Empat
"Lo kok kerja di notaris sih, Mi? Kan lo sastra masa kerja ditempat yang gak sesuai." Lyna, temen kuliah Mia tiba-tiba mengajaknya bertemu. Katanya rindu, padahal mah Mia tau alasan lain.
"Daripada gue gak kerja." Jawab Mia kesal.
Lyna mengaduk matcha lattenya. "Iya ngerti. Tapi kan sayang, harusnya lo kerja dikedutaan atau kementrian luar negeri gitu. Kuliah capek-capek tapi kerja gak sesuai kan gimana ya, Mi."
Dari awal kenal, Mia sudah tau Lyna ini tipikal teman julid yang hobbynya mencela. Padahal Lyna juga gak lebih baik juga dari dirinya, hanya karena dia bernasib baik dan ayahnya orang kaya Lyna bisa mendapat posisi yang sesuai di kantor Ayahnya.
Menurut Mia, tidak ada pekerjaan yang paling baik diantara banyaknya pekerjaan di dunia ini. Yang membedakan hanya nominal gajinya,
"Bos gue ganteng, Lyn, makanya gue betah."
"Ah masa? Mobilnya apa? Pajero? Alphard?"
Mia meringis dalam hati, kenapa juga dia mau-mauan diajak ketemu sama manusia kencrot ini.
"Lupa, gak perhatiin juga." Jawabnya singkat.
Banyak yang mengatakan kalau kita ingin melihat siapa teman yang baik dan sesungguhnya adalah saat kita berada dimasa yang sulit.
Saat kuliah, Mia memiliki banyak sekali teman. Bahkan Mia merasa dirinya begitu spesial karena memiliki teman-teman yang begitu baik dan perhatian.
Semuanya berubah setelah Mia lulus kuliah, satu persatu temannya mulai bekerja dan sibuk dengan hidupnya masing-masing. Setiap Mia meminta bantuan atau menanyakan masalah lowongan kerja, pasti teman-temannya tidak ada yang membalas atau menggapi Mia.
Selain itu, teman-teman dekat Mia juga mulai menjauhinya terbukti dengan kebiasaan mereka yang pergi hang out tanpa mengajak Mia.
Tapi yah, disinilah semuanya terbukti. Mia tidak kecewa dengan apa yang terjadi dan apa yang teman-temannya lakukan. Mereka punya pilihan dan mungkin itu pilihan mereka.
Hidup Mia juga mulai terbiasa tanpa sosok teman-teman kuliahnya.
***
Pekerjaan Mia di kantor berjalan dengan mulus, sudah hampir tiga minggu dan semuanya berjalan dengan lancar. Rekan-rekan kerjanya tidak pelit ilmu, dan sarana yang ada di kantor pun cukup memadai.
Kecuali malam ini. Vinka, rekannya yang biasa mengurus data untuk legalitas perusahaan yang baru dibangun meminta Mia untuk menggantikan tugasnya. Dengan kata lain, Mia lembur.
Katanya Vinka ada urusan mendadak dan urgent, jadi yah mau bagaimana lagi?
Jam sudah menunjukan pukul delapan malam tapi pekerjaan Mia belum juga selesai. Selain Mia masih amatir, data-data yang dibutuhkan juga cukup banyak. Mana Mia mengerjakannya hanya seorang diri, makin menyebalkan.
Sekitar pukul delapan lewat lima belas, telepon di meja Mia berdering.
"Kamu belum pulang?" Suara Chandra berbeda dari biasanya.
"Ini Pak, lagi urus Cv punya polyartha. Mba Vinka--"
"Saya tanya kamu belum pulang?"
"B-belum." Setelah Mia menjawab pertanyaan tersebut, Chandra langsung menutup teleponnya dan selang satu menit sosok itu sudah berdiri di depan bilik kerja Mia.
"Kamu ngapain sampe malam gini di kantor?" Kedua tangan Chandra bersidekap di depan dadanya.
"Saya ngerjain persyaratan cv Polyartha, Pak."
"Siapa yang suruh?"
"Mba Vinka minta tolong saya soalnya dia ada urusan mendadak."
"Bos kamu saya apa Vinka?"
Napas Mia tercekat ketika mendengar pertanyaan Chandra barusan. Apa jangan-jangan Chandra kerasukan ya?
"Kakak kamu tuh dari tadi teleponin saya tau gak? Katanya kenapa kamu belum pulang terus telepon gak diangkat-angkat." Ah sialan, emang Kaivan biang perkara.
"Maaf pak..."
"Besok kalau kamu mau lembur atau apa konfirmasi sama saya. Biar saya tau, jangan sampe nanti Kaivan mikir yang engga-engga ke saya argh yaudahlah, matiin buru komputernya."
Dengan takut-takut, Mia mengangkat kepalanya untuk menatap Chandra. "Hng?"
"Matiin, kita pulang sekarang."
Mia langsung secepat mungkin mematikan komputer dan merapihkan semua barang-barangnya.
Chandra berjalan di depan Mia dengan wajah lelah yang menakutkan. Apalagi saat di lift hanya ada lelaki itu dan Mia, rasanya seperti terjebak bersama hantu yang tampan.
"Vinka tuh ya, emang minta dimarahin mulu. Kamu juga, mau-maunya dibegoin senior." Lah, dimana-mana sebagai anak baru pastinya Mia tidak bisa menolak permintaan seniornya kan?
Kenapa malah Mia yang kena omel.
Chandra menunjukan ponselnya ke arah Mia. "Liat nih, abang kamu udah boom chat saya. Tanggung jawab, belom gue apa-apain masa tanggung jawab."
Mia hanya diam selagi Chandra terus mengoceh tentang pesan-pesan yang Kaivan kirimkan.
Perasaan, kantornya terletak di lantai sembilan, kenapa lama sekali sih sampainya? Mia benar-benar ingin segera lari dan menjauh dari sosok jangkung di sampingnya ini.
Saat lift berdenting, Mia hampir saja berlari namun tanpa diduga Chandra menahan lengannya.
"Kemana?"
"Pulang Pak,"
"Bareng saya. Ini kakak kamu udah bawel banget."
Hhh bisa gak sih Chandra berhenti membahas tentang Kaivan, pokoknya nanti setelah sampai di rumah Mia akan benar-benar membalaskan dendamnya.
Mia dengan tatapan memohon mencoba melepaskan diri. "Saya sendiri aja deh pak, lagian mau pergi juga. Ya?" pintanya.
"Yaudah kamu telepon Kakak kamu lah si item."
Dengan cekatan, Mia langsung menelepon Kaivan.
"Gue naik ojol ya. Oke bye-- hah? Dih? Kok? Yaudah yaudah bacot."
"Gimana?" Tanya Chandra.
Mia merengut. "Disuruh bareng, katanya udah malem argh lebay item."
Ini kedua kalinya Mia pulang bersama Chandra, tidak ada yang berubah dengan pertama kali mereka pulang bersama.
Kalau saja Chandra gak lagi marah-marah, pasti lelaki itu terlihat sangat tampan saat sedang mengemudikan mobilnya.
"Gak usah liat-liat." Mia kaget mendengar suara Chandra yang memergoki dirinya.
"Engga.." jawab Mia pelan. Untung saja sekarang keadaannya gelap di dalam mobil, jadi Chandra tidak melihat wajah Mia yang sedang bersemu.
"Anak bapak gak nyariin?" Tanya Mia untuk mengalihkan pembicaraan.
"Engga, kan kalau jumat nginep di rumah neneknya."
"Oh, kenapa?"
Chandra menoleh sejenak. "Gapapa. Biar sabtu malamnya saya bebas seneng-seneng." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Mia bisa melihat seringai yang tipis sekali di wajah Chandra.
Memangnya kalau mau senang-senang harus sabtu malam dan gak ada Naira?
