Bab 5 Cafe Estetik
Hari Minggu pagi, Nafa berdiri di depan cermin dengan pakaian paling ‘normal’ yang tersisa, kaus pink hasil tragedi laundry dan celana jeans sedikit belel. Sambil mengikat rambut ke atas, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa aku deg-degan cuma mau ikut Ardi kerja, sih?”
Ardi sudah menunggu di depan pintu dengan ransel kameranya, mengenakan hoodie hitam dan wajah yang lebih rapi dari biasanya. “Siap?”
“Siap... deg-degan.”
“Hah?”
“Siap deg-degan karena takut kamu lupa jalan, makanya aku ikut,” jawab Nafa cepat, menghindari topik perasaan.
Kafe yang mereka datangi terletak di sudut jalan kecil, tersembunyi di balik pohon-pohon rindang dan mural warna pastel. Nama kafenya: Kopi Pelangi. Estetik banget. Ada ayunan rotan, tanaman gantung, dan lampu gantung dari botol sirup daur ulang.
Nafa berkeliling sambil memotret dengan HP seken-nya. Ardi sibuk memotret dengan kameranya, tapi sesekali melirik ke arah Nafa. Momen saat Nafa tertawa melihat gelas berbentuk kelinci, atau saat dia pura-pura naruh bantal di kepala, semuanya... diam-diam direkam Ardi dalam bidikan diamnya.
Sampai akhirnya—
“Ardi?”
Suara lembut itu datang dari balik meja kasir.
Ardi dan Nafa sama-sama menoleh. Seorang perempuan dengan tampilan sederhana tapi elegan berdiri di sana. Rambut pendek, kulit bersih, senyum tenang.
“Vanya?” gumam Ardi pelan.
Nafa menoleh cepat. “Mantan?”
Vanya berjalan mendekat. “Aku nggak nyangka banget ketemu kamu di sini. Kamu motret buat kafe ini juga?”
“Iya… baru mulai project-nya,” jawab Ardi, canggung.
Nafa berdiri di belakang Ardi, mencoba bersikap santai, padahal jantungnya mulai naik-turun kayak harga cabai.
Vanya tersenyum. “Wah, seneng lihat kamu masih di dunia fotografi. Dan... ini siapa?” katanya sambil melirik ke arah Nafa.
“Oh, ini Nafa. Dia... teman serumahku.”
“Teman serumah?” Mata Vanya sedikit membesar. Tapi ia cepat kembali tersenyum. “Hebat juga kamu, Di. Dulu bahkan pelihara kaktus aja kamu takut tanggung jawab.”
Nafa menahan tawa. Oke, itu fakta lucu yang menyegarkan.
Vanya akhirnya pamit, dan Ardi kembali ke kamera. Tapi sejak itu, Ardi agak diam. Tatapannya lebih banyak kosong. Fokusnya buyar.
Nafa mendekat. “Kamu masih mikirin dia?”
Ardi menoleh cepat. “Hah? Enggak. Cuma... ya, kaget aja. Dulu kami pisah baik-baik. Tapi kadang, ngeliat orang dari masa lalu bikin kamu sadar... siapa yang bener-bener ngisi hari kamu sekarang.”
Nafa mengangguk pelan. Tapi sebelum bisa menjawab, Ardi menyodorkan kameranya.
“Lihat ini,” katanya.
Di layar kamera, ada foto candid dirinya... sedang memotret Nafa yang tertawa di dekat jendela, tertimpa cahaya lembut dari lampu gantung. Foto itu... indah sekali. Seperti bukan hanya menangkap momen, tapi juga perasaan.
“Ini fotonya bagus,” kata Nafa pelan.
Ardi menatapnya dalam-dalam. “Bagus, karena kamu di dalamnya.”
Deg.
Nafa buru-buru berpaling. “Kamu... emang gombalnya natural banget, ya.”
“Tapi ini serius.”
Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Hanya suara sendok dan cangkir dari pelanggan lain, dan degup jantung yang tak bisa diredam.
Dan mungkin, di kafe kecil itulah, untuk pertama kalinya…
Nafa sadar: dia nggak cuma numpang tinggal di hidup Ardi.
Dia mulai jadi bagian penting di dalamnya.
Hari itu, Nafa bangun dengan semangat aneh. Bukan karena cuaca cerah atau Si Gimbal akhirnya mandi sendiri (itu belum terjadi). Tapi karena hari ini adalah... ulang tahunnya.
Tapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, Nafa tidak merayakan. Ia tidak terbiasa membuat heboh soal tanggal lahirnya. Sejak merantau, ulang tahun lebih sering dilewati dengan mie instan dan scroll Instagram diam-diam sambil lihat kue orang lain.
Ia sengaja tidak memberitahu Ardi.
Namun yang tidak Nafa tahu adalah… Ardi tahu.
Lewat curhatan suara Nafa di malam-malam sebelum tidur yang terekam di memori otaknya. Ardi tahu tanggalnya, bahkan tahu bahwa tahun lalu Nafa menangis sendirian di kamar kost karena ibunya lupa mengucapkan selamat.
Maka pagi itu, Ardi bertingkah biasa. Bercanda seperti biasa. Makan sarapan terbakar seperti biasa. Bahkan mengejek kaus pink Nafa seperti biasa.
Dan Nafa... berpikir memang tak akan ada yang spesial hari ini.
Sampai sore menjelang.
"Naf, aku dapat project foto mendadak buat pre-wedding outdoor. Mau nemenin? Sekalian bantuin bawa properti?”
Nafa, yang sedang meratapi mie kering di piring, mengangguk. “Ya udah. Mau nyendok-nyendok udara juga percuma.”
***
Mereka berdua sampai di sebuah taman kota yang cukup sepi. Ardi sibuk mengatur kamera, tapi Nafa mulai curiga.
“Kok nggak ada pasangan pre-wedding-nya?”
“Belum datang,” jawab Ardi.
Nafa menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Masih sepi.
Dan saat dia hendak bertanya lagi—lampu taman tiba-tiba menyala, dan dari semak-semak muncul... balon. Banyak.
Nafa mematung.
Dari balik pohon, Ardi keluar dengan kue kecil yang terlihat seperti hasil buatan tangan (karena agak miring dan bagian atasnya goyang-goyang).
"Selamat ulang tahun, Nafa."
Nafa menutup mulutnya. “Kamu… tahu?”
Ardi mengangguk, canggung. “Aku pura-pura sibuk hari ini karena pengen bikin kamu senyum. Aku tahu kamu nggak suka ribut, jadi... cuma ini. Balon pinjeman dari warung sebelah, dan kue bikin sendiri dari resep YouTube. Yang penting... kamu nggak sendiri tahun ini.”
Nafa menatap Ardi, matanya berair. “Ardi... ini ulang tahun paling... aneh dan paling manis yang pernah aku punya.”
Si Gimbal muncul entah dari mana, dengan pita merah di lehernya dan stiker “Happy B-Day” nempel di pantat.
“Dan kamu bawa Gimbal juga?!”
“Dia yang minta ikut,” kata Ardi. “Katanya kamu nggak boleh tiup lilin tanpa ‘agen rahasia’.”
Nafa tertawa di antara tangis harunya.
Dia meniup lilin di atas kue miring itu.
"Semoga..." bisiknya dalam hati. "Aku bisa tinggal lebih lama di hidup ini... di hidup dia."
***
Namun seperti hidup pada umumnya, setelah kejutan datanglah... tantangan.
Besoknya, Ardi mendapat kabar bahwa project terbarunya membuat dokumentasi untuk pelatihan fotografi selama satu bulan di luar kota resmi dimulai.
“Jadi... kamu bakal pergi sebulan?” tanya Nafa lirih.
Ardi mengangguk. “Iya. Tapi aku belum tahu harus gimana. Aku nggak mau ninggalin kamu sendirian di sini.”
“Tenang aja,” sahut Nafa cepat, pura-pura santai. “Aku udah pernah tinggal sendiri. Aku akan baik-baik saja.”
Tapi senyumnya... tidak seterang biasanya.
Dan Ardi melihat itu.
Dan Nafa tahu, dia akan merindukan pagi-pagi penuh keributan, malam-malam berdebat soal rasa mie instan, dan... tatapan Ardi yang diam-diam mulai menumbuhkan harapan.
