Bab 2 Perintah Dev
---
Sore hari menjelang, langit mulai berwarna jingga saat mobil mereka berhenti di depan rumah Ayla. Suasana dalam kabin masih sama seperti tadi—hening, tapi penuh sesuatu yang tak diucapkan. Ayla membuka pintu mobil lebih dulu, tapi sebelum benar-benar keluar, ia menoleh dan menatap Dev.
"Besok ada acara di luar kota. Acara gala, nginep semalam. Aku udah kasih jadwalnya ke bibi."
Dev hanya mengangguk. "Aku akan siapkan semuanya."
Ayla turun, berjalan menuju pintu rumah. Tapi langkahnya terhenti. Ia menoleh cepat, memanggil nama itu begitu saja.
"Dev."
Pria itu berdiri di sisi mobil, mata masih menatapnya.
"Apa kamu selalu begini sama semua perempuan? Jaga mereka kayak... patung tak bernyawa?"
Dev tak langsung menjawab. Ia mendekat perlahan, cukup dekat hingga suara langkahnya terdengar jelas di antara suara dedaunan yang tertiup angin.
"Aku nggak jaga perempuan. Aku jaga nyawa. Itu perintahnya."
Ayla mengerjap. "Dan kalau aku mulai bikin kamu sulit fokus?"
Dev menatapnya. Tajam, tapi kali ini dengan sedikit keraguan. Matanya bergerak, seolah ingin bicara tapi juga menahan.
"Itu berarti kamu bahaya. Bukan buat aku... tapi buat dirimu sendiri."
Satu detik. Dua detik. Lalu Dev mundur selangkah.
"Masuk. Rumahmu belum steril sore ini."
Ayla mengangguk pelan, walau pikirannya melayang ke kalimat barusan. Bahaya. Kata itu terus bergema.
Begitu masuk ke rumah, Ayla melempar tas ke sofa dan menjatuhkan diri ke duduk. Napasnya dalam. Ia tidak takut pada ancaman luar. Tapi sekarang, yang paling membuatnya gelisah justru pria berseragam hitam yang berdiri di luar sana—diam, tenang, tapi sanggup membuat hatinya terasa seolah sedang dijaga... dan dijatuhkan, dalam waktu yang bersamaan.
---
Setelah melepaskan sepatu dan merenggangkan bahu yang tegang sejak tadi siang, Ayla bangkit dari sofa lalu berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Suasana rumahnya sepi, hanya suara langkah kakinya yang terdengar menyusuri tangga kayu.
Begitu masuk kamar, ia membuka kancing blusnya satu per satu sambil berjalan menuju kamar mandi. Tatapannya sempat terarah ke jendela besar yang tirainya belum tertutup. Di luar sana, bayangan Dev masih berdiri di sisi mobil, berbicara lewat ponsel, mungkin sedang melapor pada tim keamanan.
Ayla cepat-cepat menutup tirai.
Setelah melepas pakaian dan membiarkannya jatuh ke lantai, ia melangkah masuk ke dalam shower. Begitu air hangat menyentuh kulitnya, Ayla memejamkan mata dan menarik napas dalam.
Seharusnya ini hanya soal pekerjaan. Bodyguard. Ancaman. Keamanan.
Tapi kenapa semua itu malah terasa seperti permainan emosi? Kenapa tatapan Dev tadi—yang dingin tapi jujur—masih membekas di pikirannya?
Air mengalir pelan dari kepala hingga ke kaki. Ayla membiarkannya menenangkan tubuh, tapi pikirannya tetap gaduh.
"Bahaya buat dirimu sendiri," gumamnya, mengulang kata-kata Dev tadi.
Ia membuka mata, menatap bayangannya sendiri di cermin kaca kamar mandi yang mulai berembun.
Entah sejak kapan, tapi pria itu sudah mulai menempati ruang yang seharusnya tidak boleh disentuh siapa pun. Dev bukan siapa-siapanya. Tapi justru karena itu... rasa penasaran Ayla semakin dalam.
Dan ia tahu, ini baru awal.
---
Ayla keluar dari kamar mandi dengan rambut basah tergerai, hanya mengenakan kimono tipis warna abu-abu. Langkahnya pelan menuju meja rias, mengambil sisir, lalu duduk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Mata itu tampak lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda—tatapan yang tak lagi tenang seperti biasanya.
Sementara jari-jarinya menyisir rambut perlahan, pikirannya kembali melayang ke pria yang berdiri di luar sana. Devario. Pria yang hanya bicara seperlunya, tapi ucapannya menancap lebih tajam dari yang pernah Ayla dengar dari siapa pun.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
> Dev: Sudah di dalam? Kunci pintu kamarnya.
Ayla tersenyum kecil, lalu membalas.
> Ayla: Sudah. Santai aja, Pak Bodyguard. Aku nggak akan diserang angin malam.
Pesan tidak dibalas. Tapi dua menit kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok. Tok.
Ayla menoleh cepat. Masih mengenakan kimono, ia berdiri dan membuka pintu setengah. Di baliknya, berdiri Dev dengan ekspresi serius, masih mengenakan jaket hitam dan earpiece di telinga.
“Maaf ganggu,” katanya datar. “Aku cuma mau pastikan alarm jendela kamar kamu aktif.”
Ayla menaikkan sebelah alis. “Kamu serius?”
Dev mengangguk. “Ancaman datang dari yang nggak kita kira. Aku nggak mau ambil risiko.”
Ayla menghela napas, lalu membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuk aja.”
Dev melangkah masuk. Tatapannya menyapu ruangan cepat, profesional, tapi saat matanya tanpa sengaja bertemu pandangan Ayla di cermin... waktu seperti berhenti sejenak.
Ayla sadar Dev melihat pantulan dirinya—rambut masih basah, bahu sedikit terbuka oleh kimono tipis itu. Tapi Dev tetap menjaga sikap. Ia berjalan ke arah jendela, memeriksa pengunci, lalu memasang sesuatu di bingkai atas.
“Sekarang udah aman,” katanya tanpa menoleh.
Ayla berdiri di belakangnya. Jarak mereka hanya beberapa langkah.
“Dev…” suara Ayla pelan.
Dev menoleh setengah. “Hm?”
“Apa kamu selalu sedingin ini karena tugas... atau karena takut?”
Mata mereka bertemu. Dev tak menjawab langsung. Sorot matanya berubah. Tak setajam biasanya. Ada jeda, lalu suara beratnya terdengar pelan.
“Aku dingin... supaya nggak salah langkah.”
Ayla menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum tipis.
“Sayangnya, kamu udah mulai melangkah, Dev. Dan aku juga.”
Dev terdiam. Tangannya mengepal pelan di samping tubuh, tapi dia tidak mundur. Tidak juga menjauh.
Detik itu, tak ada lagi ancaman luar yang terasa menakutkan. Yang mengintai justru sesuatu yang lebih rumit—perasaan yang perlahan menyusup di antara batas tugas dan hasrat.
---
Dev akhirnya mundur satu langkah, menarik napas panjang seolah ingin mengendalikan sesuatu yang nyaris lepas dari dalam dirinya. Tatapannya kembali tajam, seperti membentengi dirinya lagi.
“Ayla, mulai malam ini... jangan banyak tanya,” ucapnya pelan, tapi tegas.
Ayla mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Jangan tanya tentang aku, tentang kerjaanku, tentang hal-hal yang di luar batas kamu. Fokus aja jaga diri kamu. Dan satu lagi…”
Ayla menyilangkan tangan di dada, menatapnya dengan ekspresi tak terima. “Dan?”
“Jangan terlalu bawel.”
Ayla melongo, lalu tertawa pendek. “Bawel? Kamu baru jagain aku dua hari dan udah kasih label?”
Dev menahan senyum, tapi gagal menyembunyikan sudut bibirnya yang naik sedikit. “Aku tahu tipe orang kayak kamu. Banyak ngomong, banyak nanya, banyak maunya.”
Ayla melangkah mendekat, hanya selangkah dari dada Dev yang tegap itu. Matanya mendongak, menatap pria itu tanpa gentar.
“Dan kamu tipe yang terlalu serius, terlalu jaim, terlalu takut jatuh hati.”
Dev membalas tatapan itu. Diam. Tegang. Tapi juga seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
“Ayla…”
“Ya?”
“Masuk ke tempat tidur. Istirahat. Besok kita jalan pagi-pagi.”
Ayla masih menatapnya, tapi akhirnya mengangguk. “Baik, Tuan Dingin.”
Dev berbalik menuju pintu, namun sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sebentar.
“Satu lagi, Ayla. Jangan coba-coba bikin aku lengah.”
Ayla menyeringai. “Terlambat.”
Dev tidak membalas. Ia hanya menutup pintu perlahan dan meninggalkan Ayla yang kini berdiri di tengah kamar, masih dengan senyum menggantung di wajahnya.
Dia tidak marah disebut bawel. Tidak juga mundur karena dilarang banyak tanya.
Karena justru semakin Dev menjaga jarak... semakin Ayla ingin mendekat.
