7. Kenangan Indah Nana
Billal POV
Ku lambaikan tanganku kala menemani Nana untuk kemoterapi dengan Mama. Aku menunggunya di depan kamar tempat dia menjalani kemo, dari balik kaca kamar itu aku bisa melihat wajah Nana yang tengah tersenyum kala berbicara dengan Nana dan memandangku bergantian dengan Mama.
Ini sekian kalinya aku menunggu Nana untuk melakukan kemoterapi. Awalnya dia menolak, tapi ku yakinkan dia agar aku bisa ikut menemaninya.
"Aku cuma pengen punya kenangan indah sama kamu Na, apapun itu. Anggap aja kenangan bersama sahabat"
"Billal"
"Sampai kapanpun aku tetap sayang kamu Na. Walaupun kamu anggap aku cuma sahabat, aku gak masalah itu"
Detik itu juga Nana mengijinkan aku mengikutinya melakukan kemoterapi. Kadang aku juga mengajak Nana untuk menemaniku dan teman se bandku untuk manggung di cafe dekat sekolah. Lumayanlah, aku punya penghasilan sendiri walaupun tidak banyak. Yang penting aku udah usaha bagaimana beratnya mencari rezeki halal.
"Eh anak Papa"
Aku hanya memutar bola mata malas mendengar sindiran Mama yang selalu menyebutku anak Papa.
"Sana pulang gih, Nana pulang sama orang tuanya. Gak pake bantahan, atau perlu Mama teleponin Papa, biar kamu dijemput Papa?"
"Ah Mama nih"
Nana hanya tersenyum kecil melihatku berdebat kecil dengan Mama. Mama memandang gadis yang juga mengenakan seragam SMA memandang sekitar dengan sedikit khawatir. Aneh deh.
"Shae apa Sanee?"
Gadis itu menoleh ke Mama dan tersenyum, lalu menyalami Mama seperti sudah kenal baik dan kenal dekat.
"Shae tante, Sanee lagi di ruangan Daddy"
Mama tersenyum seperti biasanya, lalu gadis itu memandangku dan memandang Nana bergantian dan memandang Mamaku kembali.
Anak ini kenapa sih.
"Ini Billal anak tante yang paling kecil, dan ini teman sekolahnya, Nana"
Gadis itu seakan ragu untuk bersalaman dengan Nana. Gadis ini kenapa sih, salaman aja takut banget. Gak ada pakunya juga kali.
"S sh shae"
"Nana"
"Lo aneh deh"
"Billal" Mama memelototi ku. Aku hanya nyengir dan berlalu untuk mengantarkan Nana ke depan rumah sakit karena sudah dijemput Ayahnya.
Aku kembali ke lorong tempat Mama dan gadis tadi masih berdiri disana, berbicara dengan Mama mengenai Nana.
"Tante, tadi gadis itu sakit?" Mama hanya mengangguk. "Oh pantesan"
"Kenapa?"
"Entah Tante percaya atau enggak, yang pasti, saya melihat bayangan hitam yang mengikuti gadis itu dari belakang"
"Maksudnya?"
"Hmm.. gini Tante, kalau orang-orang sedang sehat atau sakit biasa, gak akan ada bayangan hitam yang mengikuti, tapi Shae lihat di belakang Nana ada dan orang itu"
Tunjuknya pada seorang kakek-kakek yang seumuran Opa sedang duduk di ruang tunggu, entah menunggu siapa. Lalu tak lama setelah itu si kakek memegangi dadanya dan datanglah beberapa suster dan Mama yang menghampirinya.
Ku ikuti saja Mama masuk membawa kakek itu ke dalam UGD. Memasangkan beberapa alat bantu di dadanya dan tak lupa selang oksigen sudah bertengger manis di hidungnya.
Tak lama setelah itu garis di monitor memunculkan garis lurus dan berbunyi nyaring sekali membuat Mama dan beberapa suster mencoba mengembalikan alat vitalnya kembali, namun sayangnya usaha Mama sia-sia. Kakek itu meninggal.
Ku pejamkan mataku sejenak untuk berdoa agar kakek itu berada di surgaNya. Ku edarkan pandanganku untuk mencari keberadaan gadis tadi, dia bisa melihat yang kasat mata, apa dia seorang Indigo?. Namun usahaku sia-sia, aku tidak menemukan gadis itu di rumah sakit ini. Entah dia sudah pulang atau bagaimana.
???
Ku buka sebuah buku yang dengan sengaja ku tulis Beberapa puisi terkhusus untuk Nana. Sejak mengungkapkan perasaan ku ke Nana, aku mulai menjadi puitis, menulis puisi hanya untuk Nana, tapi tak berani ku tunjukkan padanya. Aku bertekad hari ini adalah hari kelulusan ku dengannya, aku akan memberikan buku ini nanti.
Ku ambil kunci motorku dan segera melajukannya menuju sekolah tempat ku menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ku lihat Nana bersama dengan Tama dan ketiga temanku yang lainnya. Mereka sedang mengobrol, entah apa itu.
Wajah Nana terlihat lebih pucat dari biasanya. Aku tiba-tiba kepikiran soal perkataan gadis itu kemarin, aku lupa namanya siapa, aku gak berani tanya ke Mama.
"Wooow calon perwira muda datang nih"
Rayyan yang berbicara, kayak dia nggak akan masuk akmil aja, dia sendiri juga di gembleng oleh Papanya agar tidak sampai mengecewakan. Senasib. Itulah kata yang menggambarkan bagaimana keadaan ku dan Rayyan saat ini.
"Na, buat kamu"
Ku berikan buku itu ke Nana, keempat lelaki jones itu menggodaku tak kenal ampun. Bodo amat, amat aja gak bodo amat.
Nana membukanya lalu memandangku dan tersenyum. Lalu dia memasukkannya ke dalam ranselnya.
Suara Torabika bergema di seluruh sekolah ini, menyuruh kami kelas 12 untuk berkumpul di lapangan, dan wali kelas kami membagikan sebuah kertas. Ku buka kertas itu dan terus merapalkan doa dalam hati.
LULUS
Satu kata membuatku dan beberapa murid yang lainnya berlonjak kesenangan dan kemudian kami sujud syukur karena semuanya dinyatakan lulus. Kami bersalaman dengan para guru dan tak lupa dengan Torabika yang masih ada aura permusuhan dengan Rayyan.
"Saya gak nyangka kalau anak bandel seperti kamu lulus dengan nilai yang bagus"
Halo Torabika kemana aje pak?
"Oh jelas dong pak. Billal"
Kataku jumawa, lalu menghampiri Nana yang akan segera pulang dengan Tama. Aku nongkrong lebih dulu ke rumah Rayyan untuk menikmati masa-masa sebelum aku menjalani Akmil dan dinyatakan sebagai abdi negara seperti abang dan Papaku.
Ngomong-ngomong soal Abangku itu, dia lagi honeymoon di Jogja sama mbak Cinta. Ciye ciye sekali kan.
???
Tama Calling...
"Yo bro?"
"Assalamualaikum Bil"
"Eh iya, waalaikumsalam, ada apa bro?"
"Nana meninggal Bil, ini lagi di rumah sakit"
Badanku yang semula lemas kini menjadi Kaku mendengar berita dari Tama.
Nana meninggal
Aku akan mendial nomor Mama, tapi Mama lebih dulu menghubungi ku. Ku geser tombol warna hijau disana.
"Assalamualaikum Ma?"
"Waalaikumsalam dek, minta anterin Papa gih jemput Mama di rumah sakit. Mama udah telepon papa kok"
"Ma--"
"Nana meninggal nak"
Mengejutkan sekali kabar ini. Bahkan aku belum sempat mengucapkan kata perpisahan dengannya.
???
Baru kali ini dia pulang dengan malasnya. Rasanya dia ingin berselonjor kaki sejenak di ruang keluarga, dan menonton acara memasak chef Aiden.
Pupus sudah harapan Andara. Si biang kerok ada di sini. Berdiri menjulang di sisi mobilnya sendiri, menatap tanpa minat ke arah rumah orangtua Andara.
Rendy berdiri di sana, memandang Andara yang baru saja turun dari motor matic kesayangannya itu. Melihat style berpakaian ala Andara adalah kaos putih dengan dilapisi kemeja flanel berwarna kuning dan celana jeans sobek di lututnya. Rambut yang di cepol asal-asalan dengan bulir keringat di sekitar wajahnya. Sangat tidak anggun sekali.
”Ka ... , Andara sudah mengacungkan jari telunjuknya agar Rendy diam.
”Kita udah putus kalau lo lupa. Jadi, lo gak ada hak buat urusin style gue, betewe!” jawaban santai dari Andara, membuat Rendy kicep.
Berjalan dengan santainya masuk ke dalam rumah, mengabaikan Rendy yang ikut berjalan di belakangnya. Di sana ada Rina ... Ibunya Rendy.
”Eh, calon mantu Tante, rasanya Andara saat ini malu luar biasa dengan sebutan calon mantu, mereka saja udah putus.
Andara hanya tersenyum sekilas, lalu berpamitan menuju kamarnya. Dia merebahkam dirinya di kasur kesayangannya. Melupakan sejenak rasa pusing yang melanda kepala cantiknya itu, karena terlalu banyak menghafal berbagai resep masakan.
”Asem, mabok teori nih gue.” Andara mengacak-acak rambut panjangnya.
Dia mengambil hapenya dan memilih icon YouTube, mengetikkan sesuatu di sana. Dan muncullah beberapa video masakan sampai ke bawah. Memilih salah satu video yang dia inginkan.
Terlalu khusyuk mengamati video itu, sampai-sampai pintu kamarnya terbuka pun, dia tidak sadar.
”Dek!”
Andara menjeda video itu dan bangkit menghampiri Mamanya yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
”Ya Ma?”
”Mandi gih, yuk makan malam sama Tante Rina dan Rendy.”
”Ma, Dara tuh males banget, nggak ikutan ya!” Bujuk rayu Andara ke Mamanya.
”Sama aja kamu nggak menghargai tamu Mama, Dek! Lupakan masalah kamu sama Rendy, yang penting ikut makan malam bareng ya?” Andara mengalah, dia mengangguk dan berjalan ke arah kamar mandi untuk memulai ritualnya.
***
Duduk bersebelahan dengan Rendy, rasanya Andara ingin menusuk itu mata Rendy pakai garpu yang tajam. Rendy masih menatapnya tajam, tentunya baju yang di kenakan Andara.
Andara kan udah masa bodoh banget sama si Rendy, jadi dia pakai baju senyamannya dia aja. Kaos lengan panjang hitam dan celana jeans panjang. Tak lupa cepolan khas Andara. Di mata Rendy, itu nggak terlihat anggun sama sekali.
”Kamu kok nggak pernah main ke rumah si Dara? Tante kangen lho masak bareng kamu di rumah.” Andara hanya tersenyum tipis. Nggak tahu apa kalau dia dan Rendy udah putus tus tus.
”Ren, besok jemput Andara di kampusnya, terus ajakin main ke rumah ya!”
”Itu ....” belum sempat Andara mengatakannya, sudah di potong duluan oleh Rendy.
”Iya Ma, besok Rendy akan ....” Mungkin Rendy lupa siapa Andara, jadi tidak mungkin Andara diam saja saat seperti ini.
”Dara nggak bisa Tante, Dara lagi sibuk banget di kampus, ada ujian.” Andara memandang sengit ke arah Rendy, seakan mengatakan, bacotan-lo-gak-mempan.
Rendy memilih diam, dan memandang ke arah Ibunya. Rendy menunggu reaksi yang di berikan oleh Ibunya, atas penolakan dari Andara.
Oh, kamu sudah mulai ujian. Tante ngerti kok, semoga kamu lulus ya, biar bisa cepat nikah sama Rendy, ucapnya tanpa dosa.
Andara terbatuk-batuk saat mendengar kalimat itu, keluar begitu saja dari bibir Rina. Tidak tahukah jika Andara sudah mulai menghafalkan beberapa jampi-jampi untuk menyantet Rendy.
Chef Aiden, tolongin gue!
***
