#5
Matahari siang menyengat. Panasnya menempel di kulit ketika aku memarkir motor di halaman rumah. Mama Nada sudah berdiri di teras dengan pakaian rapi: blus hijau muda, celana kain hitam, dan tas tangan besar di pundak. Wajahnya berhias make up tipis, tapi cukup membuatnya tampak lebih segar dari biasanya.
“Akhirnya datang juga,” ucapnya begitu melihatku. Nada tidak tersenyum, malah mengernyit seperti menyimpan kekesalan.
Aku menelan ludah. “Tadi ke bengkel, Ma. Ganti oli.” Padahal jelas, aku hanya sengaja menunda sebentar karena bingung harus mengantarnya atau tidak.
Dia menatapku lama, lalu menghela nafas dramatis. “Ya udah, ayo. Jangan lama-lama. Mama udah pusing mikirin masalah sendiri, jangan ditambah nungguin kamu.”
Aku hanya mengangguk, memasang wajah datar. Dalam hati, rasanya ingin membalas ketus. Tapi entah kenapa, wajahnya yang tampak marah justru bikin aku gak enak.
Kami berdua naik motor. Aku menyalakan mesin, suara knalpot menderu. Mama Nada duduk di belakang, tangannya langsung melingkar ke pinggangku. Refleks tubuhku menegang. Hangatnya menembus tipis kaos yang kupakai.
“Jangan ngebut, Surya,” ucapnya dekat telingaku, suaranya bercampur hembusan napas yang bikin bulu kuduk meremang.
“Iya, Ma.”
Sepanjang perjalanan, suasana aneh. Dia sesekali bergeser, mendekatkan gunung kembarnya ke punggung. Dari kaca spion, aku bisa melihat wajahnya murung.
“Surya,” panggilnya lirih.
Aku menelan ludah. “Iya, Ma?”
“Semua lelaki sama aja, ya. Nggak ada yang bener. Dulu-dulu begini, sekarang Jarwo juga. Semua kalau udah dapet istri, giliran istrinya lagi susah malah disalahin. Mama capek. Malu terus-terusan nginjak pengadilan agama mulu.”
Aku diam. Kata-katanya tajam, jelas ditujukan agar aku menanggapi. Tapi aku tak berani.
“Eh, kamu juga diem aja. Apa kamu juga begitu sama Tata? Kalau Tata lagi susah, kamu tinggal?” Nadanya mulai naik.
Aku menggeleng cepat. “Enggak mungkin lah, Ma. Aku nggak begitu. Aku… aku selalu coba jagain Tata.”
Dia mendengus. “Semua lelaki awalnya bilang begitu. Manis di mulut, tapi akhirnya… sama aja.”
Aku menghela nafas. “Ma, jangan samakan aku dengan mereka. Aku tahu mungkin Mama kecewa sama Om Jarwo, tapi bukan berarti semua laki-laki sama.”
Dia tak langsung menjawab, hanya mempererat pelukannya di pinggangku.
Motor terus melaju. Jalanan padat, panas menyengat kepala. Tapi yang paling membuatku gelisah justru kalimat-kalimatnya. Ada nada menyalahkan, seolah aku harus membuktikan diri pada Mama Nada.
Setibanya di depan gedung pengadilan, aku memarkir motor. Mesin mati. Aku menurunkan standar, lalu spontan karena sudah terlalu biasa saat antar Tata, aku memutar tubuh dan membuka helm Mama Nada.
Tali helm kuangkat, lalu kuangkat pelan dari kepalanya. Rambutnya yang wangi langsung terurai sedikit keluar dari kerudung tipis yang dipakai sebagai dalaman. Dari dekat, wajahnya terlihat segar, keringat tipis mengilap di keningnya.
Aku baru sadar setelah helm sudah di tanganku. “Eh… Maaf, Ma. Refleks. Biasanya Tata yang—”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimat, Mama Nada menatapku dengan wajah seolah tersinggung. Bibirnya manyun, matanya berkedip cepat.
“Sur…” suaranya lirih tapi penuh tekanan. “Kamu pikir Mama ini siapa? Tata?”
Aku tercekat. “Bukan begitu, Ma. Aku nggak sengaja. Tadi cuma kebiasaan aja.”
Dia menunduk, lalu mendengus panjang. “Kamu seenaknya aja, ya. Kalau sama Tata boleh lah manja-manjaan begitu. Tapi sama Mama? Harusnya kamu jaga sikap.”
Aku kebingungan. “Iya, Ma. Maaf, beneran nggak ada maksud.”
Nada menatapku lama, lalu pura-pura memalingkan wajah. “Ya udah. Mama udah capek. Jangan bikin Mama tambah sebel.”
Aku ingin menjawab, tapi bibirku kelu. Wajahnya benar-benar seperti orang marah. Aku tahu dia sedang memainkan perasaan, tapi tetap saja aku merasa bersalah.
“Ya udah, ayo masuk. Jangan bengong,” katanya sambil melangkah duluan ke arah gedung pengadilan.
Aku menatap punggungnya. Blus hijaunya membentuk lekuk tubuhnya. Setiap langkahnya seolah disengaja, pinggul semoknya bergoyang tipis. Dan aku… hanya bisa menghela napas panjang sambil menahan diri.
*
Ruang tunggu pengadilan dingin oleh AC, tapi suasananya tetap membuat gerah. Aku duduk di samping Mama Nada, menunduk, sementara ia sibuk memainkan ponsel. Sidang barusan berlangsung singkat: hakim hanya memastikan berkas perceraian lengkap, lalu menjadwalkan sidang berikutnya dua minggu lagi.
Aku menghela nafas lega saat keluar dari ruangan itu. “Ya sudah, Ma. Selesai juga sidang pertama. Tinggal tunggu panggilan berikut.”
Mama Nada berdiri di sampingku, wajahnya setengah murung setengah puas. “Iya… Tapi Mama harap Jarwo nggak usah datang sidang berikutnya. Biar prosesnya cepat selesai. Mama udah nggak tahan liat mukanya.”
Aku menoleh sekilas. “Ya itu urusan Mama sama Om Jarwo. Kalau beliau datang, ya memang prosedur. Nggak bisa dipaksa juga, Ma.”
Nada menoleh dengan tatapan tajam. “Surya… Kamu kok selalu bela orang lain, sih? Mama ini korban. Masa kamu nggak ngerti?”
Aku buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Ma. Aku cuma bicara realistis.”
Nada mendengus, lalu melangkah keluar gedung. Aku mengikuti di belakang. Di tangga depan, dia berhenti sebentar, menoleh padaku. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Kamu tahu nggak, Sur? Dari semua laki-laki yang pernah dekat sama Mama, cuma kamu yang paling beda.”
Aku tertegun. “Maksud Mama?”
“Laki-laki lain biasanya agresif, main tangan, kasar. Kamu… justru sebaliknya. Tenang, sabar. Mungkin karena kamu masih muda, ya?” Nada terkekeh pelan. “Tapi justru itu yang bikin Mama merasa nyaman.”
Aku menunduk, tak berani menatap matanya. “Aku cuma berusaha sopan, Ma...”
Dia menatapku lama, lalu mendekat setengah langkah. “Sopan, iya… tapi Mama bisa lihat matamu tadi waktu kita di motor. Kamu nggak berani lihat Mama, kan? Padahal Mama duduk nempel di belakangmu. Kamu tegang banget, Surya.”
Aku tercekat. “Ma… tolong jangan ngomong kayak gitu.”
Nada tersenyum penuh arti. Tangannya menepuk bahuku pelan, tapi lama. “Santai aja, Surya. Mama ngerti kamu masih setia sama Tata. Tapi Mama juga perempuan… bisa merasakan hal-hal yang mungkin Tata nggak sadari.”
Aku langsung mengalihkan pandangan karena omongan mama Nada sudah ngelantur. “Ma, sudah ya. Kita ke rumah Mama sekarang, ambil mobil.”
Kami melangkah menuju parkiran motor. Sepanjang perjalanan, aku berusaha diam. Tapi Nada justru makin cerewet.
“Surya, semalam Mama dengar kalian berdua di kamar.”
Langkahku terhenti seketika. “Apa?”
Nada menyipitkan mata, senyum licik muncul. “Dinding rumahmu tipis, Sayang. Suara-suara itu nggak bisa bohong. Mama tahu kalian… ya, begitu.”
Wajahku panas. “Ma! Itu urusan pribadi aku sama Tata. Tolong jangan dibicarakan.”
Nada malah tertawa kecil, suara renyah tapi menusuk. “Kenapa? Mama kan juga perempuan, pernah muda. Mama tahu bedanya suara perempuan yang bener-bener menikmati, atau cuma… menjalankan kewajiban.”
Aku menunduk, menggenggam erat kunci motor. “Aku nggak ngerti maksud Mama.”
Dia mendekat, suaranya dipelankan. “Kasihan kamu, Surya. Semalam itu… Tata kayaknya lebih sering di bawah, ya? Kamu yang capek-capek kerja, tapi malah kamu yang harus ngelayanin dia. Mama dengarnya sampai ikut gemes.”
“Ma!” suaraku meninggi, tapi kutahan agar orang sekitar tidak menoleh.
Nada tidak peduli. Tangannya bergerak, membuat gestur seolah sedang menekan-nekan udara dengan telapak tangan, seperti menggambarkan tubuh yang bergerak naik-turun. “Begitu terus, ya? Kamu di atas, dia diam aja. Atau kalau dia di bawah, kamu yang kerja keras. Nggak adil, Surya. Istri harusnya bisa bikin suaminya dimanja, bukan bikin tambah lelah.”
Aku merasakan darah naik ke kepala. “Ma, berhenti. Aku nggak suka cara Mama bicara.”
Tapi Nada hanya mendekat lebih dekat lagi, hampir berbisik di telingaku. “Surya… kamu itu lelaki. Lelaki punya kebutuhan. Kalau Tata nggak bisa memenuhi, Mama bisa ngerti kalau kamu kecewa.”
Aku gemetar, bukan karena marah saja, tapi karena tubuhku benar-benar bereaksi. Kata-katanya menusuk, ditambah gestur tangannya yang makin berani, kini jari telunjuknya menggambar-gambar garis imajiner di udara, turun perlahan dari dada ke perutku, seolah menggoda.
Aku melangkah mundur cepat, menjauh darinya. “Cukup, Ma! Aku nggak mau dengar lagi. Kita ke rumah Mama sekarang. Ambil mobil, lalu selesai.”
Nada terdiam sebentar, lalu tertawa pelan. “Hihihi… Surya, kamu lucu kalau marah. Wajahmu merah semua. Mama cuma bercanda, kok.”
Aku menatapnya tajam. “Itu bukan bahan bercandaan.”
Dia hanya mengangkat bahu, lalu berjalan lebih dulu ke motor. “Ya udah, ayo. Jangan lama-lama. Mama udah nggak sabar pengen liat rumah lagi. Sekalian kita...” Ia hanya mengedipkan mata.
Kalimatnya terputus. Aku berdiri kaku beberapa detik, mencoba menenangkan diri. Nafasku masih berat. Jantungku berdegup tak karuan. Dan di belakang kepala, suara Nada terus terngiang: “Tata kok di bawah terus… kasian kamu, Surya…”
