Pustaka
Bahasa Indonesia

Hidup Membawaku Bersamamu

10.0K · Tamat
Ika Nurpitasari
9
Bab
27
View
9.0
Rating

Ringkasan

Nafa, seorang gadis mandiri dari desa kecil, nekat merantau ke kota besar demi mengejar impian menjadi ilustrator profesional. Sayangnya, nasib tak berpihak padanya. Di hari pertamanya menginjakkan kaki di kota Jakarta, ia kehilangan dompet, handphone, dan semua uang di terminal. Tanpa kenalan, tempat tinggal, atau ongkos pulang, Nafa hanya bisa duduk termenung di sudut halte sampai seorang pria asing bernama Ardi datang menawarinya bantuan... dengan syarat aneh: “Tinggallah di apartemenku sampai kamu bisa mandiri. Tapi jangan jatuh cinta padaku.” Ardi, seorang fotografer freelance nyentrik dan berantakan, awalnya hanya merasa kasihan. Namun hidup serumah dengan Nafa ternyata jauh dari kata damai. Dari rebutan kamar mandi, makanan yang gosong, saling sindir di pagi hari, hingga kejadian konyol di dapur—hidup mereka seperti serial komedi situasi. Namun perlahan, tawa demi tawa, pertengkaran demi pertengkaran, mereka mulai menemukan arti kebersamaan yang tidak direncanakan. Di antara mie instan dan tagihan listrik, mereka mulai saling mengisi kekosongan masing-masing. Tapi bisakah cinta tumbuh dari sebuah kecelakaan nasib? Karena kadang, hidup yang berantakan justru membawa kita kepada seseorang yang ternyata... adalah rumah itu sendiri.

MenyedihkanBaik HatiCerita

Bab 1 Pertemuan Aneh

Hujan turun deras saat Nafa duduk memeluk ranselnya di sudut halte terminal Kampung Rambutan. Baju kotornya sudah basah sejak tadi, dan sisa mie instan dari warung sebelah tak mampu mengusir lapar yang lebih banyak datang dari kekecewaan, bukan dari perut.

"Dompet ilang. HP ilang. Ongkos balik nggak ada. Hebat, Na. Baru sehari merantau, kamu udah lulus jadi korban nasib," gumamnya lirih sambil menendang kerikil kecil di dekat kakinya.

Sejak pagi, dia sudah mencoba minta bantuan pada petugas terminal. Tapi apa daya, wajah polos dan logat Jawa halusnya malah membuat orang curiga ia anak kabur dari rumah. Bahkan tukang ojek online pun hanya menawarinya tumpangan sampai jalan besar asal dibayar.

Nafa menatap langit yang makin gelap. Semua orang lewat dengan langkah cepat, membawa payung dan tujuan. Sementara ia sendiri, hanya membawa mimpi dan sedikit harga diri.

Hingga tiba-tiba...

"Eh, kamu ngapain duduk di sini dari tadi?" tanya suara pria, disertai semerbak aroma kopi instan dan roti tawar.

Nafa mendongak. Seorang laki-laki berkemeja flanel, rambut acak-acakan seperti habis bertengkar dengan kipas angin, berdiri di depannya sambil memegang dua plastik kresek.

"Aku...? Nunggu... hujan reda," jawab Nafa gugup, berusaha tampak kuat padahal perutnya mulai berbunyi.

Pria itu mengangkat alis. “Tiga jam nunggu hujan? Hujannya aja udah pindah ke kelurahan sebelah.”

Nafa tak membalas. Matanya lebih tertarik pada plastik berisi roti dan kopi sachet yang digenggam si pria asing. Perutnya auto konser.

Melihat itu, pria itu mendesah. "Gini deh. Kamu lapar, kan?"

Nafa menelan ludah. “...Enggak,” bohongnya.

“Ya udah, kalo nggak lapar, rotinya buat aku aja,” jawab pria itu enteng. Tapi lima detik kemudian, ia duduk di sebelah Nafa dan membagi roti itu setengah. “Tapi kalau kamu lapar, diem aja dan terima.”

Setengah roti. Setengah harga diri.

Nafa menerimanya dalam diam, mengunyah perlahan dengan mata berkaca-kaca. Pria asing itu menatapnya sebentar lalu bertanya, "Namamu siapa?"

"Nafa..."

"Ardi."

Hening sejenak. Hanya bunyi gerimis dan suara truk lewat yang menemani.

“Aku kehabisan ongkos... dan semuanya,” kata Nafa akhirnya. “Dompet hilang. HP kecopetan.”

Ardi mengangguk pelan. “Jadi kamu sendirian di kota ini?”

“Iya.”

Ardi memandangnya lama. Kemudian, tanpa ekspresi dan tanpa basa-basi, dia berkata,

“Kamu bisa numpang tinggal di tempatku dulu. Tapi ada satu syarat.”

Nafa menoleh cepat. “Apa?”

“Jangan jatuh cinta padaku.”

Nafa tersedak roti.

“Apa?!” teriaknya setengah batuk.

Ardi hanya nyengir. “Bercanda. Tapi serius juga. Hidup bersamaku nggak enak. Aku berantakan. Dapurku sering meledak. Kucing liar numpang tidur. Tapi kalau kamu mau, daripada kamu tidur di halte…”

Nafa terdiam. Hatinya ragu. Tapi perutnya... dan logika hidup... jelas memilih untuk ikut. Untuk sementara.

Dan di sanalah awal dari kisah konyol dua manusia asing, yang dipertemukan oleh kehabisan ongkos, dan tinggal bersama karena... hidup memang kadang tidak punya pilihan logis.

Tapi siapa sangka, dari halte hujan itu... hidup diam-diam sedang menyusun cerita cinta mereka.

***

"Ini... apartemen kamu?"

Nafa memandangi bangunan 5 lantai yang lebih mirip kos-kosan upgrade daripada apartemen yang ada di sinetron. Tangga sempit, cat dinding sedikit terkelupas, dan suara emak-emak teriak dari lantai dua menambah kesan 'rumah banget'.

Ardi mengangguk santai. "Ya, aku nggak bilang apartemen mewah kan?"

Nafa menghela napas. Tapi dibanding halte dan nyamuk yang brutal, tempat ini tetap seperti surga.

Ardi membuka pintu dan membiarkan Nafa masuk lebih dulu. Begitu masuk, Nafa langsung menahan napas. Bukan karena terharu, tapi karena... bau.

"Bau apa ini?!"

Ardi nyengir. "Campuran kopi basi, kaus kaki seminggu, dan... oh, kucingku, Si Gimbal, lagi eek di pojokan."

Nafa menoleh cepat. Seekor kucing gendut dengan bulu berantakan sedang dengan cuek menatapnya dari pojokan dapur. Matanya seperti berkata, “Lu siapa?”

"Astaga..." Nafa menutup hidungnya. “Kamu tinggal kayak gini tiap hari?”

"Biasanya lebih parah," kata Ardi sambil berjalan ke dapur. "Aku cuma beresin sedikit tadi sebelum ke terminal. Biar kesan pertama kamu bagus."

Nafa menatap sekeliling. Di antara tumpukan cucian, kabel charger yang saling melilit seperti mie goreng, dan bantal yang ada di wastafel, dia merasa seperti masuk ke dalam zona perang.

Ardi membuka kulkas, lalu menoleh. “Mau mie instan, nasi dingin, atau telur gosong?”

"Pilihan yang sangat menggoda. Aku pilih… cabut?"

Ardi tertawa lepas. “Santai aja. Besok kita bersih-bersih bareng. Kamu bisa tidur di sofa. Tapi jangan heran kalau Si Gimbal ikut nimbrung di malam hari. Dia suka peluk orang baru.”

Nafa memandang sofa yang penuh remah keripik dan jaket Ardi yang entah kapan dicuci. Tapi dengan lelah yang membungkus tubuh dan mentalnya, dia menyerah.

“Ya udah. Asal nggak ada kecoak yang ikut ngorok, aku oke.”

Malam itu, Nafa tidur dengan hoodie bekas Ardi sebagai selimut dan suara meong-meong Si Gimbal sebagai pengantar mimpi. Rasanya seperti mimpi buruk, tapi juga… agak lucu.

Paginya, kejadian lucu itu berubah jadi kekacauan pertama.

“AAAAAAAAA!!”

Teriakan Nafa mengguncang ruangan. Ardi yang baru saja selesai sikat gigi langsung panik keluar dari kamar mandi.

“Apa?! Ada apa?!”

“AKU MASAK AIR, TAPI AIRNYA NGEBUL TERUS!!”

“…Lah itu emang fungsi masak air, Naf.”

“TERUS INI KOMPOR NGELUARIN API UNGU?! NORMAL NGGAK?!”

Ardi mendekat dan melihat kompor gas portable-nya memang mengeluarkan api agak... mistis. “Yaa... agak dikit ke arah supranatural, sih. Tapi belum meledak kok.”

“AKU NGGAK MAU MATI SEBELUM IMPIANKU TERCAPAI!”

Ardi terkekeh sambil mematikan kompor. “Oke. Mulai sekarang, bagian dapur aku yang pegang. Kamu fokus hal lain aja. Kayak... nyapu, ngepel, atau bikin suasana rumah jadi nggak kayak kapal pecah.”

Nafa mengerucutkan bibirnya. “Kapal pecahnya bukan salahku dong. Ini udah pecah dari lahir.”

Tawa mereka berdua menggema di ruangan kecil itu. Aneh. Dua orang asing, saling sindir sejak pagi, tapi... entah kenapa, tidak merasa sendirian lagi.

Dan mungkin, itulah awal dari kebersamaan yang tak terencana. Bersih-bersih hari itu jadi penuh adu gaya nyanyi sumbang, lemparan kaus kaki, dan... jatuhnya ember di kepala Ardi yang bikin Nafa tertawa sampai air mata keluar.

Karena terkadang, kebahagiaan bukan datang dari tempat sempurna...

Tapi dari seseorang yang bisa membuat hari paling berantakan mu jadi lucu.