Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#6

Begitu motorku berhenti di halaman rumahnya, Mama Nada buru-buru turun, melepas helm sendiri, lalu menoleh ke arahku. “Surya, jangan pulang dulu. Bantuin Mama angkut barang ke mobil. Ada beberapa yang lumayan berat.”

Aku ragu sejenak. “Ma, aku masih harus—”

“Cuma sebentar, Surya,” potongnya cepat, sambil menarik pergelangan tanganku. “Ayo, masuk dulu.”

Aku menghela nafas. Akhirnya mengikuti langkahnya masuk ke rumah. Aroma ruangan itu khas, bercampur antara parfum bunga dan bau cat lama. Nada menuntunku ke kamar utamanya di lantai dua.

“Bantuin geser lemari kecil itu, ya. Mama nggak kuat sendirian,” katanya sambil menunjuk.

Aku mendekat, menunduk, lalu mendorong lemari kecil ke dekat pintu. Tapi pandanganku justru terpaku pada ranjang. Di atas kasur, sudah ada beberapa tumpukan pakaian: gaun malam, dress ketat, dan beberapa lingerie tipis yang sengaja tidak dimasukkan ke koper.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Ma, aku pindahin ke koper aja?”

Nada tersenyum samar. “Iya, boleh. Kamu yang masukin. Mama tinggal pilih-pilih nanti.”

Tanganku kaku saat mengambil satu setel pakaian. Begitu terangkat, ternyata itu bikini berwarna merah menyala. Aku langsung menaruhnya cepat-cepat ke koper.

Nada berdiri di sampingku, memperhatikan setiap gerakan. “Hehe, itu waktu Mama liburan sama Jarwo. Sekarang nggak kepake lagi. Tapi siapa tahu… masih bisa dipakai kalau liburan lagi sama orang lain.”

Aku langsung diam, pura-pura tidak mendengar. Kutumpuk pakaian lain di atasnya. Tapi entah kenapa, justru pakaian dalam tipis warna hitam terselip di antara dress.

Nada meraih sendiri pakaian itu sebelum aku sempat memindahkan. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu terkekeh. “Surya, kamu jangan pura-pura polos gitu. Laki-laki biasanya kalau lihat beginian langsung salah tingkah.”

Aku menunduk. “Ma, tolong jangan bercanda begitu. Aku benar-benar cuma mau bantuin.”

Nada melangkah mendekat. Suaranya menurun, agak serak. “Mama tahu. Kamu anak baik. Tapi Mama juga tahu… kamu manusia biasa, Surya. Nggak mungkin nggak ada rasa.”

Aku menarik nafas panjang, mencoba menahan diri. “Sudah, Ma. Ini cukup. Nanti Mama sendiri aja yang rapikan.”

Nada justru semakin mendekat, tangannya menyentuh lenganku sebentar. “Kamu tahu nggak, Sur? Selama seminggu tinggal di rumahmu, Mama bisa lihat semua. Kamu berusaha kuat, berusaha setia. Tapi setiap kali kita berdekatan… kamu gemetar.”

Aku menyingkir setengah langkah. “Ma, jangan salah paham. Aku cuma menghormati Mama sebagai mertua.”

Nada menatapku tajam, matanya seperti memaku. “Mertua? Heh… Mama ini perempuan, Surya. Dan perempuan bisa merasakan kalau ada lelaki yang berusaha menahan diri.”

Hening sejenak. Aku hanya fokus memasukkan pakaian ke koper. Tapi Nada tak berhenti bicara.

“Kamu masih muda, tenaga kuat. Tapi semalam Mama dengar kamu yang kerja keras di ranjang, Tata cuma diam. Kamu nggak merasa capek?”

Aku menutup koper dengan keras. “Cukup, Ma. Jangan bahas itu lagi.”

Nada tertawa pelan, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya menepuk-nepuk kasur, menyisakan ruang kosong di sampingnya. “Duduk dulu. Mama mau cerita.”

Aku menggeleng, tapi dia mendesah panjang. “Surya… tolonglah. Jangan buru-buru pergi. Anggap aja Mama butuh teman bicara. Selama ini, siapa sih yang dengerin Mama? Jarwo nggak pernah peduli. Apalagi Tata sibuk kerja. Kamu satu-satunya yang ada.”

Aku menelan ludah. Ada rasa bersalah, tapi juga ada ketakutan. Perlahan aku duduk di kursi dekat meja rias, bukan di ranjang. “Kalau cuma cerita, silakan. Tapi jangan melantur.”

Nada menoleh, senyumannya tipis. “Heh… kamu ini keras juga, ya. Tapi justru itu yang bikin Mama makin suka lihat kamu.”

Tangannya lalu meraih pakaian dalam hitam tadi, dilipat seadanya, lalu dilempar ke koper. Ia bergumam, “Entah kapan bisa kepake lagi… atau sama siapa.”

Aku menunduk, pura-pura sibuk memeriksa koper lain. Tapi dalam hati, aku tahu Mama Nada sedang menguji. Dia sengaja menebar racun lewat kata-kata, pakaian, bahkan sentuhan kecil.

*

Aku baru saja menutup koper kedua ketika Nada bangkit dari ranjang, hendak mengangkat kardus kecil di sudut kamar. “Surya, ini juga sekalian tolong taruh di mobil, ya,” katanya sambil meraih kardus.

Aku refleks berdiri. “Biar aku aja, Ma. Berat.”

Nada menggeleng. “Enggak, Mama bisa—” tiba-tiba terdengar suara kecil dari pergelangan kakinya, lalu dia meringis. Kardus jatuh ke lantai. “Aduh!”

Aku kaget. “Kenapa, Ma?”

Nada duduk cepat di tepi ranjang, tangannya memegangi pergelangan kaki. Wajahnya menyeringai, napasnya tersengal. “Kayaknya keseleo, Surya. Aduh, sakit banget.”

Aku berjongkok, memeriksa. “Coba sini, Ma.” Kutarik perlahan kakinya, membuka posisi agar bisa kulihat. Nada hanya memakai legging tipis; betis mulusnya langsung membuat tenggorokanku kering.

“Pelan-pelan… jangan kasar,” bisiknya, suaranya setengah mendesah.

Aku menelan ludah. “Aku cuma mau lihat, Ma. Biar tahu parah atau nggak.” Kupijat perlahan pergelangan kakinya. Kulitnya hangat, lembut. Setiap kali jariku menyentuh, Nada mendesah lirih seolah kesakitan, tapi matanya justru menatapku tajam.

“Ah… iya, di situ. Aduh, Sssss. Surya, kamu hati-hati ya. Mama sensitif banget kalau dipencet keras-keras,” katanya, nada suaranya ambigu antara sakit dan menggoda.

Aku cepat-cepat menarik tanganku. “Sepertinya nggak parah, cuma keseleo ringan. Mending dikompres nanti.”

Nada tidak melepaskan kakiku yang masih berjongkok di hadapannya. Tiba-tiba tangannya meraih pundakku. “Surya, kamu perhatian sekali. Jarwo nggak pernah segini detailnya kalau Mama sakit.”

Aku berusaha berdiri, tapi Nada menahan. Dengan gerakan tiba-tiba, ia menyandarkan tubuhnya ke dadaku. “Aduh… berdiri aja susah. Boleh Mama pegangan?”

Aku panik. Tubuhnya menempel, aroma parfum bercampur keringat tipis langsung memenuhi hidungku. “Ma, hati-hati. Pegangan ke kursi aja, jangan ke aku.”

Nada justru memeluk lenganku erat. “Surya, kalau kamu ada di sini, kenapa Mama harus pegangan ke kursi? Kamu kan lebih kuat.”

Aku terdiam, tubuh kaku. Tapi Nada bergerak makin dekat, kepalanya hampir menyentuh leherku. Bisikan suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu tahu nggak… waktu kamu pijat tadi, Mama lupa sakitnya. Rasanya enak sekali.”

Aku langsung melepaskan tangannya dengan cepat, berdiri mundur dua langkah. “Ma, tolong jangan main-main begitu. Aku benar-benar nggak enak.”

Nada menatapku dengan ekspresi terluka, tapi matanya masih berkilat. “Main-main? Kamu pikir Mama bercanda? Mama kesepian, Surya. Kamu nggak tahu gimana rasanya ditinggal suami, dikhianati, dianggap nggak ada. Mama butuh seseorang.”

Aku menunduk, menahan gejolak dalam dada. “Aku ngerti, Ma. Tapi bukan berarti aku orangnya. Aku suami Tata.”

Nada menghela nafas panjang, lalu tersenyum samar. “Kamu memang keras kepala. Tapi Mama tahu, kamu gemetar barusan waktu Mama peluk.”

Aku tak menjawab, langsung mengangkat kardus jatuh tadi, lalu menaruhnya di dekat pintu. “Sudah, Ma. Aku bantu turunkan barang ke mobil. Habis itu saya pulang.”

Nada menatapku dari ranjang, masih memegangi pergelangan kaki. Tapi aku tahu keseleo itu hanya permainan. Senyumannya, sorot matanya, dan setiap kalimatnya jelas: Mama Nada tidak akan berhenti sampai batas terakhir.

Dan aku… makin sulit membedakan apakah sedang menolong, atau justru perlahan masuk ke jebakan.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel