Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Hujan yang Terjebak

Beberapa hari kemudian, Jaka kembali ke apartemen Tari untuk sesi yoga, menapaki koridor yang terasa familier, namun kali ini diselimuti oleh aura yang berbeda. Suasana di luar sedang tidak bersahabat; awan gelap menggantung rendah seolah menahan beban yang teramat berat, dan angin bertiup kencang, mengayunkan ranting-ranting pohon hingga berderit.

Di dalam apartemen, keheningan terasa lebih pekat dari biasanya, seakan-akan keheningan itu sendiri sedang menantikan sesuatu yang tak terhindarkan. Jaka melihat Tari mengenakan atasan yoga berwarna gelap.

Garis bahunya yang tegas dan lekukan otot yang terbentuk dari dedikasi dan kekuatan seakan memancarkan aura ketenangan yang kuat. Namun, Jaka juga merasakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam diri perempuan itu, sebuah badai yang selama ini tersembunyi di balik ketenangannya.

Sesi yoga dimulai, namun ketegangan menggantung di udara, seakan-akan ruang di antara mereka dipenuhi oleh listrik yang tak terlihat. Tari memberi instruksi, tapi suaranya lebih pelan, lebih dalam, dan Jaka tidak bisa menahan diri untuk terus mencuri pandang ke arahnya.

Ia berusaha fokus pada napas dan gerakan, mengikuti setiap pose dengan presisi yang telah ia pelajari, namun Jaka merasa tubuhnya menegang bukan karena pose yoga, melainkan karena kehadiran Tari yang begitu kuat.

Setiap kali Tari mendekat untuk memperbaiki posturnya, sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik, singkat namun meninggalkan jejak yang membekas. Kehadiran Tari tidak lagi hanya sekadar instruktur yoga; ia adalah magnet yang menarik seluruh perhatian dan kesadaran Jaka, menariknya ke dalam pusaran yang semakin kuat.

Jaka bahkan menyadari aroma khas Tari, perpaduan wangi bunga dan kayu cendana, yang kini menguasai seluruh indranya. Setiap tarikan napasnya menjadi lebih dalam, mencoba menangkap setiap partikel aroma itu, seolah itu adalah satu-satunya udara yang bisa membuatnya bertahan.

Ketika sesi selesai, Jaka segera mengambil tasnya, merasa perlu untuk segera pergi, untuk melarikan diri dari ketegangan yang semakin mencekiknya. Ia merasa seperti seorang pelaut yang kapalnya akan karam, dan satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan melompat ke air dingin yang menakutkan.

Namun, saat ia membuka pintu, angin kencang disertai suara guntur menggelegar. Disusul oleh hujan deras yang turun dengan cepat, seakan-akan langit tak sanggup lagi menahan air mata yang telah lama ia simpan. Hujan itu turun begitu ganasnya, memukul-mukul jendela kaca seakan ingin menerobos masuk, sebuah manifestasi dari badai yang dirasakan Jaka di dalam hatinya. Jaka tertegun, menatap tirai air yang memisahkan dirinya dari dunia luar, dan ia tahu, jalan keluar telah ditutup.

"Sepertinya kamu tidak bisa pulang sekarang," kata Tari, suaranya tenang, namun Jaka bisa menangkap nada tertentu di dalamnya. Bukan nada simpati, melainkan semacam... kepuasan.

Senyum tipis yang tak kentara tersungging di bibir Tari, seakan ia sudah menduga atau bahkan mengharapkan momen ini. Senyum itu terasa seperti kail yang menarik Jaka kembali ke dalam ruangan, sebuah kail yang ia sadari sudah tertancap jauh di dalam hatinya sejak lama.

Jaka menoleh, melihat Tari berdiri beberapa langkah darinya, kedua tangannya terlipat di dada. Hujan turun begitu deras hingga airnya memercik di balik jendela kaca, menciptakan tirai buram yang memisahkan mereka dari dunia luar, mengunci mereka berdua dalam sebuah dunia kecil yang hanya milik mereka.

"Terjebak, ya," gumam Jaka, kalimat itu keluar dari mulutnya dengan rasa yang campur aduk: sedikit frustrasi, tapi anehnya, lebih banyak rasa lega. Seperti seorang pelari yang mencapai garis akhir, ia merasa lelah tapi sekaligus puas. Ia tidak lagi harus melarikan diri. Takdir telah memutuskan, dan ia menyerahkannya dengan sepenuh hati.

Tari mengangguk. "Tunggu saja di sini. Hujan tidak akan lama," ucapnya sambil melangkah ke ruang tengah, lalu duduk di sofa. Gerakannya anggun dan tanpa ragu, seolah ia adalah pemilik penuh dari situasi ini, ratu dari kerajaan yang baru saja terbentuk.

Jaka kembali masuk, merasa canggung. Ia duduk di sofa di seberang Tari, membiarkan tasnya jatuh begitu saja di sampingnya.

Tidak ada lagi matras yoga atau instruksi. Hanya ada mereka berdua, terperangkap di dalam apartemen yang terasa semakin sempit, seolah dinding-dindingnya perlahan mendekat, memaksa mereka untuk semakin dekat.

Suara hujan yang jatuh ke jendela menjadi satu-satunya suara di antara mereka, mengiringi detak jantung Jaka yang berdetak tak karuan, irama yang kini menjadi satu-satunya bahasa yang ia mengerti.

Jaka menunduk, mencoba menenangkan dirinya, namun pandangannya tak sengaja jatuh pada kaki telanjang Tari yang terlipat di bawahnya, kuku-kuku jarinya yang bersih dan terawat, sebuah detail kecil yang membuatnya merasa semakin intim.

Ia bisa mendengar Tari yang sibuk di dapur, suara air mengalir dan denting cangkir. Namun, ia tidak berani menoleh. Ia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah jebakan yang tak terhindarkan, namun anehnya, ia tidak ingin keluar.

Seolah jebakan ini justru adalah tempat yang selama ini ia cari, tempat di mana ia bisa jujur dengan perasaannya sendiri. Di sinilah, di tengah ketidakpastian, ia menemukan sebuah kepastian yang tak tergantikan.

Tari kembali dengan dua cangkir teh hangat. Aroma jahe dan rempah-rempah tercium begitu kuat, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hujan di luar.

Ia meletakkan salah satunya di meja kecil di hadapan Jaka, lalu duduk di sofa di seberangnya. Keheningan kembali merayap, namun kali ini terasa berbeda. Ini bukan lagi keheningan yang tegang, melainkan keheningan yang nyaman namun penuh makna, seolah mereka berdua sedang berkomunikasi tanpa kata, melalui tatapan, melalui napas yang saling bertemu di udara.

Keheningan ini adalah sebuah kanvas kosong yang kini siap dilukis dengan warna-warna baru, warna yang selama ini tak pernah mereka sadari keberadaannya.

"Kamu suka teh, Jaka?" tanya Tari, memecah keheningan, suaranya lembut, seperti bisikan.

Jaka mengangguk, tatapannya tak pernah lepas dari Tari. "Suka," jawabnya, suaranya serak.

Ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang, sebuah mimpi yang kini menjadi kenyataan.

"Aku membuat teh jahe. Ini bisa membuatmu hangat," ujar Tari, menyodorkan cangkir teh itu sedikit lebih dekat ke arah Jaka.

Tari menyesap tehnya, sementara mata Jaka terus menatapnya. Ia merasa terhipnotis oleh perempuan itu. Matanya yang teduh namun penuh rahasia, wajahnya yang tenang namun menyimpan gairah yang terpendam, dan aroma teh yang memenuhi ruangan, semuanya menciptakan suasana yang intim.

Jaka melihat setiap gerak-gerik Tari: cara dia memegang cangkir, cara bibirnya menyentuh tepi cangkir, cara matanya sesekali melirik ke arahnya. Semua detail itu terasa begitu penting, begitu bermakna, seolah setiap gerakannya adalah sebuah kalimat yang hanya bisa dimengerti oleh Jaka.

Hujan di luar kini terdengar lebih lembut, seperti sebuah melodi yang mengiringi detak jantung mereka. Jaka merasakan kehangatan dari cangkir tehnya, namun kehangatan yang paling ia rasakan adalah dari kehadiran Tari.

Saat itu, ia menyadari. Ia bukan hanya tertarik pada Tari, ia terobsesi. Ia tidak tahu bagaimana atau kapan ini dimulai, tapi ia tahu ini nyata dan tak terhindarkan. Dan ia tahu, di balik ketenangan Tari, ada gairah yang sama besarnya dengan dirinya, sebuah gairah yang selama ini hanya menunggu momen yang tepat untuk terungkap.

Hujan yang deras di luar, yang awalnya terasa seperti penghalang, kini justru menjadi saksi bisu dari pengakuan tak terucap di antara mereka, sebuah pengakuan yang jauh lebih dalam dan bermakna daripada kata-kata.

Jaka mengambil cangkirnya, menghirup aroma jahe yang menenangkan, dan memberanikan diri untuk kembali menatap mata Tari. Tari membalas tatapannya, dan untuk pertama kalinya, Jaka tidak melihat ketenangan semata di mata itu, melainkan sebuah percikan, sebuah janji, sebuah awal dari sesuatu yang baru.

Sebuah awal yang menjanjikan sebuah perjalanan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya, sebuah perjalanan yang kini ia nantikan dengan penuh kerinduan. Jaka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan pernah mau melarikan diri dari jebakan yang indah ini.

Ia akan membiarkan dirinya tenggelam, larut, dan menemukan rumah di dalam pusaran yang diciptakan oleh kehadiran Tari. Ia akan menjadi bagian dari hujan yang terjebak itu, dan ia akan selamanya bersyukur atas badai yang membawanya pulang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel