Bab 3 Rasa Penasaran Ayla
---
Malam itu, Ayla berbaring di tempat tidur dengan lampu temaram menyala redup di sudut kamar. Ponselnya diletakkan di meja, tapi matanya tak kunjung lepas dari langit-langit. Suasana sunyi, hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar.
Tapi pikirannya tidak sunyi. Semuanya berputar tentang Dev.
“Jangan banyak tanya… jangan bawel…” gumamnya pelan.
Ayla memutar badan, menarik selimut, tapi tetap tidak bisa tenang. Ia mendesah pelan lalu duduk. Matanya menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup.
Akhirnya, ia bangkit. Membuka pintu pelan, mengintip ke luar.
Dev duduk di ruang tengah dekat tangga, masih dengan jaket hitamnya. Satu tangan memegang ponsel, satunya lagi menelusuri layar tablet yang dipenuhi denah dan catatan.
“Belum tidur?” tanya Ayla, pelan tapi cukup terdengar.
Dev menoleh. “Tugasku jagain kamu. Aku tidur setelah kamu aman.”
Ayla bersedekap di ambang pintu. “Aku aman. Lihat, rumah terkunci, alarm nyala, bahkan nyamuk aja kayaknya takut masuk.”
Dev menghela napas pendek. “Ayla...”
“Kamu tahu nggak?” potong Ayla cepat. “Setiap kali kamu bilang ‘Ayla’ dengan nada berat kayak gitu, aku jadi makin pengen ganggu kamu.”
Dev menatapnya lama. “Kamu ini kenapa belum tidur?”
“Aku susah tidur kalau kepikiran seseorang.”
Dev mengangkat alis. “Seseorang?”
“Ya. Seorang pria yang mengira bisa ngelindungin aku tanpa bikin aku penasaran.”
Dev mendongakkan kepala, memejamkan mata sebentar, lalu berdiri.
"Ayla, kamu harus tahu batas. Ini bukan permainan."
Ayla melangkah maju, berdiri tepat di depannya. "Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu... kadang yang bikin jatuh itu bukan niat, tapi rasa yang datang pelan-pelan, tanpa izin."
Dev menatap mata Ayla. Ada ketegangan yang tak bisa ditutupi. Napasnya sedikit berat, tapi dia tidak mundur. Tidak juga menyentuh.
“Masuk kamar. Sekarang.”
Ayla diam beberapa detik. Lalu tersenyum, lembut dan penuh tantangan. “Baik, Tuan Dingin. Tapi jangan salahkan aku kalau besok aku masih bawel.”
Dev memutar wajah, menahan senyum tipis yang hampir muncul, lalu kembali duduk ke tempat semula.
Begitu Ayla masuk ke kamarnya lagi, ia bersandar di balik pintu, jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, Dev menjaga jarak. Tapi dia juga tahu, ada sesuatu dalam diri pria itu... yang sebentar lagi tidak akan bisa disangkal.
---
Pagi datang dengan cahaya matahari yang menerobos lembut melalui celah tirai kamar. Ayla terbangun perlahan, membalikkan badan dan menggeliat kecil di atas ranjang. Suasana rumah masih sepi, tapi ia tahu… Dev pasti sudah bangun lebih dulu.
Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian dengan kaos dan celana training, Ayla turun ke lantai bawah. Aroma kopi segar langsung menyambutnya, membuat langkahnya melambat menuju dapur.
Dan benar saja, Dev berdiri di sana—membelakangi Ayla, sedang menuangkan kopi ke dalam dua cangkir.
“Pagi yang aneh,” sapa Ayla sambil menyender di kusen pintu. “Bodyguard-ku bikin kopi, bukan nahan peluru.”
Dev menoleh sekilas. “Jangan terlalu GR. Ini kopi buatku. Tapi kalau kamu mau, ambil aja sendiri.”
Ayla tertawa kecil dan menghampiri meja. “Tega banget kamu.”
Ia mengambil salah satu cangkir dan menyeruput sedikit. Matanya mengintip Dev yang berdiri bersandar di dapur, masih mengenakan kaos hitam polos dan celana training. Bukan pakaian formal seperti biasanya. Dan Ayla baru sadar... pria itu terlihat lebih manusia.
“Kamu tidur?” tanya Ayla sambil duduk di kursi bar.
“Dua jam. Cukup.”
“Kalau kamu sampai tumbang, siapa yang jagain aku?”
Dev menatapnya. “Kalau aku tumbang, berarti kamu harus mulai belajar jagain dirimu sendiri.”
Ayla tersenyum kecil. “Mungkin aku bakal jagain kamu juga.”
Dev mendengus pelan, tapi tak membalas. Ia hanya melirik jam di dinding.
“Jam delapan kita berangkat ke acara gala. Kamu siapin semua yang kamu butuhin. Aku udah cek lokasi dan keamanannya.”
Ayla mengangguk, lalu berdiri.
“Oke. Tapi jangan terlalu serius, Dev. Ini cuma acara pesta. Bukan perang.”
Dev menatapnya lama. “Buat kamu mungkin pesta. Buatku, tetap tugas.”
Ayla berjalan melewatinya, tapi berhenti sebentar, menoleh dengan senyum penuh godaan.
“Kalau suatu saat kamu lupa bahwa ini tugas... kasih tahu aku duluan ya.”
Dev terdiam. Tak menjawab. Tapi saat Ayla kembali naik ke kamarnya, ia sempat melihat dari sudut matanya—pria itu menunduk, menghembuskan napas panjang.
Seolah... mulai ada yang tak bisa dia kendalikan.
---
Ayla berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun hitam elegan dengan belahan rendah di punggung dan potongan leher yang cukup berani. Rambutnya digelung rapi, make-up-nya flawless, dan heels tinggi menambah aura anggun sekaligus menggoda.
Ia memandang dirinya sendiri dengan puas, lalu mengambil clutch kecil dan melangkah keluar kamar.
Turun ke bawah, langkahnya pelan tapi mantap. Dan saat Dev melihatnya dari ruang tengah, pria itu langsung berdiri.
Untuk beberapa detik, ia hanya diam. Tatapannya menurun perlahan dari wajah Ayla ke seluruh tubuhnya, lalu kembali ke matanya. Tapi ekspresi Dev tetap tenang. Terlalu tenang.
“Kenapa? Nggak cocok?” tanya Ayla, mengangkat alis.
Dev menelan ludah pelan. “Cocok.”
“Cuma itu?” Ayla mendekat. “Setelah aku siap satu jam penuh, kamu cuma bilang cocok?”
“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu makin besar kepala. Kalau aku bilang kamu terlalu seksi, kamu bakal sengaja goda aku sepanjang malam,” jawab Dev cepat.
Ayla tersenyum. “Jadi kamu mengakui aku seksi?”
Dev tidak menjawab. Ia hanya mengambil jas yang tergantung di kursi, lalu memakainya sambil mengalihkan pandangan. Tapi Ayla tahu... pria itu sedang kehilangan fokus.
“Tenang, Dev. Aku janji nggak bikin onar malam ini,” ucap Ayla sambil berjalan melewatinya.
“Tugas kamu cuma satu,” sahut Dev, mengikuti di belakangnya. “Jangan jauh dari aku. Sekali pun.”
Ayla menoleh, mata mereka bertemu dalam. “Kamu takut aku hilang atau takut kamu hilang kendali?”
Dev mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit. Suaranya rendah, nyaris berbisik.
“Yang mana pun itu, hasilnya sama. Kacau.”
Dan tanpa menunggu balasan, ia membuka pintu mobil untuk Ayla.
Malam itu baru dimulai. Tapi mereka sama-sama tahu… ini bukan sekadar acara gala biasa.
Ada batas yang mulai kabur, ada rasa yang makin nyata.
Dan Ayla? Ia tidak lagi hanya dilindungi—dia sedang ditaklukkan pelan-pelan oleh sang bodyguard yang terlalu dingin... tapi perlahan mulai terbakar.
