Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Misi Rahasia

“Gue masih nggak percaya,” gumam Ardi, mondar-mandir di ruang tamu sambil memegangi kepala. “Si Gimbal baru aja kirim pengakuan cinta… pakai HP gue!”

Nafa hanya duduk di sofa, memeluk bantal sambil berusaha menahan tawa. “Yang bikin lebih nggak masuk akal… isi pesannya jujur banget. Jadi, kamu emang suka aku?”

Ardi berhenti jalan.

Menatap Nafa.

Lalu buru-buru pura-pura batuk dan berjalan ke dapur. “Eh, kamu mau teh manis? Aku bikin ya! Teh, gula… air… hidup…”

“ARDI.”

“Ya?”

“Jawab.”

Ardi menatapnya lama. Tapi sebelum ada jawaban, bel berbunyi.

TING TONG.

Nafa dan Ardi saling pandang.

“Kamu pesan paket?”

“Enggak. Kamu?”

“Bukan.”

Mereka sama-sama berjalan ke pintu. Saat Ardi membukanya muncullah seorang perempuan cantik dengan rambut sleek dan lipstik merah marun, membawa kotak berisi kue cokelat.

“Hi, Ardi.”

“…Dita?”

Dita masuk tanpa izin, senyum manis tapi tajam. “Aku di sekitar sini, dan kupikir… kenapa nggak sekalian mampir? Ibumu bilang kamu tinggal sendirian, tapi…”

Dia melirik ke arah Nafa. “Ternyata, nggak sendirian ya?”

Nafa berdiri canggung. “Hai, aku Nafa.”

“Teman?”

“Teman… serumah,” jawab Nafa mantap.

Ardi masih berdiri kikuk seperti orang kena salah jurusan.

Dita meletakkan kotak kue di meja. “Ini aku bawain kue. Homemade, pakai dark chocolate dan... sedikit dendam.”

“Sedikit dendam?” tanya Nafa pelan.

“Ya. Kan cowok yang menolak aku dengan alasan ‘tidak ingin menjalin hubungan dulu’ ternyata tinggal bareng cewek dan bilang... suka dia. Dalam bentuk pesan yang diketik pakai—siapa? Kucing?”

Ardi langsung menunjuk Si Gimbal. “Dia pelakunya. Liat mukanya. Nggak ada penyesalan.”

Si Gimbal memang sedang duduk santai, menjilat ekornya dengan angkuh seperti biasa.

Dita mendesah, lalu menatap Ardi serius. “Ardi, kamu tahu nggak? Kalau kamu jujur dari awal, aku mungkin bisa menghargai kamu lebih.”

“Dit, aku juga baru nyadar... aku nyesel bikin kamu nunggu. Tapi yang aku rasain sekarang itu... nggak bisa aku bohongin.”

Dita menoleh ke arah Nafa. “Kamu beruntung.”

Nafa tersenyum kikuk. “Tergantung, sih. Kadang dia nggak ganti handuk seminggu.”

Ardi nyengir. “Hei!”

Dita tertawa. Untuk pertama kalinya, tulus. “Ya sudah, aku pulang. Makan kuenya ya. Tapi awas, mungkin agak pahit. Seperti kisah cinta kita.”

Setelah Dita pergi, Nafa dan Ardi berdiri saling menatap, canggung tapi... penuh makna.

“Jadi,” kata Nafa pelan. “Si Gimbal udah ‘nembak’ buat kamu, ya?”

Ardi nyengir. “Kayaknya gitu. Tapi... kalau aku nembak sendiri, boleh nggak?”

Nafa diam sejenak, lalu memeluk Si Gimbal. “Tergantung. Kamu berani lawan agennya dulu?”

Si Gimbal mengeong pelan, lalu menatap Ardi tajam seolah berkata, “Berani jatuh cinta sama manusia ini? Konsekuensinya berat.”

Ardi tertawa. “Deal. Aku siap.”

Dan malam itu, di antara tumpukan kue cokelat pahit, tatapan kucing penuh intrik, dan dua manusia kikuk yang mulai jujur dengan perasaannya bahwa mereka akhirnya mulai menyadari…

Hidup memang lucu. Tapi jatuh cinta dalam kekacauan? Itu lebih lucu… dan indah.

Sabtu pagi datang seperti biasa matahari belum terbit tinggi, suara tukang sayur dari kejauhan, dan Nafa yang sedang panik karena...

“ARDI! BAJU-BJU AKU SEMUA WARNA PINK!!”

Ardi keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan, masih menguap. “Hah? Kenapa kamu ngomong kayak habis nonton horor?”

“Karena ini horor! Semua bajuku yang putih... sekarang pink! Kayak korban cuci bareng BH merah!”

Ardi mengangkat alis, lalu perlahan... menatap ke arah Si Gimbal yang sedang duduk di keranjang laundry dengan ekspresi puas.

“…Kamu nyuci bareng baju aku yang ada daleman merahnya?”

Ardi mengangkat tangan. “Itu bukan salahku! Aku cuma bantu masukin baju ke mesin! Aku pikir warna-warna pastel cocok digabung!”

Nafa mendekat, menodongkan satu kaus pink cerah. “Ini dulu kaus putih. PUTIH. Sekarang warnanya kayak balon ultah.”

Ardi menahan tawa. “Tapi lucu, kok. Kamu cocok warna pink. Kayak... marshmallow.”

Nafa melempar kaus itu ke mukanya. “Satu kata lagi, aku nyuci kamu juga.”

Setelah insiden laundry pink itu, Nafa memutuskan membuat misi balas dendam diam-diam. Tapi bukan ke Ardi tapi ke dalang sebenarnya yaitu Si Gimbal.

“Gimbal, kamu harus bertanggung jawab. Mulai hari ini, kamu aku latih jadi agen rahasia.”

Ardi yang sedang edit foto di laptop melirik. “Dia aja naik tangga masih ngesot, Naf.”

“Bukan naik tangga, tapi menyusup. Ada beda fungsi!”

Misi Nafa hari itu sederhana yaitu melatih Si Gimbal agar bisa membawa pesan kecil di kalungnya dan ‘mengantarkan’ pesan-pesan diam-diam ke Ardi, seperti agen mata-mata. Pesan pertama:

“Kapan terakhir kamu nyuci handuk? Tolong, jawab dengan jujur.”

Si Gimbal berhasil membawa kertas kecil itu ke meja kerja Ardi. Tapi sayangnya, bukannya dibaca, pesan itu dimakan.

“GIMBAL!!! Itu bukan snack!!” teriak Nafa.

Ardi tertawa sambil mengelus kepala Si Gimbal. “Dia memang agen, tapi agen anti-surat cinta.”

Nafa menyerah. Tapi melihat Ardi tertawa seperti itu terlihat lepas, tanpa beban, membuat hati Nafa ikut melunak.

"Eh, Na," kata Ardi sambil menatap layar laptopnya. "Kamu pengen nggak ikut aku motret besok? Ada project baru, aku diminta fotoin kafe estetik gitu. Sekalian cari inspirasi buat kamu juga."

Nafa menoleh cepat. "Beneran? Tapi aku nggak ngerti soal foto-fotoan."

“Tenang aja. Tugas kamu cuma satu: nemenin aku supaya aku nggak kesasar masuk toilet cewek. Lagi-lagi.”

Nafa menahan tawa. “Kamu ngulang kejadian itu lagi, aku tinggal pura-pura nggak kenal.”

Mereka tertawa bersama.

Dan malam itu, setelah kekacauan laundry dan latihan agen kucing yang gagal, mereka duduk di balkon apartemen, minum teh panas, dengan Si Gimbal di tengah-tengah mereka seperti bos besar.

Di langit, bintang jarang terlihat. Tapi Nafa merasa... hidupnya sedang bersinar. Bukan karena sempurna, tapi karena seseorang di sampingnya selalu membuat segalanya terasa lucu dan berarti.

Kadang, cinta bukan datang dalam bentuk kata-kata indah. Tapi dari tumpukan baju pink dan kucing nakal yang memakan surat cinta.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel