Bab 2: Antara Kampus dan Kenangan yang Mengganggu
Setelah sesi yoga yang berakhir dengan terburu-buru, Jaka segera bergegas keluar, seolah ada api yang membakar di belakangnya—bukan api sungguhan, melainkan api yang membakar ketenangan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, bercampur dengan kelembapan sisa dari gerakan-gerakan yoga yang intens. Ia nyaris tidak berpamitan pada Tari, hanya mengangguk kecil, sebuah gestur minimalis yang menguras seluruh energinya. Begitu berada di dalam lift yang dingin dan sunyi, jantungnya berdebar kencang, dentumannya terasa memekakkan telinga.
Ia mengusap pinggangnya, di mana jejak sentuhan Tari masih terasa, sebuah sensasi dingin yang diikuti kehangatan aneh. Rasanya seperti anomali yang tak bisa ia jelaskan, sebuah sinyal dari dunia luar yang berhasil menembus benteng pertahanannya.
"Aneh," bisiknya pada diri sendiri, suaranya pelan dan penuh keraguan, memantul di dinding lift yang berkilauan.
Selama ini, ia hidup dalam gelembung ketidakacuhan yang ia ciptakan sendiri. Ia adalah sebuah pulau yang terisolasi, dikelilingi lautan kebisuan yang tenang. Namun, Tari baru saja menjejakkan kaki di pantainya, meninggalkan jejak yang tak bisa ia hapus.
Jaka merasa dunianya yang teratur kini sedikit terguncang, seakan ada gempa kecil yang melanda bentengnya yang kokoh. Gelombang-gelombang kecil mulai menerpa pantainya, mengikis sedikit demi sedikit pasir yang ia gunakan untuk membangun dinding.
Bayangan wajah Tari, senyumnya yang tenang, dan tatapannya yang dalam, terus berputar di benaknya, mengganggu ketenangan yang selama ini ia jaga mati-matian. Ia tidak pernah mengerti bagaimana satu sentuhan bisa mengacaukan seluruh sistem pertahanannya.
-
Esoknya di kampus, Jaka kembali ke kehidupannya yang biasa, atau setidaknya ia mencoba. Ia bertemu dengan Ardi dan Rio di kantin, tempat yang biasanya menjadi pelabuhan aman dari segala hiruk pikuk. Namun, hari ini, tempat itu terasa berbeda.
Meja kayu yang biasa ia duduki terasa asing, suara bising mahasiswa lain seperti dengungan yang mengganggu, sebuah melodi yang tidak lagi selaras dengan pikirannya. Ia mencoba fokus pada percakapan teman-temannya, tapi pikirannya terus melayang kembali ke apartemen yang dipenuhi aroma lilin dan ketenangan yang mengganggu.
"Gimana, Bro? Udah jadi guru yoga?" ledek Ardi, cengirannya melebar, penuh dengan nada menggoda yang biasa. Ia mengambil kentang goreng dari piring Jaka tanpa izin, sebuah kebiasaan yang biasanya tidak Jaka pedulikan. "Pasti banyak cewek-cewek seksi di sana, kan?"
Jaka hanya menggeleng. "Biasa aja," jawabnya singkat, menghindari tatapan Ardi.
Ia tidak ingin berbagi detail tentang Tari. Ada sesuatu yang terlalu pribadi dari pengalaman itu, sesuatu yang hanya menjadi miliknya.
Sesuatu yang ia jaga rapat-rapat dari dunia luar. Ia merasa, jika ia membaginya, keanehan itu akan menjadi nyata, dan ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Ini adalah sebuah rahasia yang ia peluk erat, seperti harta karun yang tidak boleh diketahui siapa pun. Sentuhan Tari adalah rahasia paling berharga yang ia miliki sekarang.
"Masa?" timpal Rio, menyenggol bahu Jaka. "Yang penting ibu lo seneng, kan? Lumayanlah, siapa tahu dapet kenalan baru." Rio, seperti biasanya, selalu mencoba melihat sisi positif dari setiap situasi, sebuah sifat yang kadang Jaka kagumi dan kadang Jaka benci.
Jaka mengangguk, mencoba mengakhiri pembicaraan. "Ya, begitulah." Ia tidak yakin apakah ibunya senang, atau hanya merasa lega karena ia menuruti keinginannya.
Ia juga tidak mencari "kenalan baru." Baginya, hubungan adalah sesuatu yang ia hindari, karena ia tahu, hubungan membutuhkan keterbukaan, dan keterbukaan adalah sesuatu yang sudah lama ia kunci rapat-rapat, dan kuncinya ia buang ke dasar samudra yang paling dalam.
Ia mencoba melupakan sentuhan Tari, tapi bayangan itu terus menempel, seperti wangi lilin yang masih tercium di pakaiannya, sebuah wangi yang tidak bisa ia hilangkan.
Di tengah obrolan, ia melihat Sinta dan Vania, teman-teman kampusnya, sedang berjalan menghampiri mereka. Sinta, yang diam-diam menyukai Jaka, tersenyum cerah. Jaka menyadarinya, tapi ia selalu berpura-pura tidak. Ia tahu Sinta akan mencoba memancingnya ke dalam percakapan, mencoba mencari celah untuk masuk ke dalam dunianya.
"Tugas Pak Hadi udah selesai, Jak?" tanya Sinta, suaranya lembut, mencoba menarik perhatian Jaka. Jaka melihat sorot mata Sinta yang penuh harap, sebuah ekspresi yang selalu berhasil membuatnya merasa tidak nyaman.
"Udah," jawab Jaka singkat, pandangannya lurus ke depan, ke arah pintu kantin. Ia tidak ingin memberi Sinta harapan yang tidak bisa ia penuhi.
Baginya, Sinta hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang mencoba menembus dindingnya, dan ia sudah terlalu terbiasa menolak.
Ia adalah penjaga benteng yang sangat protektif, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun masuk.
Ia adalah seorang diri di menara tinggi, sendirian namun merasa aman. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan sebelum bertemu Tari.
Di tengah pembicaraan yang terasa hambar, Jaka melamun. Pikirannya melayang jauh, kembali ke apartemen Tari. Ia membayangkan Tari lagi. Wajahnya yang tenang, suaranya yang lembut, dan sentuhan tangannya yang dingin di pinggangnya.
Ia merasa terganggu, karena ia tak pernah memikirkan wanita seumur ini. Wanita baginya hanyalah sebuah entitas yang jauh, tidak pernah menjadi subjek dari lamunannya. Tapi Tari berbeda. Tari adalah sebuah anomali, sebuah teka-teki yang mengganggu ketenangan yang ia ciptakan.
Ia merasa ada dorongan aneh untuk memahami wanita itu, untuk mencari tahu apa yang tersembunyi di balik mata tenangnya, dan alasan di balik sentuhan yang mampu menggetarkan dunianya. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa ada magnet yang menariknya ke arah Tari, sebuah daya tarik yang tak bisa ia jelaskan.
Sementara Jaka bergumul dengan pikirannya, Tari kembali ke apartemennya. Sunyi dan damai, seperti biasanya. Ia mengganti pakaiannya, meletakkan matrasnya kembali di sudut ruangan, dan menyalakan lilin aroma lagi, kali ini bukan untuk klien, melainkan untuk dirinya sendiri.
Ia duduk di sofa, memejamkan mata, dan mencoba membersihkan pikirannya. Namun, kali ini, yang muncul bukanlah kekosongan yang ia dambakan, melainkan wajah Jaka yang datar dan mata yang penuh dengan badai yang terkunci.
Tari merasa tergelitik. Ia terbiasa dengan klien yang datang kepadanya dengan segala beban emosionalnya, mencari kedamaian dan ketenangan. Mereka adalah buku terbuka yang siap ia baca.
Tapi Jaka berbeda. Jaka datang dengan benteng yang dibangun kokoh, dengan segala keraguan dan penolakannya yang terasa begitu nyata. Itu membuat Tari penasaran.
Ia merasa tertantang untuk membongkar benteng itu, melihat apa yang ada di baliknya. Ia ingin tahu, apa yang membuat Jaka begitu defensif, dan mengapa sentuhannya memiliki dampak yang begitu kuat padanya.
Sentuhan itu, yang ia lakukan secara naluriah untuk membantunya, ternyata memicu sesuatu yang tak terduga.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka, dan suaminya, Andi, pulang dari perjalanan bisnis. Andi adalah sosok yang sangat sukses, tampan, dan perhatian, tapi kesibukannya membuatnya sering bepergian, meninggalkan Tari sendirian di bentengnya yang sempurna.
"Halo, Sayang," sapa Andi, mencium kening Tari. "Kamu baik-baik saja, kan? Aku kangen banget."
Tari membalas pelukan suaminya, senyumnya kali ini terasa lebih asli, sebuah topeng yang ia pakai dengan sangat sempurna.
Ia mencintai Andi, tapi cinta itu terasa... teratur. Seperti jadwal kliennya, seperti perabotan di apartemennya. Semuanya sempurna, tapi tanpa kejutan. "Tentu," jawab Tari. "Aku baik-baik saja."
Andi menceritakan perjalanannya dengan semangat, sementara Tari mendengarkan dengan seksama, mengangguk di saat yang tepat, dan memberikan respons yang diharapkan.
Namun, pikirannya tidak sepenuhnya di sana. Ia membayangkan Jaka. Ia penasaran, apakah Jaka juga memikirkannya? Apakah sentuhan kecil itu meninggalkan jejak yang sama seperti yang ia tinggalkan pada dirinya? Apakah Jaka, dengan segala bentengnya, juga merasakan getaran yang sama?
Di malam hari, setelah Andi tertidur lelap di sampingnya, Tari menerima pesan dari Ratih, teman dekat dan orang yang memperkenalkan Jaka padanya.
"Tari, aku senang Jaka mau latihan yoga. Dia bilang... 'lumayan'."
Tari tersenyum kecil dalam kegelapan. Itu bukan pujian, tapi itu lebih dari yang ia harapkan. Itu adalah celah kecil di dinding es Jaka.
Itu adalah sebuah pembukaan. Permainan ini baru saja dimulai, dan Tari tahu ia memegang kendali penuh. Ia bukan hanya guru yoga; ia adalah pemecah teka-teki, dan Jaka adalah teka-teki paling menarik yang pernah ia temui.
Ia penasaran, apa yang akan terjadi jika dinding es itu runtuh? Ia tidak sabar untuk mencari tahu. Ia merasa, di balik dinding itu, ada sesuatu yang jauh lebih menarik daripada dunia teratur yang ia jalani sekarang. Ia siap untuk petualangan ini.
Tari memejamkan mata, membiarkan bayangan Jaka muncul kembali. Malam itu, ia tidak mencari kekosongan, tapi justru menikmati kehadiran bayangan yang mengganggu itu.
