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Senja saat ini, dia takut jika berdekatan dengan murid lelaki yang menjadi pentolan geng itu.  Hanya beberapa langkah saja dengan Senja. Dia menumpukan lengannya ke bahu temannya.

"Harusnya kamu terima tawaranku aja semalam, biar aku yang antar-jemput kamu, kamu nggak perlu repot-repot naik angkot," ucapnya penuh perhatian.

Senja bahkan hanya tersenyum tipis, dia tidak ingin menjadi pusat perhatian pagi ini.

"Nggak perlu repot-repot. Aku sama Okta kok. Aku duluan ke kelas," pamitnya.

"Aku antar."  meraih tangan Senja. Senja melepaskan pelan tangannya.

"Nggak usah repot-repot Nji, aku bisa sendiri. Aku mau belajar di kelas. Makasih." Tak lupa dengan senyumannya.

"Gus, Ko,  kawal Senja sampai kelas. Aku nggak mau dia sampai jatuh," titah Anji. Senja sudah menatap horor ke arah mereka.

Okta mendekat berbarengan dengan Langit. Okta merangkul bahu Senja, dan menatap ke empat lelaki di depannya.

"Tenang, ada Okta dan Langit di sini. Kak Senja aman," ucapnya jumawa.

"Kamu siapa? Kenapa bisa akrab sama Senja?" tanya Anji penuh selidik pada Langit.

Senja dan Okta saling pandang, mereka berdua tidak mau jika Langit akan kena bully dari geng Anji.

"Dia Langit, sahabat aku di sekolah yang lama." Senja berusaha tersenyum manis agar Anji percaya dan merelakan mereka lewat begitu saja.

Anji terhipnotis oleh senyuman manis Senja. Dia akhirnya membolehkan mereka lewat begitu saja. Senja dan Okta merasa lega.

Dia berbeda, menyelesaikan masalah dengan tenang dan tak lupa dengan senyumannya. Batin Langit.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel