Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Sikap Dingin Dev

---

Gedung tempat acara gala berdiri megah dengan lampu kristal menjuntai dari langit-langit dan lantunan musik klasik mengalun lembut. Tamu-tamu berdandan elegan, mengenakan setelan jas mahal dan gaun glamor, sibuk bersalaman, berbincang, dan bergosip di antara gelas-gelas anggur.

Ayla berjalan masuk bersama Dev di sampingnya. Tapi sejak turun dari mobil, pria itu berubah. Jauh lebih diam dari biasanya. Tak menatap Ayla, tak menjawab godaannya, bahkan tak menanggapi sapaan kecil yang biasa ia lempar untuk mencairkan suasana.

Dev hanya berdiri seperti bayangan, menjaga jarak, pandangannya fokus ke keramaian, bukan pada wanita yang ia dampingi.

Ayla mencoba bersikap biasa. Ia menyapa beberapa rekan bisnis, tersenyum sopan, tertawa kecil saat diajak ngobrol, tapi matanya sesekali melirik Dev. Pria itu bahkan tak mencoba menyamakan langkah atau memberi sinyal perhatian. Seolah... dia tak ada di sana untuk Ayla secara personal.

Setelah satu jam berpura-pura menikmati acara, Ayla menyerah.

Ia berjalan ke balkon yang sedikit sepi, memegang segelas jus dingin, dan menatap langit malam. Gaunnya berkibar pelan tertiup angin, tapi yang terasa dingin bukan cuaca—melainkan sikap Dev yang makin beku.

Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar di belakangnya.

“Jangan terlalu lama di luar. Tempat ini terlalu terbuka,” kata Dev datar.

Ayla tidak menoleh. “Kenapa? Takut aku diserang atau takut kamu harus ngomong lebih dari dua kalimat?”

Dev terdiam.

Ayla mendengus. “Sampai kapan kamu terus bersikap kayak robot, Dev?”

“Selama aku masih bertugas.”

Kata-katanya pendek. Tanpa emosi.

Ayla memutar badan, menatap Dev tajam. “Lucu, ya. Semakin aku dekat, kamu semakin jauh. Apa kamu sengaja? Biar aku berhenti?”

“Kalau itu membuatmu lebih aman, iya.”

Seketika dada Ayla terasa sesak. Bukan karena ancaman dari luar. Tapi karena pria yang berdiri di depannya bersikap seolah hatinya tak ada artinya sama sekali.

Tanpa berkata lagi, Ayla meletakkan gelasnya di meja terdekat dan berjalan kembali ke dalam ruangan. Langkahnya cepat, wajahnya tetap tenang, tapi hatinya sudah terlalu panas.

Malam itu, ia memilih diam. Tak lagi menggoda, tak lagi mencari perhatian.

Kalau Dev memang ingin menjaga jarak, maka Ayla akan memberinya ruang.

Tapi dia bersumpah satu hal dalam hati—jika pria itu tak berniat membuka diri… maka mungkin Ayla pun harus berhenti berharap lebih.

---

Sisa malam berlangsung hambar bagi Ayla.

Ia berbaur dengan para tamu lain, tersenyum palsu di setiap percakapan, dan tertawa kecil untuk basa-basi. Tapi jiwanya kosong. Setiap kali ia melirik ke sudut ruangan, Dev selalu ada—berdiri tegak seperti patung penjaga, mata awas, tapi tanpa satu pun perhatian pribadi yang dulu sempat membuat Ayla merasa istimewa.

Ia sudah berhenti mencoba menarik perhatiannya. Tidak ada lirikan, tidak ada godaan halus. Ia hanya memainkan peran sebagai wanita tangguh yang seolah tak peduli, padahal dalam hati, kecewanya menggunung.

Sekitar pukul sepuluh malam, acara mulai mereda. Tamu-tamu mulai berpamitan. Ayla berdiri di dekat pintu keluar, menunggu mobilnya tiba, sementara Dev berdiri beberapa langkah di belakangnya, menjaga seperti biasa.

Sebuah mobil hitam berhenti di depan lobi. Dev melangkah duluan, membukakan pintu tanpa berkata apa pun.

Ayla melangkah masuk, tidak menoleh, tidak bicara. Sepanjang perjalanan pulang, mereka terjebak dalam hening yang lebih dingin dari AC mobil.

Dev tetap fokus menyetir. Ayla menatap ke luar jendela, membiarkan angin malam membelai pipinya melalui kaca yang sedikit terbuka.

Sampai akhirnya, Dev memecah keheningan.

“Kamu marah?”

Ayla menoleh cepat, menatapnya dengan sorot mata yang tajam namun terluka. “Nggak. Aku cuma sadar satu hal.”

“Apa?”

“Kamu bukan robot, Dev. Tapi kamu sengaja bersembunyi di balik peranmu, supaya nggak harus menghadapi rasa.”

Dev mengepal setir, rahangnya mengeras, tapi ia tetap tenang.

“Aku di sini untuk melindungi, bukan terlibat.”

Ayla mengangguk pelan, senyum sinis muncul di wajahnya. “Iya. Dan kamu berhasil. Melindungi semuanya. Termasuk hatimu sendiri.”

Begitu mereka sampai di rumah, Ayla turun dari mobil tanpa menunggu dibukakan pintu. Ia melangkah cepat ke dalam, tidak menoleh sedikit pun.

Dev berdiri di samping mobil, menatap punggung Ayla yang menjauh.

Dia tahu, malam ini bukan hanya tubuh Ayla yang menjauh… tapi hatinya juga ikut mundur. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, itu terasa seperti kehilangan.

---

Begitu pintu rumah tertutup dengan sedikit hentakan, Dev masih berdiri di luar. Tangannya dimasukkan ke saku celana, bahunya agak turun, dan napasnya tertahan sesaat. Suasana malam sunyi, hanya suara jangkrik dan angin lembut yang berhembus.

Setelah beberapa detik, ia akhirnya masuk ke dalam, menutup pintu pelan, lalu menyandarkan tubuh ke dinding dekat tangga. Matanya mengarah ke atas, ke arah kamar Ayla.

Ia menghembuskan napas panjang. Berat. Matanya menutup sejenak, lalu menggeleng kecil.

“Drama lagi…” gumamnya rendah, terdengar jengah.

Dev berjalan ke dapur, menuang air putih, lalu meneguknya cepat. Sejak tadi Ayla diam, sikapnya berubah, dan Dev tahu penyebabnya. Tapi baginya, itu bukan masalah besar. Setidaknya seharusnya begitu.

Dia bodyguard, bukan pacar. Tapi Ayla bertindak seolah dia harus selalu manis, selalu meladeni, selalu… terlibat.

Dev meletakkan gelasnya di meja, menatap kosong ke arah jendela gelap. Di balik ketenangan wajahnya, ada sedikit rasa frustasi yang tidak biasa. Bukan karena takut kehilangan, tapi karena Ayla membuat semuanya jadi rumit.

"Aku jagain dia, bukan main perasaan," katanya pelan, seperti mengingatkan diri sendiri.

Tapi kalimat itu tidak sepenuhnya meyakinkan. Karena bagian dari dirinya tahu—yang Ayla lakukan malam ini bukan hanya ‘drama’. Dia benar-benar kecewa. Merasa ditarik-ulur.

Dev menoleh ke arah tangga lagi. Tatapannya masih datar, tapi matanya sedikit berubah. Campur aduk antara jengah... dan terusik.

Karena sebenci-bencinya dia pada keribetan wanita seperti Ayla, malam ini Dev sadar: diam Ayla jauh lebih mengganggu daripada celoteh dan godaannya. Dan itu membuatnya gelisah.

---

Malam makin larut. Rumah sunyi. Dev masih duduk di ruang tengah, satu tangan menopang dagu, tatapannya kosong mengarah ke televisi yang tak dinyalakan. Biasanya suara Ayla akan terdengar dari lantai atas—entah nyanyi kecil, keluhan, atau langkah kakinya bolak-balik di kamar.

Tapi malam ini... tak ada.

Sepi itu justru jadi gangguan paling besar buat Dev.

Ia akhirnya berdiri, berjalan pelan ke tangga, lalu menatap ke atas. Ada cahaya samar dari bawah pintu kamar Ayla. Mungkin dia masih terjaga. Tapi tak ada suara. Tak ada gerakan.

Dev naik satu per satu anak tangga, lalu berdiri di depan pintu kamar itu.

Tak diketuk. Tak dipanggil. Hanya berdiri. Bingung. Antara ingin bicara... atau lebih baik membiarkan semuanya mendingin.

Tangannya sempat terangkat, hendak mengetuk, tapi ia mengurungkannya.

“Kalau dibukain sekarang, pasti makin panjang dramanya,” gumamnya pelan, sedikit kesal.

Tapi sebelum ia turun lagi, suara kecil terdengar dari balik pintu. Sebuah batuk pelan, lalu suara ranjang berderit. Bukan suara yang aneh... tapi cukup untuk membuat Dev tetap berdiri di tempat.

Ia menatap gagang pintu sebentar, lalu menggeleng dan kembali menuruni tangga.

Namun belum sampai lantai bawah, ponselnya bergetar. Pesan masuk.

> Ayla: Kamu nggak perlu pura-pura peduli. Tidur aja. Aku bisa jaga diri.

Dev membaca pesan itu, rahangnya mengeras. Jemarinya mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi. Hapus lagi.

Akhirnya ia hanya menghela napas dan menyimpan ponselnya.

Ia tidak membalas. Tapi kata-kata Ayla menusuk lebih dalam dari yang ia akui.

Karena ternyata... justru saat Ayla berhenti bawel, yang paling Dev rasakan adalah: sepi. Dan dia benci sepi itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel