Bab 6 Perpisahan Sementara
Hari keberangkatan Ardi datang lebih cepat dari yang Nafa harapkan.
Langit pagi mendung, seperti ikut berat melepas kepergian yang sebulan lamanya itu. Di ruang tamu, koper Ardi berdiri rapi, bersebelahan dengan Si Gimbal yang berguling-guling di sebelahnya seolah ingin ikut masuk ke dalam.
“Gue nitip Gimbal ya,” kata Ardi sambil mengelus kepala kucing gendut itu.
Nafa mengangguk sambil memaksa senyum. “Tenang, gue bakal rawat dia kayak anak sendiri. Kecuali kalau dia mulai nyolong nugget gue lagi.”
Mereka berdua tertawa kecil, tapi suara tawa itu... hampa. Seperti dikeluarkan sekadar formalitas, untuk menutupi kegelisahan yang diam-diam menumpuk.
Ardi memandangi Nafa lama. “Kalau ada apa-apa, kamu langsung kabarin, ya.”
“Iya.”
“Kamu bakal baik-baik aja, kan?”
“Yup. Gue udah jago hidup hemat dan ngelawan kecoa sendirian. Jadi…”
Ardi tersenyum. Tapi kemudian diam. Tangannya menyelipkan sesuatu ke saku hoodie Nafa. “Kalau kangen, buka ini.”
Belum sempat Nafa protes, Ardi sudah berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.
“Naf.”
“Hm?”
“Kamu jaga diri, ya?”
Nafa mengangguk.
Dan pintu pun tertutup.
***
Seisi apartemen mendadak terasa sepi. Padahal biasanya suara Ardi selalu mengisi setiap sudut: entah ocehan soal angle kamera, celotehan soal kopi, atau nyanyian ngawur saat nyuci piring.
Nafa duduk di sofa, menatap ke arah pintu.
Sunyi.
Hingga tiba-tiba, Si Gimbal melompat ke pangkuannya. Di lehernya, ada kalung dengan sepotong kertas kecil terselip.
Nafa membuka lipatannya, lalu membaca:
“Jangan lupa makan. Jangan lupa tidur cukup. Dan jangan lupa... aku udah mulai terbiasa ada kamu.” — Ardi.”
Nafa mendesah panjang. Kali ini tidak bisa menahan senyum sekaligus air mata. “Kenapa sih... lo bikin gue susah nggak suka?”
Ia merogoh saku hoodie. Ternyata di sana terselip flashdisk kecil berwarna biru.
Nafa segera mencolokkannya ke laptop.
Satu folder terbuka: “Untuk Nafa.”
Di dalamnya ada puluhan foto. Semua candid. Semua dirinya. Saat tertawa, saat masak dengan alis berkerut, saat tertidur di sofa sambil peluk bantal. Semua hasil jepretan diam-diam Ardi.
Dan di satu video terakhir, Ardi berbicara ke kamera:
“Kalau kamu lagi buka ini, berarti aku udah berangkat. Jangan sedih ya. Aku pergi bukan buat menjauh, tapi biar aku punya cerita pas pulang. Dan kamu, kamu udah jadi bagian dari cerita yang paling penting. Jangan pergi sebelum aku balik. Please.”
***
Nafa menutup laptop perlahan.
Air matanya jatuh, tapi senyumnya mengembang.
“Gue tunggu kamu pulang, Di.”
Sementara itu, Si Gimbal berdiri angkuh di atas meja, mengeong sekali seolah berkata:
“Tenang. Dia nggak akan ke mana-mana. Gue jaga.”
Tiga hari pertama tanpa Ardi... terasa aneh.
Nafa bangun pagi dan menyadari tak ada suara pintu kamar Ardi yang berderit, tak ada suara air kran bocor yang biasanya ia biarkan mengalir sambil nyanyi lagu '80an, dan yang paling penting adalah tak ada seseorang yang bisa ia lempar bantal kalau mie instan gosong.
Si Gimbal pun terlihat murung. Biasanya si kucing gendut itu akan duduk manja di kaki Ardi saat sore, sekarang ia lebih sering nangkring di depan pintu, seolah menunggu tuannya balik dari warung, bukan dari pelatihan satu bulan di luar kota.
Nafa mencoba mengisi kekosongan itu. Ia mulai rutin menggambar lagi, bahkan mengambil beberapa proyek desain dari klien luar negeri. Tapi... tetap saja ada ruang kosong yang tidak bisa diisi siapa pun. Atau apa pun.
Sampai akhirnya, di hari keempat, pintu apartemen diketuk keras.
TOK TOK TOK!
Nafa, yang baru saja bangun dan masih memakai hoodie Ardi (karena kangen), membuka pintu dengan malas. Tapi detik berikutnya, tubuhnya membeku.
Di depan pintu berdiri seorang laki-laki jangkung, rambut cepak rapi, membawa tas ransel. Wajahnya... sangat familiar.
“Eh… Naf,” katanya dengan senyum tipis. “Inget aku?”
Nafa butuh dua detik untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi buruk.
“Reno?!”
Iya. Reno. Mantan pacar sekaligus mantan penyebab Nafa kabur dari kota asalnya.
“Ngapain kamu di sini?” suara Nafa langsung dingin. Tatapannya berubah siaga, seperti siap menendang tamu tak diundang itu keluar lewat jendela.
“Aku… cari kamu. Dengar-dengar kamu kerja dan tinggal di kota ini. Aku minta alamat ke teman lama kita, dan ya… aku cuma mau ketemu. Ngobrol.”
Nafa menyilangkan tangan. “Ngobrol? Setelah dua tahun? Setelah kamu ghosting kayak jin nggak punya sinyal?”
Reno tertawa canggung. “Aku… aku minta maaf. Waktu itu aku belum dewasa. Sekarang aku balik, dan aku sadar... aku masih mikirin kamu.”
“Lho, kamu pikir aku... nungguin kamu kayak patung Pancoran?” sahut Nafa ketus.
Reno menunduk. “Boleh nggak aku masuk sebentar?”
Nafa ragu. Tapi sebelum sempat menjawab, Si Gimbal muncul di belakangnya.
Dan, seperti punya radar terhadap energi mantan, Si Gimbal langsung mengeong keras, lalu naik ke kaki Nafa dan mencakar lantai depan Reno.
“…Uhh… itu kucing kamu?” tanya Reno ngeri.
“Bukan. Kucing penjaga kosmos. Dia bisa baca aura orang nggak jelas.”
Si Gimbal menatap Reno seperti mau bilang: “Satu langkah lagi dan bulu-bulu gue terbang ke wajah lo.”
Akhirnya Nafa membuka sedikit pintu.
“Denger ya, Ren. Aku sekarang tinggal di tempat yang udah nyaman. Aku udah bahagia. Dan orang yang ada di hidupku sekarang meskipun lagi jauh dia nggak pernah bikin aku ngerasa ditinggal.”
Reno mengangguk. “Jadi… kamu udah nemu orang baru?”
Nafa tersenyum tipis. “Iya. Namanya Ardi. Dan walaupun dia nggak tahu cara nyuci kaus kaki yang benar… dia tahu caranya bikin aku ngerasa dihargai.”
Reno tersenyum getir. “Berarti aku terlambat, ya?”
Nafa menutup pintu perlahan. “Iya. Udah sangat terlambat.”
Klik.
Dan saat pintu tertutup, Nafa menunduk menatap Si Gimbal. “Gue bangga sama lo. Kerja bagus.”
Si Gimbal mengeong pelan, lalu berjalan ke dapur dan duduk di depan kulkas.
“Laper ya? Sama. Tapi hati gue kenyang.”
Jam menunjukkan pukul 23:47. Nafa masih duduk di sofa, menatap layar laptop. Tangannya sibuk menggambar karakter ayam pakai dasi untuk klien kafe Korea, tapi pikirannya melayang… ke Ardi.
Belum ada kabar seharian ini. Biasanya, Ardi akan kirim foto random, kadang sendalnya kecemplung lumpur, kadang selfie bareng sapi tetangga lokasi pelatihan. Tapi hari ini, sepi. Dan itu bikin Nafa cemas.
TING!
Laptop Nafa tiba-tiba berbunyi. Muncul notifikasi: “Video Call dari: Ardi”
Dengan jantung yang sedikit melompat, Nafa langsung menerima.
Muncul wajah Ardi, rambut acak-acakan, wajah sedikit kotor tanah, dan latar belakang kamar tidur sempit ala mess pelatihan. Tapi senyumnya… ah, senyum itu bikin semua kerinduan runtuh.
“NAFAAAA!” teriak Ardi lebay, dengan suara pecah.
Nafa tertawa. “Astaga, lo ngagetin! Gue kira video call penting, ternyata suara anak kos kelaperan.”
“Aku emang kelaperan. Kelaperan kamu.”
“…Ardi.”
“Iya?”
“GOMBAL LO NAIK LEVEL.”
Mereka tertawa bersama. Setelah tawa reda, Ardi menatap Nafa lebih tenang.
“Kamu… baik-baik aja di sana?”
Nafa mengangguk. “Yap. Gue dan Gimbal bertahan hidup. Meskipun... ada tamu tak diundang kemarin.”
Ardi mengernyit. “Siapa?”
“…Reno.”
Seketika, wajah Ardi langsung tegang. “MANTAN KAMU?!”
Nafa pura-pura nyeruput teh. “Hmm.”
“Dia ke APARTEMEN?! KENAPA NGGAK KAMU SUMBANGKAN DIA KE PLANET LAIN?!”
“Wkwk, tenang. Gue udah tolak baik-baik. Gimbal juga udah maki-maki dia pake tatapan laser. Santai.”
Ardi mendecak. “Harusnya gue nitipin semprotan lada ke Gimbal.”
Nafa tersenyum hangat. “Tenang, Di. Gue udah beda. Dulu mungkin gampang goyah, sekarang... enggak.”
Ardi mendadak diam. Lalu dengan suara lebih pelan, ia berkata, “Naf... aku kangen kamu.”
Nafa terdiam sejenak, sebelum membalas, “Gue juga.”
“Kayaknya... gue nggak sabar nunggu pulang. Banyak yang pengen aku lakuin bareng kamu. Ngajak kamu makan es krim di taman, nonton film horor bareng meskipun kamu tutup mata terus, dan…”
“…dan?” Nafa menatap layar, menunggu.
“…dan bilang langsung, bukan lewat kucing, bahwa aku bener-bener sayang sama kamu.”
Deg.
Video call itu tiba-tiba jadi terlalu sunyi. Hanya ada suara napas dan tatapan yang bertemu lewat layar. Dunia seakan mengecil, tinggal dua wajah dan satu koneksi hati.
Setelah beberapa detik yang panjang, Nafa berdeham pelan.
“Ardi…”
“Iya?”
“Nanti kalau lo pulang... gue beliin nugget dinosaurus spesial.”
Ardi tertawa lepas. “Oke. Tapi abis itu, gantian gue yang kasih kejutan.”
“…kejutan apa?”
“Rencana balas dendam.”
“…maksud lo?!”
“Balas dendam ke Reno. Tapi versi elegan: pamerin pacar baru gue yang super lucu, super ngeselin, dan super bisa nyuci baju warna pink.”
Nafa menutup wajahnya dengan bantal sambil tertawa malu. “Ardi… sumpah ya…”
“Jangan sumpahin. Peluk aja nanti.”
Sambungan itu diakhiri dengan senyum yang tertahan dan janji tak diucap, tapi terasa.
Dan malam itu, Nafa tidur dengan hoodie Ardi yang masih bau kopi… sambil memeluk Si Gimbal, yang sepertinya juga kangen.
