
Ringkasan
Blurb Novel Hasrat Sang Bodyguard “Aku bukan wanita lemah, tapi bersamamu… aku merasa ingin dilindungi.” Ayla, seorang wanita mandiri sekaligus pewaris bisnis keluarga, mendadak harus dijaga ketat setelah menerima ancaman dari masa lalu ayahnya. Kehadiran Devario—atau Dev, mantan tentara dengan tatapan tajam dan masa lalu kelam—mengubah seluruh hidup Ayla. Dev hanya ditugaskan untuk menjaga. Tidak lebih. Tapi bagaimana jika sentuhan Ayla mampu mengguncang keteguhan hatinya? Dan bagaimana jika hasrat yang mereka sembunyikan justru membahayakan misi... dan hati mereka sendiri? Dalam bayang-bayang bahaya dan rahasia, cinta terlarang mulai menyala. Bisakah mereka menahan godaan, atau justru terjebak dalam hasrat sang bodyguard?
Bab 1 Bodyguard baru
Langkah kaki Ayla terhenti begitu saja di depan mobil hitam yang terparkir di halaman rumah. Seorang pria berseragam hitam dengan tubuh tegap berdiri di samping pintu belakang, seolah menunggunya sejak tadi.
"Siapa dia?" bisiknya pada bibinya yang baru saja keluar dari dalam rumah.
"Itu Devario. Bodyguard barumu. Mulai hari ini dia akan ikut ke mana pun kamu pergi," jawab sang bibi santai, lalu berlalu begitu saja, meninggalkan Ayla yang masih mematung.
Ayla menatap pria itu dari ujung kaki sampai kepala. Wajahnya dingin, ekspresinya datar, dan sama sekali tidak tersenyum saat mata mereka bertemu.
"Aku enggak butuh bodyguard," ucap Ayla ketus sambil melipat tangan di depan dada.
Devario hanya menunduk sedikit, lalu membuka pintu mobil tanpa berkata sepatah pun. Gerakannya tenang, tapi tegas. Sikap yang membuat Ayla justru makin kesal.
"Hey, kamu bisa bicara atau robot?"
"Aku bicara kalau memang perlu," jawab Devario singkat.
Suara baritonnya membuat Ayla diam sesaat. Tegas. Dalam. Sedikit menyebalkan.
"Aku enggak suka dikuntit ke mana-mana. Aku bukan anak kecil."
"Aku di sini bukan buat disukai," balas Devario cepat. "Tugasku jaga kamu. Titik."
Ayla mendengus, melangkah masuk ke mobil tanpa kata lagi. Tapi sebelum pintu tertutup, ia sempat berbisik pelan, "Kita lihat sampai kapan kamu betah."
Devario hanya tersenyum tipis. Senyum yang tidak hangat, tapi entah kenapa... justru membuat Ayla sedikit gugup.
---
Di dalam mobil, suasana hening. Ayla menatap ke luar jendela, pura-pura sibuk memperhatikan jalan, padahal pikirannya sibuk menilai pria di sampingnya.
Devario duduk tegak di depan, fokus menyetir. Tangannya kuat menggenggam setir, rahangnya mengeras setiap kali mobil melambat. Tak ada musik, tak ada basa-basi. Hanya suara mesin dan detak jantung Ayla yang makin berisik.
"Biasanya bodyguard itu ramah, tahu?" Ayla memecah keheningan.
"Kalau kamu mau cari yang ramah, mending sewa badut," jawab Dev tanpa menoleh.
Ayla menoleh cepat. "Kamu serius ngomong kayak gitu ke klien?"
"Kamu klien, bukan atasan."
Ayla mendengus. "Kalau aku pecat kamu sekarang, masih mau sok cool?"
Dev baru menoleh sekilas, tatapannya tenang tapi tajam. "Silakan. Tapi setelah itu, kamu tanggung sendiri risikonya."
Ayla menggigit bibir. Oke. Pria ini bukan tipe yang gampang dikuasai. Tapi Ayla juga bukan tipe yang gampang kalah.
Mobil berhenti di depan gedung kantor. Sebelum Ayla turun, Dev lebih dulu membuka pintu dan berdiri di samping, menjaga seolah mereka tengah dalam misi militer.
Orang-orang di sekitar memperhatikan. Sebagian terkesima. Sisanya bergosip pelan. Ayla hanya menatap lurus ke depan, tapi dia tahu... kehadiran Devario sudah mulai menarik perhatian lebih dari yang ia harapkan.
Begitu mereka masuk lift, Ayla melirik dari sudut mata. "Kamu selalu sekaku ini, Dev?"
"Aku selalu fokus."
"Fokus, atau takut jatuh hati sama klien?"
Dev menoleh. Pelan. Matanya menatap langsung ke matanya.
"Aku enggak pernah jatuh hati, Ayla. Termasuk ke kamu."
DING.
Pintu lift terbuka. Tapi detak jantung Ayla belum juga kembali normal.
---
Langkah kaki Ayla terdengar mantap di lantai marmer kantor, sepatu hak tingginya memantul bersama suara ketikan keyboard dan bisik-bisik para staf yang melirik penasaran ke arah pria asing yang mengikutinya dari belakang.
"Ayla, itu siapa? Bodyguard baru ya?" tanya Rani, salah satu rekan kerjanya, setengah berbisik, setengah kepo.
Ayla hanya mengangguk cuek. "Namanya Dev. Jangan kepincut, ya. Dingin banget orangnya."
Rani terkekeh kecil, tapi pandangannya tak lepas dari Dev yang berdiri tegak di dekat pintu, memindai ruangan dengan tatapan penuh waspada. Seolah kantor itu ladang ranjau.
"Dia mirip agen rahasia gitu, ya? Serem tapi ganteng," bisik Rani lagi.
Ayla mendengus, pura-pura sibuk membuka laptop. Tapi jantungnya sendiri sedikit berdebar. Bukan karena ancaman luar—melainkan karena kehadiran pria itu membuat udara terasa lain.
Jam menunjukkan hampir siang ketika Ayla berdiri dari kursi. "Aku ada meeting di luar. Sendirian aja."
Dev langsung menggeleng. "Aku ikut."
"Dev, aku cuma ke cafe dua blok dari sini. Ketemu klien cewek. Nggak perlu segitunya."
"Kalau kamu mau aman, aku ikut. Kalau mau ambil risiko, silakan... tapi jangan harap aku diem."
Ayla menatapnya tajam. "Kamu ini bodyguard atau polisi?"
"Penjaga. Dan aku serius soal tugasku."
Akhirnya Ayla menyerah. Mereka turun bersama, tapi sepanjang perjalanan ke cafe, Ayla memilih diam. Entah kenapa, keberadaan Dev di dekatnya bikin suasana jadi canggung. Tegangnya bukan seperti dia sedang dikuntit, tapi... seperti dia sedang diawasi oleh seseorang yang bisa melihat isi pikirannya.
Di cafe, kliennya datang terlambat. Ayla menunggu dengan kopi dan roti yang nyaris dingin. Dev duduk beberapa meja di belakang, tetap siaga, tapi diam-diam memperhatikan.
Sesekali mata mereka bertemu. Ayla cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Tapi di dalam hati, dia mulai sadar... ini bukan cuma soal perlindungan.
Ini soal bagaimana caranya dia bisa tetap tenang... saat pria itu, tanpa kata, perlahan-lahan mulai menembus benteng yang selama ini ia jaga rapat-rapat.
---
Klien Ayla akhirnya datang setelah hampir tiga puluh menit. Mereka berbincang santai, membahas kerja sama produk, sambil sesekali tertawa kecil. Tapi di sela-sela pembicaraan itu, Ayla bisa merasakan tatapan Dev yang konsisten. Tajam. Fokus. Seolah ia tak pernah benar-benar lengah, bahkan saat sedang duduk dengan kopi yang belum disentuh.
Begitu urusan selesai dan kliennya pamit lebih dulu, Ayla tidak langsung berdiri. Ia bersandar sebentar, memandang ke luar jendela. Matahari siang mulai menyengat, tapi ada yang lebih panas dari cuaca—pikiran yang terus saja dipenuhi sosok bodyguard dingin itu.
Dev berdiri dan menghampiri meja.
"Kita pulang?" tanyanya datar.
Ayla mengangguk, lalu berdiri sambil membawa tasnya. "Kamu selalu seformal ini sama semua orang, atau cuma ke aku doang?"
Dev tidak langsung menjawab. Mereka berjalan keluar, menyusuri trotoar menuju mobil yang diparkir di seberang jalan. Baru setelah Ayla membuka pintu mobil, suara Dev terdengar.
"Aku formal sama semua orang... kecuali mereka yang berbahaya."
Ayla menoleh, sedikit heran. "Maksudmu, aku berbahaya?"
"Kamu terlalu suka menantang," jawab Dev pelan, menatap matanya dalam. "Itu hal paling berbahaya buat orang kayak aku."
Hening beberapa detik. Lalu Ayla masuk ke dalam mobil dengan senyum tipis.
"Aku pikir kamu enggak gampang goyah, Dev."
"Aku enggak," katanya sambil menutup pintu. "Makanya kamu bikin repot."
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada obrolan. Tapi Ayla tahu... kalimat tadi bukan sekadar candaan. Itu peringatan. Tapi juga pengakuan terselubung—bahwa ia mulai mengguncang sesuatu dalam diri pria itu. Dan anehnya, itu membuatnya ingin terus menguji... seberapa dalam batas seorang Devario bisa runtuh.
