Bab 5: Godaan yang Lebih Terang
Sesi yoga berikutnya, Jaka datang dengan sikap yang berbeda, seolah-olah ia telah menjalani ritual pertobatan di malam sebelumnya. Tidak ada lagi keacuhan yang menyelimuti dirinya seperti kabut tipis; aura pemuda yang santai dan sedikit acuh tak acuh itu kini tergantikan oleh kewaspadaan yang terasa begitu nyata, bahkan menusuk.
Ia tampak tegang, seperti busur yang ditarik kencang, menanti anak panah untuk melesat. Jaka menanti tembakan, menanti isyarat yang tak terucapkan dari sang pelatih yang kini terasa seperti seorang pawang yang ahli. Sinar matahari sore yang menembus jendela besar apartemen Tari menciptakan garis-garis cahaya keemasan yang menari-nari di lantai, seolah-olah menyiapkan panggung untuk sebuah drama yang akan segera dimulai.
Aroma dupa yang lembut berpadu dengan wangi bunga melati yang diletakkan Tari di sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang memabukkan sekaligus menenangkan, sebuah kontradiksi yang mendefinisikan hubungan mereka saat ini. Jaka merasa cemas dan gelisah, tetapi di sisi lain, ia juga merasakan sensasi aneh yang menariknya lebih dalam.
Tari menyadari perubahan itu, dan sebuah senyum kecil terukir di sudut bibirnya. Senyum itu bukan senyum manis yang biasa ia berikan pada kliennya; ini adalah senyum yang hanya ia yang tahu maknanya. Sebuah senyum kemenangan yang halus, seperti senyum seorang ahli catur yang baru saja mematahkan pertahanan lawan.
Jaka sudah termakan umpan. Perubahan sikapnya adalah bukti nyata bahwa strategi Tari berhasil dengan sempurna. Ia tidak lagi harus berusaha keras menarik perhatian Jaka; kini Jaka lah yang datang, membawa seluruh perhatiannya, seluruh pikiran yang kacau balau, dan bahkan ketakutannya.
Jaka sudah menjadi penonton setia, menantikan setiap gerakannya dengan napas tertahan, seperti seorang penjinak ular yang tahu persis bagaimana meliukkan tubuhnya, mengayunkan alat musiknya, agar si ular keluar dari persembunyiannya. Jaka adalah ular itu, perlahan tapi pasti, ia menyerahkan diri pada irama yang dimainkan Tari, sepenuhnya. Tari merasa puas karena rencananya berhasil, dan ia siap untuk melangkah ke tahap berikutnya.
"Hari ini kita akan fokus pada kelenturan tubuh," kata Tari dengan suara tenang, namun matanya menatap mata Jaka lebih lama dari biasanya.
Tatapan itu penuh arti, sebuah janji tersirat akan intensitas yang lebih dalam. Itu bukan hanya intensitas dalam gerakan yoga, melainkan juga dalam interaksi yang tak terucap di antara mereka. Tatapan itu menjanjikan sebuah rahasia, sebuah kode rahasia yang hanya mereka berdua yang bisa memahaminya, terjalin melalui tatapan yang saling mengunci.
Tari menantang Jaka untuk menghadapi dirinya sendiri, untuk melihat ke dalam jiwanya, dan untuk menerima ketegangan yang ada di antara mereka.
Jaka merasakan tatapan itu menusuk sampai ke dalam jiwanya, seolah Tari sedang membedah dirinya tanpa pisau. Ia mencoba membalasnya, mencoba untuk tidak kalah dalam permainan mata yang berbahaya ini, tapi matanya dengan cepat beralih ke matras.
Ia tidak bisa menahan intensitas dari tatapan Tari. Ada kekuatan magnetis di mata wanita itu, yang membuat Jaka merasa telanjang, seolah semua pikirannya yang kacau balau dan jantungnya yang berdebar kencang terbaca dengan jelas. Ia merasa seperti sebuah buku yang terbuka, dan Tari sedang membaca setiap halamannya, membaca setiap kata yang ingin ia sembunyikan rapat-rapat. Jaka merasa malu dan sekaligus terangsang oleh tatapan itu.
Saat Jaka berbaring untuk melakukan gerakan bridge pose, Tari mendekat. Ia tidak menyentuhnya, melainkan berjongkok di sampingnya. Posisinya begitu dekat, Jaka bisa mencium aroma tubuh Tari yang samar, perpaduan wangi lavender dari sabunnya, keringat yang sehat, dan aroma bunga kenanga dari sudut ruangan, aroma yang membuatnya mabuk kepayang.
Kehadirannya begitu kuat, begitu menguasai, hingga Jaka merasa jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti drum yang dimainkan dengan cepat. Ia bisa merasakan hawa panas dari tubuh Tari meskipun tidak ada sentuhan fisik. Panas itu menjalar, membakar setiap saraf Jaka, dari ujung kaki hingga ujung kepala, meninggalkan jejak sensasi yang asing, sensasi yang memicu gairah yang terpendam.
"Angkat pinggulmu lebih tinggi," bisik Tari, suaranya pelan dan serak, langsung menusuk ke telinga Jaka, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. "Rasakan otot-otot di bagian belakang tubuhmu bekerja, dari paha sampai punggung bawah." Jaka merasakan bisikan itu bagaikan sihir yang menggerakkan tubuhnya.
Jaka melakukan apa yang Tari katakan. Ia mengangkat pinggulnya lebih tinggi, merasakan setiap tarikan otot, setiap serat yang meregang.
"Bagus," bisik Tari lagi. "Tahan... rasakan sensasinya. Sensasi otot yang bekerja keras, sensasi dari setiap napas yang kamu hirup." Suara Tari yang begitu dekat, kata-kata yang ia bisikkan, semuanya menciptakan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Itu bukan hanya soal yoga, bukan hanya soal instruksi, tapi juga tentang Tari yang memegang kendali penuh atas situasi, atas Jaka. Ia bukan lagi sekadar instruktur; ia adalah konduktor, dan Jaka adalah orkestranya, bergerak sesuai keinginannya, menari di bawah irama yang dimainkan Tari.
Jaka menyadari ia telah menyerahkan kendali, dan anehnya, ia tidak keberatan sama sekali. Ia seperti boneka yang menuruti setiap tarikan tali dalangnya, merasa anehnya nyaman di bawah kendali itu, seolah ia memang ditakdirkan untuk menjadi milik Tari.
Setelah sesi yoga selesai, Jaka dengan cepat mengambil tasnya. Ia tahu ia harus pergi. Ia tidak bisa berada di ruangan yang sama dengan Tari lebih lama lagi. Kehadiran wanita itu terlalu kuat, terlalu menggoda, dan ia takut akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri, takut akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan ia sesali.
Ia merasa seperti seorang yang berada di ambang jurang, dan satu langkah lagi ia akan terjatuh. Namun, alih-alih merasa takut, ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik, ingin tahu bagaimana rasanya jatuh ke dalam jurang itu.
Namun, saat ia akan pergi, Tari memanggilnya. "Tunggu, Jaka." Tari berjalan ke arah Jaka, langkahnya tenang namun penuh kuasa, setiap langkahnya seperti sebuah pernyataan.
Di tangannya, ia memegang sebotol air mineral dingin yang berembun, seolah-olah ia telah membaca pikiran Jaka bahwa ia sangat membutuhkannya.
"Ini," katanya, menyerahkan air itu pada Jaka. "Kamu terlihat sangat berkeringat. Minumlah."
Jaka menerima air itu. Tangan mereka bersentuhan. Jaka bisa merasakan tangan Tari yang dingin, tapi matanya tidak bisa beralih dari mata Tari. Tari tidak tersenyum, tapi di matanya ada gairah yang sulit disembunyikan, sebuah api yang menanti untuk dinyalakan, sebuah janji tentang kenikmatan yang belum terjamah.
"Terima kasih," bisik Jaka, suaranya serak. Ia merasa tenggorokannya kering, bukan karena kelelahan, tapi karena kegugupan yang merayap naik. "Sama-sama," jawab Tari, suaranya seperti bisikan angin musim panas. "Sampai ketemu lagi."
Saat Jaka meninggalkan apartemen Tari, ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu, seolah ia baru saja menyelesaikan lari maraton. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ia tahu, ia ingin kembali.
Ia ingin kembali untuk melihat apa yang akan dilakukan Tari selanjutnya. Ia merasa seperti seorang pelaut yang terpikat oleh nyanyian putri duyung, tahu bahwa bahaya menanti di depan, namun tak mampu menahan godaan.
Permainan ini telah bergeser ke level yang lebih berbahaya, lebih mendebarkan, dan Jaka, entah disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari permainan itu, menantikan babak selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia akan menjadi pemenang atau pecundang, tapi yang jelas, ia tidak ingin permainan ini berakhir. Ia ingin menari di atas jurang itu, entah berakhir jatuh atau terbang.
