Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Tamu Tak Terduga

Beberapa hari kemudian, saat rona jingga mulai menyelimuti kota dan semilir angin sore menerpa, membawa aroma petrichor sisa hujan kemarin, sebuah pesan masuk ke ponsel Tari. Pesan itu dari Ratih, dan isinya membuat Tari mengernyitkan dahi. Permintaan itu tidak biasa, bahkan terkesan ganjil.

Ratih memintanya untuk datang ke rumahnya sore itu untuk sesi yoga, padahal selama ini para klienlah yang selalu datang ke apartemen Tari. Sebuah firasat aneh menyelinap dalam benak Tari, seperti bisikan angin yang membawa pertanda tak terduga, sesuatu yang akan mengubah alur ceritanya. Meskipun demikian, ia tetap mengiyakan, didorong oleh rasa penasaran yang membara akan apa yang akan terjadi.

"Andi tidak ada di rumah, kan?" tanya Ratih lagi melalui pesan singkat. "Aku mau kenalkan kamu dengan Bram dan Arya. Mereka adalah teman-temanku."

Tari mengiyakan. Ia tahu siapa Arya, salah satu kliennya yang berstatus duda, sangat kaya, dan selalu menunjukkan ketertarikan yang tak tersamar padanya. Tari selalu mengabaikan sinyal-sinyal itu, menganggapnya tidak lebih dari godaan yang biasa ia terima dari banyak pria.

Namun, Bram, yang ia kenal hanya sebagai teman Ratih, membuat Tari penasaran. Firasatnya semakin kuat bahwa ini bukanlah sekadar sesi yoga biasa. Undangan ini terasa seperti sebuah jaring yang sedang ditebar, dan Tari, dengan ketajaman nalurinya, menyadari ia sedang diundang untuk masuk ke dalamnya. Bukan sebagai mangsa, melainkan sebagai pemain utama. Ia menyambut tantangan itu, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.

Sore itu, mobil Tari membelah lalu lintas kota yang padat, membawanya menuju kawasan elit. Saat ia tiba di depan gerbang, kemegahan rumah Ratih menyambutnya. Nuansa kemewahan dan keanggunan begitu terasa, dari arsitektur modern yang memadukan kaca dan baja hingga taman yang tertata rapi.

Interiornya dipenuhi karya seni mahal dan furnitur minimalis. Namun, Tari, dengan pesonanya sendiri, tidak tenggelam di dalamnya. Ia tetap anggun dan berwibawa, mengenakan pakaian olahraga yang sederhana namun elegan, perpaduan sempurna antara kenyamanan dan gaya. Tari masuk, seolah-olah ia adalah seorang ratu yang baru saja kembali ke kerajaannya sendiri, tidak terintimidasi oleh kemewahan di sekitarnya.

Ratih menyambutnya dengan senyum lebar yang memancarkan kehangatan, matanya berbinar penuh antisipasi. Ia lalu memperkenalkan Tari pada dua tamunya. Bram, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam yang penuh wibawa dan karisma, sosok yang terbiasa memimpin dan dihormati.

Di sampingnya, Arya, yang terlihat begitu santai namun penuh percaya diri, seakan dunia ada di dalam genggamannya. Keduanya tampak tertarik dengan Tari, tatapan mereka mengikuti setiap gerakan Tari, seolah-olah Tari bukanlah sekadar wanita, melainkan sebuah mahakarya yang harus dipelajari.

"Ratih banyak cerita tentangmu," kata Arya, suaranya lembut namun penuh intrik, mengarahkan pandangannya langsung ke mata Tari. "Aku sering melihatmu di kafe dekat apartemenmu, tapi baru kali ini bisa mengobrol dan berkenalan secara langsung."

Tari hanya tersenyum tipis. "Terima kasih," jawabnya singkat namun ramah, tanpa memberikan ruang untuk pembicaraan lebih lanjut. Ia tahu, Arya sedang mencoba untuk memancingnya, dan Tari tidak akan mudah terjebak.

Bram menimpali, suaranya tenang namun berbobot, setiap katanya terasa penting. "Aku dengar kamu membuat anak Ratih jadi rajin berolahraga. Itu pencapaian yang hebat, mengingat Jaka tidak pernah tertarik dengan hal-hal seperti itu sebelumnya."

Tari mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya, bangga akan pencapaiannya. "Jaka memang pemuda yang cerdas. Dia hanya butuh sedikit motivasi dan arahan yang tepat," jawabnya, sedikit membanggakan pencapaiannya. Ia merasa berhasil, tidak hanya sebagai instruktur, tetapi juga sebagai seseorang yang mampu membuka pintu baru bagi Jaka.

Saat percakapan berlanjut, Ratih, dengan nada penuh kebahagiaan dan kelegaan, membahas tentang Jaka. "Jaka sekarang jadi lebih sering di rumah. Tidak seperti dulu, dia selalu pergi entah ke mana dan jarang sekali bicara denganku. Entah bagaimana, ia menjadi lebih terbuka."

Ratih tidak tahu bahwa perubahan itu justru disebabkan oleh Tari. Ia tidak tahu bahwa ia telah menjadi jembatan bagi Jaka untuk menemukan sisi lain dari dirinya, sisi yang lebih berani dan bersemangat. Tari tersenyum dalam hati, menikmati rahasia kecil yang hanya ia yang tahu. Ia merasa menjadi pusat dari semua perubahan ini, dan ia menikmati kekuasaan itu.

Di tempat lain, Jaka sedang mengerjakan tugas kelompoknya di sebuah kafe kampus yang ramai, dikelilingi oleh hiruk pikuk mahasiswa dan aroma kopi yang memenuhi ruangan. Pikirannya melayang jauh, fokusnya terpecah antara materi kuliah dan bayangan Tari.

Ia memikirkan senyum Tari yang menawan, suara lembutnya yang menenangkan, dan tatapan matanya yang penuh misteri. Sinta, teman satu kelompoknya, duduk di seberangnya, memperhatikan perubahan pada Jaka. Ia adalah gadis yang cerdas dan tajam, tidak ada yang luput dari pengawasannya.

"Jaka, aku perhatikan kamu aneh. Kamu sering melamun dan senyum-senyum sendiri," kata Sinta, memecah keheningan di antara mereka. Matanya menatap Jaka dengan intens, mencoba membaca pikirannya.

Jaka berusaha mengabaikannya, pura-pura fokus pada laptopnya. "Enggak aneh kok," jawabnya, berusaha menyembunyikan kebenaran yang mulai terasa sesak di dadanya. Perasaannya pada Tari mulai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekaguman.

"Terus kenapa kamu sekarang sering yoga?" tanya Sinta lagi, nadanya penuh selidik. "Bukan seperti kamu banget. Dulu kamu selalu menganggap yoga itu membosankan."

Jaka terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tahu Sinta mengenalnya dengan baik, lebih dari teman-teman lainnya. Sinta bisa melihat menembus kebohongannya. "Ibuku yang maksa," jawab Jaka singkat, sebuah kebohongan yang ia gunakan sebagai perisai untuk menutupi perasaannya.

Sinta tidak percaya. Matanya menyipit, mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan Jaka. "Kamu suka sama instruktur yoganya?" tanya Sinta, suaranya pelan, namun terdengar sangat tajam, seperti sebuah anak panah yang melesat tepat sasaran. Pertanyaan itu tepat mengenai inti perasaannya. Jaka terdiam. Pikirannya kosong, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak bisa menjawab.

"Enggak," kata Jaka akhirnya, berusaha mengendalikan suaranya yang bergetar. "Enggak ada apa-apa. Kamu terlalu berlebihan."

Sinta hanya mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu. Namun, di dalam hatinya, ia tahu. Ada sesuatu yang terjadi pada Jaka. Sesuatu yang ia tidak tahu, dan itu membuatnya penasaran dan khawatir. Ia merasa Jaka sedang berada dalam bahaya, bahaya emosional yang bisa menghancurkannya.

Saat Tari kembali ke apartemennya, keheningan menyambutnya. Keheningan yang tidak lagi terasa sepi, melainkan penuh dengan bayangan dan pikiran. Ia memikirkan tentang Arya dan Bram, dua pria yang jelas-jelas tertarik padanya.

Namun, perhatian mereka tidak lagi berarti baginya. Perhatiannya kini hanya tertuju pada satu orang. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Jaka, sosok pemuda yang telah mengubah segalanya dalam beberapa pertemuan singkat. Ia penasaran, apakah Jaka sedang memikirkannya sama seperti ia memikirkan Jaka? Apakah ia juga merasakan getaran yang sama, ketertarikan yang tak terelakkan?

Tari tahu, hubungan mereka akan segera berubah. Tidak akan ada lagi batasan antara instruktur dan klien. Jaring yang ia tebar sudah mulai menjeratnya kembali. Ia tidak sabar menunggu saat-saat itu tiba. Permainan yang ia mulai akan semakin rumit, semakin berbahaya, dan semakin mendebarkan.

Ia tahu, ia sedang bermain dengan perasaan orang lain, namun ia tidak bisa berhenti. Jaka adalah tantangan yang ia cari, sebuah teka-teki yang ia ingin pecahkan. Ia tahu, ini hanyalah awal. Permainan ini baru saja dimulai, dan ia siap untuk bermain. Ia siap untuk terperangkap, dan ia tahu, Jaka akan menjadi satu-satunya yang bisa membebaskannya dari permainannya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel