Bab 3: Sentuhan yang Dirahasiakan
Hari berikutnya, Jaka kembali ke apartemen Tari. Kali ini, ia datang sendirian, tanpa kehadiran Rio yang biasanya menjadi penengah antara dirinya dan kecanggungan. Jaka tetap mengenakan topeng acuh tak acuh yang telah ia kuasai, sebuah tameng untuk menyembunyikan badai emosi yang bergejolak di dalam hatinya.
Namun, Tari, dengan kepekaannya yang tajam, bisa merasakan ada sedikit celah dalam topeng itu. Jaka tidak lagi datang dengan malas-malasan, ia datang tepat waktu, seolah ada magnet tak terlihat yang menariknya ke sana, ke tempat di mana ia merasa paling bingung dan paling hidup.
Sesi yoga dimulai. Tari memberikan instruksi, suaranya tetap tenang dan profesional. Namun, bagi Jaka, suara itu tidak lagi sekadar instruksi, melainkan melodi yang kini mulai menghipnotisnya. Ia mengikuti setiap gerakan dengan patuh, namun matanya sesekali melirik Tari.
Ia mencari sesuatu—sebuah petunjuk, sebuah konfirmasi, sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mulai menggerogoti pikirannya.
Saat Jaka melakukan posisi warrior pose dengan salah, Tari kembali mendekat. Gerakannya anggun, namun penuh dengan tujuan. Ia berdiri di belakang Jaka, meletakkan tangannya dengan lembut namun pasti di pinggang pemuda itu untuk membetulkan posisi.
Sentuhan itu tidak lagi terasa asing, melainkan sesuatu yang Jaka nantikan, meskipun ia tidak berani mengakuinya.
"Punggungmu lurus, tapi pinggulmu sedikit miring," bisik Tari, suaranya yang rendah tepat di telinga Jaka. Sebuah bisikan yang terasa seperti sebuah rahasia, sebuah kode yang hanya mereka berdua yang tahu.
Tangan Tari kali ini tidak hanya menekan, tetapi juga mengusap lembut. Jaka merasakan sensasi yang aneh dan membingungkan, sebuah kehangatan yang menjalar dari pinggangnya hingga ke tulang belakang. Sensasi itu membakar dan mendinginkan pada saat yang bersamaan, seperti dua kutub yang saling tarik-menarik dalam dirinya. Ia mencoba untuk tidak bereaksi, mencoba menekan setiap gejolak, namun napasnya tertahan.
Jantungnya berdetak tak karuan, sebuah irama yang kini menjadi satu-satunya suara di dalam kepalanya, menenggelamkan semua instruksi yoga yang lain. Ia tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya melayang, fokusnya hanya pada sentuhan itu, sentuhan yang terasa disengaja.
Setelah membetulkan posisi Jaka, Tari menjauh, seolah tidak terjadi apa-apa, seolah sentuhan itu hanyalah bagian dari rutinitas, sebuah ilusi yang ia ciptakan dengan sempurna.
Namun, Jaka tahu. Ia merasa ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang disengaja. Sentuhan itu bukanlah sekadar koreksi, melainkan sebuah pesan, sebuah tanda yang hanya bisa ia artikan. Tari sedang memainkan sebuah permainan, dan Jaka, tanpa sadar, telah masuk ke dalamnya.
Malam harinya, Jaka bertemu dengan teman-temannya di sebuah kafe. Suasana kafe yang ramai seharusnya bisa mengalihkan pikirannya, namun tidak. Ardi dan Rio sedang membahas rencana liburan mereka, tawa mereka bergema di telinga Jaka, namun ia tidak mendengarnya. Sinta duduk di seberang Jaka, diam-diam memperhatikannya, mencoba membaca apa yang ada di dalam pikiran pemuda itu.
"Lo kenapa, sih, Jak?" tanya Ardi, menyenggol bahu Jaka. "Mikirin tugas?"
Jaka menggeleng. "Enggak."
"Mikirin cewek, ya?" ledek Rio, menyeringai. "Jangan bilang lo naksir Tari, instruktur yoga lo itu?"
Jaka hanya terdiam. Lidahnya terasa kelu. Ia tidak bisa berbohong, tapi juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Bayangan Tari kembali muncul di pikirannya. Ia memikirkan tangan Tari yang mengusap pinggangnya, bisikan Tari yang tepat di telinganya. Semua itu terasa begitu nyata, begitu nyata hingga ia bisa merasakannya lagi, sensasi panas yang menjalar di tubuhnya. Ekspresi diamnya sudah menjadi jawaban bagi Rio dan Ardi.
"Wah, parah, lo! Cepat juga ya, langsung kena pesonanya," timpal Ardi.
"Emang kenapa kalau gue naksir dia?" Jaka akhirnya membalas, suaranya lebih keras dari yang ia harapkan, membuat Rio dan Ardi terdiam.
Sinta, yang sedari tadi hanya diam, kini angkat bicara. "Jaka, lo tahu kan dia udah nikah?"
Kata-kata Sinta bagaikan tamparan keras. Tiba-tiba saja, semua sensasi indah yang ia rasakan menguap, digantikan oleh rasa bersalah dan malu yang mendalam. Ia merasa bodoh, merasa seperti anak kecil yang bermain dengan api tanpa tahu konsekuensinya. Ia hanya bisa menunduk, tidak bisa menatap mata Sinta, yang terlihat khawatir.
Di sisi lain kota, di sebuah restoran mewah, Tari sedang makan malam dengan suaminya, Andi, dan pasangan lain. Sepanjang percakapan, Tari terlihat anggun dan berwibawa.
Ia menanggapi setiap obrolan dengan cerdas dan tenang. Ia tersenyum, tertawa, dan menjadi pusat perhatian di meja itu. Tidak ada yang tahu, di balik ketenangan itu, ia sedang memikirkan Jaka, memikirkan bagaimana sentuhan kecil itu berhasil membuat pemuda itu terdiam, sebuah bukti bahwa permainannya berjalan sesuai rencana.
Saat makan malam usai, Andi memegang tangan Tari. "Kamu terlihat sangat bahagia hari ini, Sayang."
Tari hanya tersenyum. "Aku selalu bahagia bersamamu," jawabnya, sebuah kebohongan manis yang ia ucapkan dengan begitu meyakinkan. Kebahagiaannya bukan karena Andi, melainkan karena Jaka, karena sensasi ketegangan yang ia rasakan saat berada di dekatnya. Sensasi itu memberinya adrenalin, memberinya kehidupan.
Tari kembali ke apartemennya, tapi pikirannya masih melayang pada Jaka. Ia tahu, Jaka mulai terperangkap. Perasaan yang ia tanamkan akan mulai tumbuh dan Jaka tidak akan bisa menghindarinya lagi. Permainan ini akan segera menjadi lebih menarik. Ia tahu, Jaka adalah tantangan yang ia cari, sebuah teka-teki yang ia ingin pecahkan.
Pagi itu, saat Jaka bangun, ia menemukan dirinya kembali memikirkan Tari. Ia merasa aneh, cemas, namun juga bersemangat. Ia memutuskan untuk membuka ponselnya, mencari akun media sosial Tari. Ia ingin melihat lebih banyak tentang perempuan itu, lebih dari sekadar instruktur yoga yang profesional.
Ia menemukan beberapa foto Tari dengan suaminya, Andi, yang terlihat begitu bahagia. Jaka merasa ada rasa aneh yang muncul di dadanya. Apakah itu cemburu? Ia tidak tahu. Ia hanya merasa ada sesuatu yang tidak adil, seolah ia terlambat, seolah ia tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
Namun, ia juga melihat foto-foto Tari saat melakukan yoga, saat ia tertawa, saat ia bepergian. Di foto-foto itu, Tari terlihat begitu bebas dan hidup. Jaka merasa tertarik, bukan hanya pada Tari sebagai instruktur, tetapi pada Tari sebagai seorang perempuan, sebagai seorang individu yang penuh misteri.
Jaka menyadari, ia mulai terobsesi. Obsesi itu bukanlah sesuatu yang ia cari, melainkan sesuatu yang datang dengan sendirinya, merayap ke dalam pikirannya, menguasai setiap sudutnya. Ia tidak bisa lagi hanya melihat Tari sebagai instruktur yoga. Ia melihatnya sebagai sebuah misteri yang harus ia pecahkan, sebuah teka-teki yang ia ingin selesaikan. Ia tahu, ini berbahaya. Ia tahu, ia sedang bermain dengan api. Tapi, api itu terasa begitu hangat, begitu menarik, hingga ia tidak bisa menolak godaannya.
Malam itu, Jaka memberanikan diri. Ia mengirim pesan singkat pada Tari. "Terima kasih untuk sesi yoganya hari ini."
Tari membalasnya. "Sama-sama. Kamu sudah lebih baik."
Pesan itu terasa singkat, namun bagi Jaka, itu adalah sebuah isyarat, sebuah konfirmasi bahwa ia tidak salah. Ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang tak terucap, tak terjelaskan, namun terasa begitu nyata. Ia tahu, ini hanyalah awal. Permainan ini baru saja dimulai, dan ia siap untuk bermain. Ia siap untuk terperangkap, dan ia tahu, Tari akan menjadi satu-satunya yang bisa membebaskannya.
