
Ringkasan
----------- WARNING!!!!! ----------- NOVEL INI BERGENRE 21++ DENGAN DESKRIPSI SEKSUAL EKSPLISIT DAN KONTEN KEDEWASAAN. TIDAK DITUJUKAN UNTUK PEMBACA DI BAWAH UMUR. JIKA ANDA BELUM CUKUP UMUR, SILAKAN MEMBACA NOVEL LAIN. ----------------- ----------------- Tari, 40 tahun, adalah instruktur yoga pribadi yang memikat, memiliki tubuh ideal, wajah tenang, dan aura sensual yang sulit ditebak. hidup dari dunia eksklusif para klien kaya. Ia terbiasa memegang kendali, baik dalam tubuh, emosi, maupun hubungan. Tapi segalanya mulai bergeser ketika Jaka, 21 tahun, putra salah satu kliennya, ikut latihan karena terpaksa. Tidak tertarik, tidak terpesona dan justru itu yang membuat Tari terusik. Ketidaktertarikan Jaka memancing sisi liar dalam diri Tari. Ia mulai bermain halus: koreksi postur yang terlalu dekat, tatapan saat keringat menetes, kalimat-kalimat godaan yang menggantung. Jaka bertahan dalam sikap dinginnya, tapi tarik-menarik itu makin intens. Hingga satu malam hujan deras, ketika mereka terjebak berdua di apartemen Tari, batas-batas terakhir akhirnya runtuh. Yang tersisa hanyalah hasrat yang selama ini dipendam dalam diam. Apa yang Jaka kira hanya fantasi semalam berubah menjadi kecanduan mematikan. Tari tidak hanya menginginkan seks. Ia ingin Jaka tunduk dalam gairahnya.
Bab 1: Matras Yoga dan Aroma Lilin
Tari menyalakan tiga lilin aromaterapi di sudut ruangan. Nyala api kecil itu menari-nari, memantulkan bayangan samar pada dinding putih. Aroma lavender yang menenangkan dan sandalwood yang hangat mulai menyebar, beradu dengan wangi matras yoga yang bersih dan segar.
Sebuah perpaduan aroma yang sengaja ia ciptakan untuk mengisi ruangannya dengan ketenangan—seolah-olah ketenangan itu adalah aroma yang bisa dibeli dan disemprotkan.
Ia melipat tangannya di dada, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Satu napas, ia melepaskan keraguan tentang pilihan hidupnya. Dua napas, ia menyingkirkan bayangan masa lalu yang kelam. Tiga napas, ia menegaskan sosok yang akan ia tampilkan untuk dunia: Tari sang guru yoga yang tenang, terkendali, dan sempurna. Ini adalah ritualnya, pintu gerbang menuju sosok yang ia ciptakan dan ia sembunyikan di baliknya.
Kehidupan di apartemen mewah ini terasa sempurna: tenang, teratur, dan terkontrol. Setiap detail, mulai dari letak bantal di sofa hingga jadwal klien, semuanya sudah ia atur dengan presisi. Dinding putih bersih, lantai kayu maple yang hangat, dan perabot minimalis yang dipilih dengan cermat—semua berbicara tentang ketertiban yang ia dambakan.
Apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal; ini adalah bentengnya, tempat ia bisa menjadi diri yang ia inginkan, bebas dari kekacauan dunia luar yang pernah ia alami. Klien-kliennya datang dan pergi, membayar mahal untuk kedamaian yang ia berikan, dan Tari merasa puas. Mereka melihatnya sebagai sosok yang ideal, dan ia menyajikan apa yang mereka inginkan.
Bel apartemen berbunyi, dan Tari membuka pintu dengan senyum profesionalnya yang sempurna, seolah sudah dilatih ribuan kali. Senyum itu tidak menjangkau matanya, namun cukup untuk membuat orang lain merasa disambut.
Di baliknya, ada perhitungan dan analisis. Ia membaca Ratih, klien barunya, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaian branded, tas Hermes di tangan, dan rambut yang ditata rapi—semuanya menjeritkan status sosialita yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan.
"Halo, Ratih. Jaka sudah datang?" sapanya ramah.
Ratih, dengan tatapan yang sedikit lelah namun dipaksakan ceria, tersenyum sumringah.
"Sudah. Dia di dalam mobil, sebentar lagi naik. Dia agak rewel, tapi maklum lah, anak zaman sekarang. Selalu saja ada yang tidak beres."
Nadanya terdengar pasrah, seolah sedang membicarakan masalah kecil yang tidak penting, bukan tentang anaknya sendiri. Ini adalah pengakuan pasif bahwa ia telah gagal, dan ia menyerahkan tanggung jawab itu pada Tari.
"Tidak masalah," jawab Tari, menenangkan. "Ajak saja masuk. Saya sudah siapkan semuanya." Suaranya mengalir seperti air tenang, dirancang untuk meredam kekhawatiran dan menawarkan janji solusi instan. Ia tahu Ratih tidak mencari guru yoga, tapi sosok yang bisa memperbaiki putranya yang dianggap 'rusak'.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dengan suara 'ding' yang halus. Sosok pemuda jangkung dengan kaus hitam longgar yang terlihat usang dan celana jeans robek di lutut keluar. Kontrasnya dengan apartemen Tari yang serba bersih sangat mencolok, seperti noda tinta pada kanvas kosong.
Jaka tampak seperti dipaksa ke sana, seperti boneka yang digerakkan oleh tali tak kasat mata. Wajahnya datar, seolah semua emosi telah dicabut darinya. Pandangannya lurus ke depan, dan ia berjalan di belakang ibunya dengan langkah malas, seolah setiap langkah adalah beban. Usianya baru 21 tahun, tapi bahu lebarnya seolah menopang beban dunia.
"Ini Jaka," kata Ratih, menempatkan tangan di punggung anaknya. Gerakan itu terasa lebih seperti mendorong daripada merangkul, seolah ia sedang mengarahkan objek yang tidak punya kehendak sendiri. "Mulai hari ini, dia akan latihan yoga bersamamu. Buat dia semangat, ya, Tari. Dia butuh sesuatu untuk menyalurkan energinya."
Tari mengangguk, sorot matanya menelusuri Jaka. Ia melihat lebih dari sekadar penampilan luar. Ia melihat seorang pemuda yang tubuhnya adalah sebuah selubung, dan di dalamnya, ada sesuatu yang bergejolak, terkunci. Matanya yang dingin dan kosong seolah-olah melindungi badai di baliknya.
"Tentu." Ia menatap Jaka. Wajah pemuda itu memang tampan, dengan garis rahang tegas dan hidung mancung, tapi matanya dingin, seolah kosong dari kehidupan. Tidak ada sedikit pun ketertarikan, bahkan rasa ingin tahu. Jaka hanya meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangan ke jendela apartemen, seolah pemandangan kota di bawah sana—jalanan yang ramai, gedung-gedung pencakar langit—jauh lebih menarik daripada dirinya.
Ini bukan pertama kalinya Tari bertemu pria yang tidak tertarik padanya. Dalam profesinya, ia sering bertemu klien pria yang mencoba mendekatinya, memintanya makan malam, atau sekadar mencoba memancing perhatian.
Namun, sikap Jaka terasa berbeda. Ada ketidaktertarikan yang jujur, bukan pura-pura untuk menarik perhatian. Hal itu justru memicu sesuatu dalam diri Tari—sebuah tantangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Jaka adalah teka-teki yang menarik. Ia memiliki dinding yang jauh lebih tebal dari dinding apartemennya.
Setelah Ratih pamit dengan janji akan kembali menjemput, Tari mengajak Jaka masuk ke ruang yoga yang didominasi warna krem dan cokelat. "Silakan ambil matras. Kita mulai dengan peregangan ringan untuk melemaskan otot-ototmu."
Jaka hanya mengangguk tanpa suara dan mengambil matras paling jauh dari Tari, seperti ingin menciptakan jarak fisik dan emosional di antara mereka. Ia duduk, membungkuk, dan mengikat tali sepatunya yang longgar, sebuah gerakan yang terasa seperti upaya untuk mengalihkan perhatian dari Tari. Tari membiarkannya. Ia tahu, paksaan hanya akan membuat Jaka semakin menarik diri.
Sesi yoga pun dimulai dengan keheningan, hanya ada suara napas yang teratur, gesekan kain, dan instruksi lembut dari Tari. Tari melihat setiap gerakan Jaka. Tubuhnya atletis, kuat, namun kaku. Ada energi terpendam di balik kekakuan itu, seperti pegas yang terlalu lama ditarik dan siap untuk meledak.
Ia bisa merasakan aura kegelisahan yang memancar dari tubuh pemuda itu, sebuah frekuensi yang hanya bisa ia tangkap. Jaka bukan hanya kaku secara fisik, tapi juga secara mental dan emosional. Ia terkunci.
Di tengah sesi, Jaka melakukan posisi downward dog dengan salah. Punggungnya membungkuk dan pinggulnya terlalu rendah. Tari mendekat. Ia berjongkok di belakang Jaka, meletakkan tangannya di pinggang pemuda itu untuk membetulkan posisinya.
"Punggungmu harus lebih lurus," bisiknya, suaranya pelan dan menenangkan, berusaha untuk tidak mengagetkannya. "Dorong pinggulmu sedikit ke atas."
Tangan Tari menekan pinggang Jaka dengan lembut, tapi disengaja, memberinya tekanan yang cukup untuk merasakan respons dari tubuh Jaka. Jaka terdiam. Tari bisa merasakan panas yang luar biasa dari tubuh Jaka, panas yang mencerminkan gejolak dalam dirinya.
Dan Jaka bisa merasakan sentuhan dingin tangan Tari yang tiba-tiba terasa begitu lama, seperti membeku di kulitnya. Hawa dingin itu menyebar dari titik sentuhan Tari hingga membuat bulu kuduknya merinding, memicu sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan. Sensasi itu adalah kehadiran orang lain, sentuhan yang bukan paksaan, melainkan tuntunan.
Untuk pertama kalinya, Jaka tidak acuh tak acuh. Matanya melebar sedikit, napasnya tertahan. Ekspresi datarnya sedikit retak, menampakkan kilasan kejutan. Jaka memejamkan mata, seolah berusaha mengabaikan sensasi yang ia rasakan.
Tari menyeringai dalam hati. Permainan baru saja dimulai. Ia menarik tangannya dengan perlahan, meninggalkan jejak panas yang membekas di kulit Jaka, sebuah tanda yang tak terlihat.
"Lebih baik," bisiknya pelan. Ia berdiri, kembali ke matrasnya, dan melanjutkan sesi dengan senyum tipis yang tak terlihat oleh Jaka.
Senyum itu bukan lagi senyum profesionalnya yang sempurna, melainkan senyum seorang pemenang. Ia tahu, di balik dinding es Jaka, ada api yang bisa ia nyalakan. Ia hanya perlu menemukan korek yang tepat.
