Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Telepon Rahasia

Pagi itu, Nafa terbangun lebih awal dari biasanya. Dia keluar dari kamar sambil menguap, berjalan menuju dapur dengan rambut berantakan seperti mi kusut. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara pelan dari ruang tengah.

Ardi sedang bicara di telepon.

“Iya, Bu… aku baik. Makan teratur kok… Iya, sendirian…”

Hening sejenak.

“Nggak, aku nggak tinggal sama siapa-siapa. Aman.”

Nafa mengerutkan dahi. Hatinya sedikit... nyesek? Entahlah. Tapi yang pasti, mendengar Ardi berkata “sendirian” saat dia sebenarnya satu atap dengan Nafa, bikin dadanya terasa aneh.

Setelah Ardi selesai, dia baru menyadari Nafa berdiri di ambang pintu dapur sambil menatapnya dengan alis terangkat.

“Pagi,” sapa Ardi cepat, sedikit kaku. “Mau kopi?”

“Enggak. Mau penjelasan.”

“Penjelasan soal...?”

“Barusan kamu ngomong di telepon ‘sendirian’. Jadi aku ini apa? Debu kosmik?”

Ardi terdiam. Lalu tersenyum canggung. “Itu ibuku. Dia orangnya gampang panik. Kalau tahu aku tinggal serumah sama cewek, bisa dikira aku diguna-guna.”

Nafa mendesis. “Wow. Jadi daripada dibilang diguna-guna, kamu pilih bohong?”

Ardi berjalan mendekat, mengangkat kedua tangannya seperti mau damai. “Naf, bukan maksudku bohong... aku cuma belum siap. Ibu tuh suka ribet. Bisa-bisa kamu nanti ditanya zodiac, tanggal lahir, sampai suka warna apa. Mending aku pelan-pelan jelasin kalau... kita tinggal bareng tapi bukan apa-apa.”

Nafa mendongak. “Tapi siapa tahu... kita jadi apa-apa?”

Ardi langsung terdiam.

Nafa nyengir. “Bercanda. Santai, aku ngerti kok. Bohongin ibu sendiri itu... memang tradisi nasional.”

Mereka tertawa bersama, dan suasana pun mencair kembali.

Namun, saat siang menjelang, masalah baru muncul.

“Ardi, paket datang,” teriak satpam dari bawah.

Ardi turun, lalu kembali sambil membawa satu kotak besar berisi... rempah, daun salam kering, satu toples sambel, dan tiga bungkus jamu instan.

Nafa menatap bingung. “Ini... apaan?”

Ardi menunjuk label pengirim. “Ibuku. Dia ngirimin ‘bekal biar kamu sehat di ibu kota’. Ini baru pemanasan. Kalau dia tahu kamu tinggal di sini, dia bisa ngirimin kasur gulung, setrika batik, sampai taplak meja renda.”

Nafa tertawa geli. “Aku jadi penasaran. Ibu kamu tuh kayak apa sih?”

Ardi mengangkat bahu. “Ibu yang... cerewet tapi sayang. Dan super protektif. Makanya aku rada takut bilang kalau aku tinggal sama cewek. Apalagi ceweknya cantik, lucu, suka bikin dapur chaos, dan punya daya tarik yang bisa bikin hati laki-laki tergelincir.”

Nafa menahan senyum. “Eh, kamu barusan muji aku atau ngejek?”

“Sedikit dua-duanya.”

Hari itu dihabiskan dengan menata kiriman aneh dari ibu Ardi di dapur. Nafa bahkan bikin eksperimen sup pakai daun salam super banyak hanya karena “sayang dibuang.”

Sore harinya, mereka duduk di balkon kecil, makan sup aneh itu sambil memandangi langit senja.

“Na,” kata Ardi tiba-tiba. “Kalau suatu hari nanti aku bilang ke ibuku soal kamu... kamu oke aja kan?”

Nafa menoleh. “Oke aja kok. Tapi aku juga bakal bilang ke ibu aku… kalau aku tinggal sama cowok yang hobinya naruh kaos kaki di kulkas.”

Ardi langsung tersedak. “ITU SEKALI DOANG!”

Mereka berdua tertawa, dan senja pun berubah jadi malam yang hangat.

Di tengah keanehan hidup, pengakuan setengah hati, dan rempah-rempah dari ibu, rasa nyaman tumbuh semakin dalam.

Karena cinta kadang datang bukan saat kau mencari,

tapi saat kau lagi makan sup daun salam, dan seseorang di sampingmu tersedak karena malu.

Malam itu, Nafa duduk di sofa sambil menggambar di tablet bekas pemberian kakaknya. Salah satu klien online-nya, seorang pemilik kafe kecil di Jogja, meminta desain maskot lucu berbentuk gelas teh. Dengan konsentrasi penuh, Nafa menambahkan mata besar dan pipi merah di gelas itu sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ardi yang lagi mengutak-atik kamera.

Di sudut ruangan, Si Gimbal mendengkur bahagia sambil bergulung di atas jaket Ardi yang belum dicuci tiga hari. Aroma khas “parfum pria sibuk” tampaknya cocok di hidung kucing gendut itu.

Tiba-tiba, HP Ardi berbunyi.

TING!

“Eh, Naf... tolong ambilin HP-ku dong, itu di meja deket kamu,” kata Ardi tanpa menoleh.

Nafa mengambil HP itu dan refleks melihat notifikasinya.

Chat dari: “Ibu”

"Di, jadi nggak kamu ketemu sama anak teman Ibu minggu depan? Namanya Dita, cantik loh. Pinter masak juga. Ibu udah share fotomu ke dia ya~”

Nafa spontan terbatuk.

Ardi menoleh cepat. “Kamu... baca ya?”

“Enggak sengaja! Sumpah. Tapi... siapa Dita?” tanya Nafa sambil menyipitkan mata.

Ardi langsung gelagapan. “Itu... rencana jebakan Ibu. Aku nggak setuju. Ibu pengen aku dijodohin sama anak temennya, katanya ‘daripada kamu tinggal sendirian dan jadi tua di apartemen bau kucing’.”

Nafa memasang wajah datar. “Tapi kamu... belum bilang ke dia kalau kamu udah tinggal sama aku.”

Ardi terdiam. Untuk sesaat, suasana jadi hening.

Si Gimbal tiba-tiba mengeong pelan. Seolah ikut resah.

“Aku akan bilang,” ujar Ardi pelan. “Tapi aku juga belum tahu... kamu bakal tinggal di sini sampai kapan.”

Nafa terdiam. Ia menatap Ardi cukup lama, lalu mendekat, mengambil Si Gimbal dan duduk di sampingnya.

“Aku nggak tahu juga sampai kapan. Tapi selama aku belum dapat kerja tetap dan belum bisa ngontrak sendiri, aku masih butuh... tempat ini.”

Ardi mengangguk. “Dan tempat ini butuh kamu.”

“…Karena kamu nggak bisa masak dan rumahmu kayak kapal pecah?”

“Karena kalau kamu nggak ada, aku bakal makan sambel sachet tiap hari dan lupa kalau dunia ini bisa lucu.”

Nafa tertawa kecil. “Gombal kelas teri.”

“Serius. Sejak kamu di sini, aku ngerasa hidupku lebih hidup. Walau tiap hari berantem, tapi seru.”

Tiba-tiba, terdengar suara centak-centuk aneh dari dapur. Mereka berdua spontan berdiri dan mengintip.

Si Gimbal.

Sedang berdiri di atas meja makan... dan tanpa sengaja menyentuh layar HP Ardi yang terbuka.

TING!

Pesan terkirim.

Nafa menatap layar dan membaca isi pesan yang entah bagaimana, sudah terkirim ke... Dita:

“Maaf, aku nggak bisa ketemu. Aku sudah tinggal sama cewek yang suka gambar dinosaurus dan numpahin kecap di lantai. Dan aku rasa… aku suka dia.”

Ardi membeku.

Nafa membeku.

Mereka menoleh bersamaan ke Si Gimbal.

Kucing gendut itu menguap. Seolah berkata:

"You’re welcome, humans."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel