Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Drama Mantan Pacar Yang Muncul

Pagi ketiga Nafa di “apartemen penuh kejutan” milik Ardi dimulai dengan suara berisik dari dapur.

KRESEK KRESEK KRAK!

“Astagaaa, Si Gimbal nyangkut lagi di rak piring!” teriak Ardi dari dalam dapur.

Nafa, yang baru saja selesai cuci muka dengan sabun yang aroma kopi, langsung berlari.

“Kenapa sih kucing kamu kayak punya misi bunuh diri tiap hari?!”

Si Gimbal dengan elegan meloncat turun, lalu jalan seperti tak terjadi apa-apa. Nafa menatapnya sinis. “Kucing ini kayak punya jiwa drama.”

Ardi tertawa, sambil membuka bungkus mie instan. “Kamu mau makan? Aku masak dua bungkus, kuahnya campur susu biar creamy.”

Nafa menoleh dengan wajah curiga. “Kamu itu masak mie atau eksperimen sains, sih?”

“Dua-duanya,” jawab Ardi bangga.

Tapi baru lima menit mie itu matang, dan Nafa bersiap menyuapkan ke mulut...

TOK TOK TOK!

“Lah, siapa tuh?” gumam Ardi sambil berjalan ke pintu.

Begitu pintu dibuka, suara centil dengan nada menusuk langsung menyeruak.

“Haii, Ardi... kamu masih inget aku nggak?”

Nafa mengintip dari belakang tembok dapur. Seorang perempuan berdiri manis dengan dress merah muda, rambut rapi bergelombang, dan make up yang... terlalu niat untuk pagi hari.

“A... Alia?” Ardi tampak kaget.

Alia masuk begitu saja tanpa diundang, pandangannya langsung tertuju pada Nafa yang berdiri canggung sambil memegang mangkuk mie.

“Eh, ini... siapa?” tanya Alia dengan senyum tipis beracun.

Sebelum Ardi menjawab, Nafa langsung berkata dengan suara paling ramah yang bisa ia buat:

“Halo, aku Nafa. Aku penghuni tetap dan partner masak mie.”

Ardi melotot. “Partner masak mie?!”

Nafa hanya nyengir. “Maksudnya... teman serumah sementara.”

Alia menatap ke arah Ardi. “Jadi sekarang kamu tinggal sama cewek yang... masak mie dan pelihara kucing kotor?”

Ardi terlihat salah tingkah. “Alia, ini bukan urusanmu lagi. Kita udah—”

“Putus. Iya, aku tahu,” potong Alia tajam. “Tapi kan, kamu selalu bilang nggak mau tinggal bareng cewek karena... alergi drama.”

Nafa spontan tertawa kecil. “Wah, itu ironis banget. Karena selama aku di sini, drama-nya justru datang dari luar rumah.”

Ardi langsung batuk pura-pura menutupi senyum.

Alia mendesis. “Well, good luck ya, tinggal sama cowok yang hobi bangun siang dan lupa ganti handuk seminggu.”

Setelah itu, Alia keluar dengan langkah kencang dan parfum tertinggal seperti ledakan bom aroma.

Nafa masih memegang mie yang kini sudah mulai dingin. “Ternyata kamu punya mantan yang... memorable.”

Ardi duduk di sampingnya, lemas. “Jangan diingetin.”

Si Gimbal tiba-tiba naik ke pangkuan Nafa, ikut menatap mie-nya.

“Kayaknya cuma kamu yang nggak drama di rumah ini, ya Gimbal,” gumam Nafa sambil menyerahkan satu helai mie pada si kucing.

Ardi menatapnya sambil tersenyum. “Tapi kamu tangguh juga, Naf. Kebanyakan orang udah kabur dari rumah ini sejak hari pertama.”

Nafa membalas senyumnya, kali ini tulus. “Ya... mungkin karena aku juga nggak punya tempat kabur.”

Hening sebentar. Tapi kali ini, heningnya bukan karena canggung. Lebih karena nyaman.

Dan di antara mie yang sudah mulai lembek, kucing gendut yang tidur di karpet, dan kenangan mantan yang menyerbu tanpa aba-aba, dua orang asing itu mulai merasa… rumah itu bukan tempat, tapi rasa.

Dan kadang, rasa itu datang dari tempat paling nggak terduga.

Hari ini Nafa resmi membuat keputusan penting dalam hidupnya: "Gue harus nyuci baju atau gue bakal hidup sebagai manusia aroma gorengan selamanya."

Pakaian bersihnya tinggal dua: satu piyama dan satu baju acara kawinan yang terlalu glamor dipakai untuk masak mie. Jadi pagi itu, dia pun memutuskan untuk mencuci, meskipun... mesin cuci apartemen Ardi lebih mirip peninggalan zaman kolonial.

“Ardi, ini mesin cucinya gimana cara nyalainnya?” tanya Nafa sambil menatap tombol yang semua tulisannya sudah pudar.

Ardi yang sedang menyeduh kopi (lagi-lagi kopi) hanya menjawab santai, “Pencet tombol merah, tahan tiga detik, putar ke kanan, terus pukul dua kali.”

“…Lo ngasih instruksi mesin cuci atau ritual memanggil jin, sih?”

“Percaya aja. Nanti juga jalan.”

Dengan keyakinan yang sangat terbatas, Nafa menuruti semua arahan Ardi—termasuk bagian pukul dua kali. Dan benar saja, mesin itu hidup... dan mulai bergetar seperti akan meledak.

“Ardi! Ini mesinnya joget dangdut sendiri!”

“Wajar! Kalau dia diem aja, justru itu bahaya,” sahut Ardi sambil nyeruput kopinya.

Nafa akhirnya pasrah, duduk sambil menatap mesin yang seperti sedang kerasukan itu.

***

Setelah drama laundry, mereka memutuskan pergi ke supermarket dekat apartemen.

“Kenapa kita ke supermarket?” tanya Nafa sambil mendorong troli.

“Karena stok makanan kita tinggal sambel sachet, roti basi, dan kopi. Masa mau sarapan sambel doang?”

“Hmm… bisa sih, kalau sambelnya dicampur nasi,” jawab Nafa polos.

Ardi menoleh cepat. “Naf, kamu tuh hidup antara kreatif dan nyiksa diri.”

Supermarket itu cukup besar. Baru beberapa menit, Nafa sudah heboh sendiri. “Ardi! Ini ada diskon sabun mandi! Beli dua gratis tisu toilet!”

“Wow, paket kebersihan dan kenyamanan,” komentar Ardi sambil memasukkan sabun ke troli.

Saat mereka masuk ke bagian makanan beku, Nafa langsung menunjuk nugget berbentuk dinosaurus.

“INI! Masa kecilku bahagia karena ini!”

Ardi tertawa. “Serius banget. Ya udah, kita beli satu.”

Saat mereka melewati lorong minuman, Nafa tanpa sadar menjauh, melihat minuman buah favoritnya. Tapi begitu berbalik, Ardi sudah menghilang.

"Ardi?"

Dia melongok ke kiri-kanan. Tidak ada.

Nafa mulai panik. Di antara orang-orang asing, lorong susu, dan keranjang belanjaan, dia mulai merasa seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya.

"Ardi!" panggilnya pelan.

Beberapa orang menoleh. Ada yang tersenyum geli. Nafa makin malu. Dia berusaha menelepon Ardi… lalu ingat: HP gue hilang.

Lima menit kemudian, suara dari pengeras suara supermarket terdengar:

“Diperhatikan untuk Mas Ardi, ada seorang cewek bernama Nafa yang sedang mencari Anda. Harap ke kasir utama, karena dia terlihat cemas dan hampir nangis.”

Nafa menutup wajahnya dengan nugget dinosaurus. “YA ALLAH MALUNYAAAA…”

Tak lama, Ardi datang dengan santai sambil bawa satu galon air dan dua bungkus mie korea super pedas.

“Naf, kamu nyasar ya?” tanyanya dengan senyum geli.

“Lo ke mana sih?! Gue kayak bocah ilang tahu nggak?!”

“Ya ampun, lucu banget. Untung kamu nggak duduk meringkuk sambil nyanyi lagu sedih.”

Nafa memukul bahunya pelan, sementara Ardi hanya tertawa puas.

Setelah membayar belanjaan, mereka berjalan pulang sambil tertawa-tawa soal insiden "hilang di lorong susu". Dan entah bagaimana, supermarket jadi tempat pertama di kota ini yang membuat Nafa merasa... nyaman.

Hidup memang lucu. Di tengah cucian bau, kucing gendut, mie dinosaurus, dan pengumuman kasir yang memalukan, hati Nafa mulai hangat. Bukan karena hal besar. Tapi karena Ardi adalah pria yang tidak sempurna, tapi selalu hadir.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel