#4
Tubuh Tata masih terkulai di pelukanku, keringatnya membasahi dadaku. Nafasnya tersengal, lalu perlahan tenang. Malam itu, setelah berhari-hari menahan diri, kami akhirnya kembali menyatu. Aku mencium keningnya, merasakan aroma sabun bercampur peluh yang membuatku semakin hangat.
“Aku sayang kamu, Ta…” bisikku di telinganya.
Tata tersenyum tipis, matanya setengah terpejam. “Aku juga sayang kamu, Mas.”
Kupikir, malam ini bisa jadi titik balik. Semua ketegangan soal Mama Nada mungkin bisa mencair. Aku ingin membuktikan bahwa aku dan Tata tetap kuat, tetap satu. Aku membelai pipinya, lalu menariknya lebih dekat.
Tapi beberapa detik kemudian, aku merasakan tubuhnya kaku. Tatapannya yang tadi hangat mendadak kosong.
“Kenapa, Ta?” tanyaku pelan.
Dia menggigit bibirnya, seolah ragu. “Aku… kepikiran kata-kata Mama.”
Dadaku langsung terasa berat. “Kata-kata Mama yang mana?”
Tata menunduk. “Mas… jangan marah dulu. Tapi Mama bilang… semua lelaki itu sama aja. Suka keras, suka ngatur, nggak pernah bener-bener ngerti perasaan perempuan. Aku takut… jangan-jangan Mas juga begitu.”
Aku terdiam. Perkataan itu menamparku, apalagi setelah barusan kami baru menyatu penuh cinta. Aku menatapnya, mencoba menahan gejolak. “Ta… kamu serius nanya itu? Padahal barusan kita baru tunjukin betapa kita saling sayang.”
“Aku tau, Mas…” suaranya lirih. “Tapi aku juga nggak bisa tutup telinga. Mama bilang kalau aku ikut keinginan Mas buat Mama pergi, berarti aku anak durhaka. Aku… aku nggak sanggup dibilang begitu.”
Aku duduk, bersandar di kepala ranjang, menatapnya tajam. “Jadi, kamu lebih percaya kata-kata Mama daripada suamimu sendiri?”
Tata terdiam. Tangannya meremas ujung selimut. “Bukan gitu, Mas. Aku cuma takut… takut kehilangan Mama. Dia cuma punya aku.”
Aku mengusap wajah, menahan amarah. “Dan kamu nggak takut kehilangan aku? Aku ini suamimu, Ta. Aku yang tidur di sampingmu, aku yang kerja siang malam buat kita. Aku yang baru aja bikin kamu merasa dicintai. Tapi setelah semua itu, kamu masih mikir aku sama aja dengan laki-laki yang pernah nyakitin Mama?”
Tata menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Aku bingung, Mas. Aku sayang kamu… tapi aku juga nggak bisa ninggalin Mama.”
Aku menunduk, meremas rambutku sendiri. “Ta, aku ngerti kamu sayang sama ibumu. Tapi coba pakai akal sehat. Kamu nggak lihat Mama itu manipulatif? Dia bikin kamu ngerasa bersalah terus. Dia pakai kata ‘durhaka’ buat ikat kamu. Kamu nggak sadar?”
Tata menggeleng cepat, air mata jatuh di pipinya. “Jangan ngomong gitu! Mama nggak mungkin manipulatif. Dia cuma luka, Mas. Luka karena suaminya. Aku nggak mau nyakitin dia lagi.”
Aku menatapnya lama, dada terasa sesak. Barusan kami saling menyalurkan cinta, tapi hanya berselang menit, seolah semua runtuh. Aku merasa dikalahkan oleh suara dari kamar sebelah.
“Ta…” suaraku berat, nyaris bergetar. “Kalau gitu aku harus gimana? Aku harus ngalah terus? Harus biarin Mama tinggal di sini tanpa batas? Harus biarin dia tanam racun di antara kita?”
Tata menunduk, tak berani menatapku. “Aku cuma minta Mas sabar. Mama butuh waktu. Jangan paksa dia pergi dulu.”
Aku menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar yang remang. Hati ini rasanya hancur. Barusan aku pikir aku punya kembali istriku seutuhnya. Nyatanya, bahkan di ranjang ini pun, aku masih harus berbagi dengan bayangan ibunya.
Tata mendekat, memegang tanganku. “Mas… tolong jangan jauhi aku. Aku tetap sayang kamu. Tapi aku juga sayang Mama. Jangan suruh aku milih salah satu.”
Aku menatap matanya yang basah, penuh kebingungan. Ada cinta di sana, tapi juga ada belenggu yang mengikatnya.
Aku menarik napas dalam, lalu berbisik lirih. “Ta… aku cuma takut kehilangan kamu. Bukan karena laki-laki lain, tapi karena ibumu sendiri.”
Tata terdiam, matanya berkaca-kaca lagi. Tak ada jawaban. Hanya keheningan panjang yang makin menusuk.
Malam itu, aku akhirnya menyadari: perjuangan ini bukan lagi sekadar soal mertua tinggal di rumah. Ini soal siapa yang akan menguasai hati istrik. Aku, atau ibunya.
*
Aku terbangun ketika cahaya matahari sudah menembus tirai. Kepala masih berat, tubuh pegal, bukan hanya karena semalaman bercinta, tapi lebih karena beban pikiran. Kuangkat kepala, menoleh ke samping. Ranjang sudah kosong.
Dari luar kamar, terdengar suara gesekan pintu lemari. Aku bangkit setengah malas, lalu melangkah ke luar.
Di ruang tamu, kulihat Tata sudah rapi. Kerudung biru tua menutupi rambutnya, blus putih dan rok panjangnya membuatnya tampak lebih dewasa. Tangannya sibuk merapikan tas kerja, wajahnya serius.
“Kamu nggak bangunin aku?” tanyaku sambil menguap.
Tata menoleh, tersenyum tipis. “Mas kelihatan capek banget. Aku biarin tidur lebih lama.”
Aku berjalan mendekat, duduk di sofa sambil menatapnya. “Jam berapa sekarang?”
“Udah hampir jam tujuh,” jawabnya sambil mengecek jam tangan. “Aku harus berangkat. Ada meeting pagi ini.”
Aku mengangguk, "Aku antar kamu, ya?"
Tata menoleh, "Gak usah, Mas..." Ia lalu menatapku lama. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dari sorot matanya, aku bisa lihat, dia sedang menyimpan sesuatu.
“Ta…” panggilku. “Ada yang mau kamu bilang, kan?”
Dia terdiam sebentar, lalu menarik napas. “Mas… Mama nitip pesan. Katanya… minta Mas Surya anterin dia ke kantor pengadilan siang ini.”
Aku langsung tegak. “Pengadilan?”
“Iya. Katanya ada urusan administrasi cerai. Habis itu… dia juga minta ditemenin ke rumah, mau ambil mobil sama beberapa barang.”
Aku menatap istriku, sulit percaya dengan tenang. “Dan kamu setuju begitu aja?”
Tata menggigit bibir, lalu duduk di sampingku. “Mas, denger dulu. Mama nggak bisa sendirian. Dia takut ketemu sama mantan suaminya. Kalau Mas yang anterin, Mama bisa lebih tenang.”
Aku menghela nafas panjang, menahan diri. “Ta, ini bukan urusanku. Aku suami kamu, bukan sopir pribadi ibumu. Apalagi, masalah rumah tangganya itu masalah mereka. Kenapa aku harus ikut campur?”
Tata memegang tanganku, wajahnya memohon. “Mas, tolonglah. Aku udah janji sama Mama. Dia tadi pagi ngomong lama banget, bilang cuma bisa percaya sama Mas.”
Aku menatapnya tajam. “Tadi pagi? Jadi Mama sengaja bangunin kamu lebih pagi cuma buat titip pesan ini?”
Dia mengangguk pelan. “Mas, aku tahu kamu nggak nyaman. Tapi coba pikir… kalau Mama nggak ditemenin, dia bisa makin down. Aku nggak tega lihat Mama nangis lagi.”
Aku terdiam. Rasa muak bercampur iba. Selalu saja air mata dijadikan senjata.
“Ta, kamu sadar nggak? Semalam kita udah ngomong panjang. Aku minta kamu lihat jelas siapa yang main-main dengan perasaan kita. Dan sekarang, pagi-pagi, aku sudah ditarik lagi ke pusaran urusan dia.”
Tata menggenggam tanganku lebih erat. “Mas… aku cuma minta satu kali ini aja. Habis ini, aku janji kita omongin lagi. Aku janji bakal coba bikin Mama cari solusi lain.”
Aku menatap istriku, berusaha membaca ketulusannya. Rasa cinta itu masih ada, jelas. Tapi di balik itu, ada bayangan Nada yang tak pernah berhenti menancapkan pengaruh.
“Kalau aku nurut kali ini, siapa yang jamin besok nggak ada permintaan lain? Nanti alasan pengadilan, lalu rumah, lalu mobil, lalu entah apa lagi. Sampai kapan?”
Tata menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu, Mas. Aku juga bingung. Tapi… aku nggak bisa biarin Mama ngerasa sendirian. Tolonglah, jangan bikin aku harus milih. Aku cuma mau kita sama-sama bantu sebisanya.”
Aku menelan ludah, dada terasa sesak. Ada bagian diriku yang ingin bilang tegas: tidak. Tapi ada bagian lain yang tak tega melihat istriku menangis.
Aku mengusap wajah, lalu bersandar ke sofa. “Oke. Aku antar. Tapi, Ta… ini terakhir. Setelah ini, Mama harus cari cara sendiri. Aku nggak mau terus-terusan dijadikan tameng.”
Tata menoleh, matanya berbinar lega. “Makasih, Mas… makasih banget. Aku janji, aku akan ngomong lagi sama Mama. Biar dia nggak selalu ngandelin Mas.”
Aku menatapnya dalam-dalam, lalu menekankan kalimatku. “Ingat, Ta. Aku nurut bukan karena Mama. Aku nurut karena kamu. Jangan sampai kamu salah paham.”
Tata mengangguk cepat, lalu meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Aku ngerti, Mas. Aku janji bakal jaga perasaan kamu juga.”
Dia lalu berdiri, merapikan kerudungnya sekali lagi. “Aku berangkat dulu, Mas. Jangan lupa makan siang, ya.”
Aku hanya mengangguk. Dalam hati, perasaan bercampur aduk. Rasa cinta pada istriku masih menguat, tapi di balik itu ada getir: setiap langkahku untuk Tata selalu berarti langkah lebih dekat pada permainan ibunya.
Saat pintu tertutup dan Tata benar-benar pergi, aku bersandar di sofa, menatap langit-langit rumah. Aku tahu siang ini aku akan kembali masuk ke dunia yang seharusnya bukan bagianku. Dan entah kenapa, aku punya firasat: permainan Mama Nada baru saja dimulai.